Indonesia Kekurangan Hampir Setengah Juta Pustakawan
Indonesia kekurangan hampir setengah juta pustakawan. Kekurangan sumber daya manusia ini terjadi di semua jenis perpustakaan, yaitu perpustakaan umum dan khusus, sekolah negeri maupun swasta, serta perguruan tinggi.
Oleh
TATANG MULYANA SINAGA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Upaya mendongkrak literasi di Tanah Air menghadapi beragam kendala. Dalam persoalan sumber daya manusia, Indonesia kekurangan 439.680 pustakawan. Selain itu, 94 perpustakaan belum terakreditasi.
Kepala Perpustakaan Nasional Muhammad Syarif Bando mengatakan, kekurangan 439.680 pustakawan itu terjadi di semua jenis perpustakaan, yaitu perpustakaan umum dan khusus, sekolah negeri maupun swasta, serta perguruan tinggi. Kebutuhan ini harus dipenuhi untuk mengoptimalkan fungsi perpustakaan dalam meningkatkan literasi.
Oleh karena itu, perekrutan pustakawan perlu diprioritaskan untuk menutupi kekurangan tersebut. ”Satu-satunya cara ada pada kewenangan yang melekat pada pejabat pembina kepegawaian, yaitu bupati/wali kota, gubernur, pimpinan lembaga, dan lainnya,” ujarnya dalam Rapat Dengar Pendapat Komisi X DPR dengan Perpusnas di Jakarta, Selasa (4/4/2023).
Berbagai upaya ditempuh untuk menambah jumlah pustakawan. Pada 2017-2021, misalnya, dilakukan inpassing atau pengalihan pegawai tertentu yang berminat pada bidang perpustakaan. Namun, kebijakan ini sudah dihentikan.
Perpusnas juga telah merekomendasikan kebutuhan atau formasi jabatan fungsional pada 2022 untuk 31 instansi. Jumlah kebutuhan seluruhnya mencapai 4.344 pustakawan.
Kekurangan hampir setengah juta pustakawan ini perlu menjadi perhatian serius bagi pemerintah daerah dan lembaga lainnya. Apalagi, tingkat literasi siswa Indonesia masih rendah sehingga dikhawatirkan memengaruhi daya saing bangsa di masa depan.
Hasil Asesmen Nasional 2021 menunjukkan, satu dari dua peserta didik di Indonesia belum mencapai standar kompetensi minimum literasi. Buruknya tingkat literasi siswa Indonesia juga tergambar dari hasil survei Program for International Student Assessment (PISA) 2018. Survei itu menyebutkan, kemampuan membaca siswa Indonesia di urutan ke-71 dari 76 negara (Kompas, 2/3/2023).
Saat ini Indonesia mempunyai 164.610 perpustakaan. Namun, baru 5,7 persen yang sudah terakreditasi A, B, dan C. Sementara 94,3 persen perpustakaan belum terakreditasi.
Menurut Syarif, budaya baca dan belajar merupakan faktor penting untuk mengetahui, menguasai, mentransfer, dan menerapkan ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek). Semakin tinggi penguasaan iptek, semakin tinggi pula kemampuan memproduksi barang dan jasa yang bermutu.
”Literasi merupakan kedalaman pengetahuan seseorang terhadap seperangkat pengetahuan tertentu yang pada akhirnya bisa diimplementasikan dengan penuh inovasi dan kreativitas yang bisa dipakai dalam kompetisi global,” jelasnya.
Syarif menambahkan, saat ini Indonesia mempunyai 164.610 perpustakaan. Namun, baru 5,7 persen yang sudah terakreditasi A, B, dan C. Sementara 94,3 persen perpustakaan belum terakreditasi.
”Anggarannya itu tersedia karena dijamin dalam 20 persen APBN (Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara) untuk pendidikan. Jadi, masalahnya dalam (memprioritaskan) kebijakan saja,” katanya.
Wakil Ketua Komisi X DPR Agustina Wilujeng Pramestuti menyampaikan, pihaknya mendorong Perpusnas mengoptimalkan program kegemaran membaca, membentuk budaya membaca, dan menjalankan strategi mencapai target budaya literasi pada 2024. Pemda juga didorong memberikan kemudahan dalam rekrutmen jabatan fungsional pustakawan.
”Mendorong Perpusnas secara maksimal berkolaborasi dengan Kemendikbudristek (Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi) untuk membuat strategi pemenuhan kebutuhan koleksi bahan bacaan perpustakaan sekolah, termasuk pelaksanaan 5 persen anggaran belanja operasional sekolah untuk pengembangan perpustakaan,” jelasnya.
Anggota Komisi X DPR Rano Karno menyoroti struktur kelembagaan bidang perpustakaan di pemda. Sebab, umumnya dinas perpustakaan digabung dengan bidang lain seperti arsip.
Bahkan, tidak jarang, kepala dinas perpustakaan justru bukan pustakawan. ”Jadi, bagaimana bisa meningkatkan literasi kalau perpustakaan tidak dikelola oleh pustakawan,” katanya.