Layanan Pemasangan ”Stent” atau Ring Jantung Masih Terbatas
Layanan tindakan intervensi untuk penyakit jantung masih terbatas. Bahkan, pasien penyakit katastropik jantung harus menunggu waktu layanan hingga satu tahun untuk mendapatkan tindakan pemasangan.
Oleh
DEONISIA ARLINTA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Jumlah rumah sakit yang mampu memberikan pelayanan percutaneous coronary intervention atau pemasangan stent atau ring jantung sangat terbatas. Untuk itu, kapasitas rumah sakit di setiap kabupaten ataupun kota akan diperkuat dalam melakukan intervensi bagi pasien jantung koroner tersebut, terutama di wilayah Indonesia bagian timur.
Wakil Menteri Kesehatan Dante Saksono Harbuwono mengatakan, penyakit jantung merupakan salah satu penyakit yang menjadi penyebab kematian tertinggi di Indonesia. Hal tersebut disebabkan tindakan intervensi untuk penyakit jantung masih terbatas. Bahkan, pasien penyakit katastropik jantung harus menunggu waktu layanan hingga satu tahun untuk mendapatkan tindakan pemasangan.
”Untuk itu kami menunjuk RS Harapan Kita sebagai rumah sakit nasional untuk menjadi rumah sakit pengampu dalam upaya program pembinaan bagi rumah sakit di daerah guna melakukan intervensi tindakan jantung,” katanya dalam acara Pembukaan Cathlab dengan Tindakan PCI Perdana RSUP Dr Johannes Leimena Ambon yang diikuti secara daring dari Jakarta, Jumat (2/12/2022).
Dante menuturkan, pemerintah telah menargetkan pada 2024 setidaknya 50 persen dari seluruh kabupaten/kota di Indonesia memiliki rumah sakit yang dapat melakukan intervensi tindakan jantung untuk percutaneous coronary intervention (PCI). Tindakan PCI merupakan intervensi nonbedah dengan menggunakan kateter untuk melebarkan atau membuka pembuluh darah koroner yang menyempit dengan stent atau ring.
Ia menyampaikan, peningkatan kapasitas rumah sakit akan diperluas secara bertahap. Layanan untuk penyakit jantung diharapkan bisa semakin merata, terutama di wilayah Indonesia bagian timur.
Dokter spesialis jantung dan pembuluh darah RSUP Jantung Harapan Kita, Hananto Andriantoro, mengatakan, saat ini baru ada 41 rumah sakit kabupaten/ kota yang dapat melakukan tindakan PCI. Pada 2023 menurut rencana akan ada 14 rumah sakit kabupaten/kota tambahan yang dapat melakukan tindakan tersebut melalui dana alokasi khusus untuk layanan kateterisasi jantung (cath lab).
Akan tetapi, jumlah tersebut masih kurang dengan kebutuhan pelayanan pada masyarakat di Indonesia. Percepatan untuk perluasan layanan kateterisasi jantung amat diperlukan. Setidaknya satu dari seribu penduduk di Indonesia berisiko mengalami serangan jantung. Sebelas persen di antaranya berisiko meninggal jika tidak segera mendapatkan tindakan yang tepat.
Menurut Hananto, kendala utama yang dihadapi untuk meningkatkan intervensi tindakan jantung bukan pada pengadaan alat cath lab, melainkan pada pemenuhan kriteria bangunan rumah sakit. Dalam pemasangan laboratorium untuk kateterisasi jantung, rumah sakit wajib memenuhi persyaratan ukuran bangunan dengan panjang, lebar, dan tinggi tertentu.
Pemerintah telah menargetkan pada tahun 2024 setidaknya 50 persen dari seluruh kabupaten/kota di Indonesia memiliki rumah sakit yang dapat melakukan intervensi tindakan jantung untuk percutaneous coronary intervention.
Kendala lain yang juga dihadapi adalah setiap instalasi pemeliharaan sarana rumah sakit (IPSRS) harus memahami secara benar sistem manajemen fasilitas. Hal tersebut diperlukan agar alat cath lab yang dimiliki bisa dikelola dan dipelihara dengan baik.
Selain itu, Hananto menyampaikan, kendala lainnya adalah adanya persoalan pada daya listrik yang tidak memadai. Itu sebabnya, rumah sakit yang akan mendapatkan fasilitas cath lab diwajibkan memiliki gardu listrik khusus yang dapat menjaga daya listrik tetap stabil. Ketersediaan sumber daya manusia yang mumpuni juga menjadi kendala yang ditemukan dalam upaya perluasan layanan jantung di daerah.
”Jadi, untuk menempatkan satu cath lab di rumah sakit itu harus disiapkan lahannya, fasilitas pendukungnya, manajemen, dan dokternya. Dengan begitu, pembiayaan yang sudah disiapkan oleh Kementerian Kesehatan untuk satu cath lab senilai Rp 15 miliar sampai Rp 18 miliar ini tidak underutilized (kurang dimanfaatkan) dan tetap terpelihara dengan baik,” tutur Hananto.