Siswa dan Guru Kurang Memanfaatkan Sumber Literasi
Kajian LabSosio Departemen Sosiologi Universitas Indonesia menyebutkan, siswa dan guru kurang memanfaatkan sumber literasi lisan ataupun tulisan. Upaya mendongkrak tingkat literasi masih terkendala sejumlah keterbatasan.
Oleh
TATANG MULYANA SINAGA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Upaya mendongkrak tingkat literasi di Tanah Air terkendala beragam keterbatasan, mulai dari infrastruktur, kegiatan berliterasi, hingga dukungan pendanaan. Selain itu, siswa dan guru kurang memanfaatkan sumber literasi di sekolah dan masyarakat.
Kajian LabSosio Departemen Sosiologi Universitas Indonesia menemukan sejumlah persoalan kegiatan literasi di sekolah, keluarga, dan masyarakat. Kajian ini diperoleh melalui diskusi fokus terarah atau FGD secara tatap muka di Sumatera Utara, Bali, dan Nusa Tenggara Timur.
Diskusi ini diikuti siswa, guru, dan orangtua. Ada juga pertemuan virtual dengan pegiat literasi lokal dan nasional.
Peneliti kluster riset pendidikan dan transformasi sosial LabSosio UI Indera Ratna Irawati Pattinasarany mengatakan, literasi masih dikenal secara terbatas oleh siswa dan guru. Artinya, sebagian besar siswa dan guru memaknai literasi sebatas membaca, menulis, dan berhitung.
“Temuan lainnya, siswa dan guru masih kurang memanfaatkan sumber-sumber literasi lisan maupun tulisan. Yang paling sederhana saja, pemanfaatan perpustakaan sekolah pun kurang,” ujarnya dalam diseminasi hasil FGD Pembudayaan Literasi Nasional di Jakarta, Senin (20/2/2023).
Sejumlah siswa beralasan perpustakaan sudah tutup saat jam pulang sekolah sehingga mereka tidak dapat masuk dan mengakses bahan bacaan. Kebanyakan siswa hanya terpaku belajar di kelas dan cuma membaca buku pelajaran.
Padahal, penting bagi siswa mencari informasi di luar pembelajaran di kelas. ”Yang tidak hanya tertulis, tetapi juga secara lisan. Hal ini yang masih terbatas,” ucapnya.
Banyak guru juga sebatas membaca buku mata pelajaran. Salah satu kendalanya tingginya beban tugas administrasi sehingga mereka tidak punya waktu mengembangkan diri dengan membaca sumber bacaan yang lebih luas.
Sejumlah siswa beralasan, perpustakaan sudah tutup saat jam pulang sekolah sehingga mereka tidak dapat masuk dan mengakses bahan bacaan. Kebanyakan siswa hanya terpaku belajar di kelas dan cuma membaca buku pelajaran.
Di lingkungan keluarga, orangtua tidak terbiasa berkegiatan literasi di rumah. Tingkat literasi digital orangtua pun masih rendah.
Indera menuturkan, berdasarkan wawancara dengan para pegiat literasi, sumber bacaan di masyarakat masih terbatas, baik dalam mengakses, membeli, dan memperbaharui buku. “Kemudian, jumlah relawan pegiat literasi di daerah semakin menurun,” katanya.
Kajian tersebut merekomendasikan beberapa hal, salah satunya pembentukan kelompok kerja untuk mendorong kegiatan literasi di sekolah. Peneliti LabSosio UI lainnya, Lucia Ratih Kusumadewi, mengatakan, pokja itu dapat melibatkan guru, siswa, orangtua, dan pegiat literasi di luar sekolah.
”Perlu dikembangkan metode kegiatan berliterasi yang lebih visual berbasis kolaborasi dan terkait dengan tradisi-tradisi lisan di Indonesia,” katanya.
Lucia menambahkan, untuk membudayakan literasi di keluarga, pihaknya mengusulkan pelibatan orangtua dalam proyek literasi anak di sekolah. Berdasarkan temuan dalam FGD, banyak orangtua tidak lagi rutin membaca buku setelah menyelesaikan pendidikan formal.
”Kegiatan literasi dalam konteks lain, seperti berdiskusi dan mendongeng, juga kurang sekali. Kalau orangtua bisa terlibat, mungkin dapat menumbuhkan literasi di keluarga,” katanya.
Peta jalan
Survei Programme for International Student Assessment (PISA) 2018 juga menunjukkan kemampuan membaca siswa Indonesia di urutan ke-71 dari 76 negara. Adapun Asesmen Nasional 2021 menyebutkan, satu dari dua peserta didik di Tanah Air belum mencapai kompetensi minimum literasi.
Berdasarkan survei Indeks Literasi Digital 2022, indeks literasi digital nasional pada 2022 mencapai 3,54 poin (dalam skala 5). Kenaikan 0,05 poin dibandingkan 2021 itu dinilai belum signifikan. Pengukurannya menggunakan empat pilar utama, yaitu kecakapan digital, etika digital, keamanan digital, dan budaya digital.
Deputi Bidang Koordinasi Revolusi Mental, Pemajuan Kebudayaan, dan Prestasi Olahraga Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Didik Suhardi mengatakan, pihaknya telah menyusun peta jalan pembudayaan literasi. Penyusunannya melibatkan sejumlah kementerian dan lembaga.
”Prinsip pembudayaan literasi ada tiga hal, melalui keluarga, sistem pendidikan, dan masyarakat. Dari sisi substansi yang harus dibudayakan, itu masih menjadi tantangan,” ujarnya.
Deputi Bidang Pengembangan Sumber Daya Perpustakaan Perpusnas Adin Bondar menambahkan, isu literasi perlu didorong menjadi konsep teknokratik pembangunan nasional. Dengan demikian, ada keselarasan target-target budaya literasi yang dicanangkan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) dengan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD).