Inovasi perpustakaan sekolah diperlukan untuk mendongkrak literasi siswa. Namun, upaya ini dihadapkan pada tantangan di mana 55,25 persen perpustakaan sekolah dalam kondisi rusak.
Oleh
TATANG MULYANA SINAGA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS - Berdasarkan Asesmen Nasional 2021, satu dari dua peserta didik di Tanah Air belum mencapai kompetensi minimum literasi. Survei Program for International Student Assessment atau PISA 2018 juga menunjukkan kemampuan membaca siswa Indonesia berada di urutan ke-71 dari 76 negara. Perpustakaan sekolah didorong berinovasi untuk mendongkrak tingkat literasi tersebut.
Tantangan perpustakaan sekolah semakin besar seiring kemajuan teknologi informasi. Disrupsi pun tak terelakkan. Masifnya pemakaian mesin pencari internet seperti Google telah menggeser peran perpustakaan sebagai pusat sumber informasi dan pengetahuan.
Pelaksana Tugas Kepala Biro Kerja Sama dan Humas Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) Anang Ristanto mengatakan, perpustakaan sekolah berperan penting mendukung pembelajaran sekolah. Pemanfaatan teknologi digital wajib dilakukan untuk menarik minat siswa generasi sekarang yang lebih akrab dengan teknologi.
“Kami mengajak pustakawan sekolah terus berinovasi dan berkolaborasi mengembangkan sarana-sarana dalam meningkatkan literasi,” ujarnya dalam seminar ‘Digital Marketing dan Branding Perpustakaan Sekolah’ di Jakarta, Jumat (27/1/2023).
Menurut Anang, pengelolaan perpustakaan sekolah tidak lagi bisa hanya mengandalkan cara-cara konvensional. Sebab, cara siswa mengakses informasi dan pengetahuan telah berubah.
Oleh sebab itu, perpustakaan sekolah juga mesti berbenah. Dalam penempatan buku, misalnya, tidak sekadar diletakkan dalam satu ruangan khusus, tetapi memperbanyak pojok baca agar lebih mudah diakses siswa.
Undang-undang Nomor 43 Tahun 2007 tentang Perpustakaan menyebutkan perpustakaan sekolah/madrasah mengembangkan layanan perpustakaan berbasis teknologi informasi dan komunikasi. Jadi, perpustakaan juga perlu hadir dalam platform digital untuk memenuhi kebutuhan pembelajaran siswa.
Terdapat sekitar 180.000 perpustakaan sekolah di Indonesia. Sayangnya, baru 44,75 persen yang terdata dalam kondisi baik. Sementara 55,25 persen sisanya berada dalam kondisi rusak ringan, sedang, dan berat.
“Pustakawan menjadi katalisator dalam meningkatkan kemampuan literasi peserta didik serta menjadi teman diskusi untuk menggali berbagai sumber pengetahuan yang tersedia secara luas,” jelasnya.
Anang menambahkan, di era transformasi digital, perpustakaan sekolah perlu mengubah cara pandang terkait pola pelayanan. Perpustakaan tidak bisa bertahan dengan pola lama yang hanya mengandalkan ketersediaan buku dan ruangan sebagai tempat membaca.
“Perpustakaan bukan lagi sekadar tempat untuk bertukar pikiran. Namun, bagaimana pendidik dan peserta didik juga bisa memanfaatkan sumber daya perpustakaan untuk melakukan uji coba proyek pembelajaran,” jelasnya.
Ketua Umum Asosiasi Tenaga Perpustakaan Seluruh Indonesia (Atpusi) Rachmawati menuturkan, agar berfungsi maksimal mendukung pembelajaran, perpustakaan sekolah membutuhkan pustakawan berkompeten. Dimensi kompetensi itu meliputi manajerial, pengelolaan informasi, kependidikan, kepribadian, sosial, dan pengembangan profesi.
Untuk meningkatkan kompetensi itu, Atpusi menggelar pelatihan bimbingan teknis untuk pustakawan, termasuk dalam pemanfaatan teknologi. “Semoga memperkuat profesionalisme tenaga perpustakaan sekolah dan pada akhirnya dapat meningkatkan mutu pendidikan di Indonesia,” katanya.
Sebesar 55,25 persen perpustakaan rusak
Anang menyebutkan, berdasarkan data Kemendikbudristek pada 2021, terdapat sekitar 180.000 perpustakaan sekolah di Indonesia. Perpustakaan tersebut tersebar dari jenjang pendidikan dasar hingga menengah.
“Sayangnya, baru 44,75 persen yang terdata dalam kondisi baik. Sementara 55,25 persen sisanya berada dalam kondisi rusak ringan, sedang, dan berat,” ujarnya.