Berjibaku dengan Suara-suara di Kepala
Di balik stigma masyarakat yang cenderung menggeneralisasi gangguan kejiwaan sebagai hal yang berbahaya, Anna dan Gina berjuang untuk menerima diri.
Sejak remaja, Anna (36), penyintas bipolar, mulai merasa ada yang tak beres dengan dirinya. Di satu waktu, kesedihannya memuncak tanpa alasan yang jelas, tapi ia juga dapat merasa senang yang tak terbendung pada saat bersamaan. Tak jarang, Anna kerap mendengar riuh suara-suara berkecamuk di dalam kepalanya.
Setelah menginjak usia 33 tahun, barulah Anna mengetahui kebingungan yang menyelimuti masa remajanya itu. Anna didiagnosis mengalami gangguan bipolar dengan tipe mixed episode dan gejala psikosis.
Bipolar merupakan penyakit mental atau psikis akibat adanya gangguan fungsi otak yang ditandai dengan perubahan emosi secara ekstrem dan mendalam. Berbeda dengan perubahan suasana hati orang pada umumnya, perubahan emosi atau suasana hati yang dialami orang dengan bipolar (ODB) terjadi dalam jangka waktu tertentu atau dalam bahasa medis disebut episode.
Seperti serial film yang terdiri atas sejumlah episode, perubahan suasana hati pada ODB pun terbagi atas beberapa episode, yakni episode manik (sangat senang), episode hipomanik (senang), dan episode depresi (sangat sedih). Diagnosis mixed episode atau episode campuran pada Anna menunjukkan ia merasakan lebih dari satu episode secara bersamaan, seperti merasa senang sekaligus sedih.
”Manik sama depresi barengan atau kadang berganti begitu cepat. Aku pernah merasa depresi berkepanjangan, tapi ada rasa seneng-nya. Jadi, rasanya seperti naik roller coaster, naik turunnya perasaan begitu cepat, sampai-sampai suatu kali aku nangis sambil tertawa itu juga pernah,” ujar Anna seusai memeriksakan kandungannya di Rumah Sakit Umum Bhakti Asih, Kota Tangerang, Banten, Senin (3/4/2023).
Perubahan perasaan secara drastis itu mengganggu rutinitas Anna. Ketika episode depresi datang, Anna menutup diri dan menghabiskan waktu dengan tidur sehingga kerap dianggap pemalas.
Sebaliknya, saat episode manik menghampiri, ibu yang mengandung anak ketiga itu berlimpah ide dan kreativitas hingga lupa tidur. Pada kedua episode itu, tak jarang halusinasi berupa suara-suara terdengar di kepalanya.
Di balik gelak tawanya saat menumpahkan berbagai pengalaman, Anna berjibaku dengan berbagai suara yang ia gambarkan sebagai karakter dari emosi-emosinya. Sejak kecil, emosi-emosi tersebut seolah merepresentasikan diri sebagai sosok pribadi yang bergunjing di kepala Anna.
”Pernah suatu kali, aku hampir tertabrak mobil karena mendadak berhenti di tengah jalan. Dari situ, aku mulai mencari pertolongan dari berbagai psikolog. Semua baru terungkap waktu aku lahiran anak pertama tahun 2020. Saat itu, aku merasa begitu takut kehilangan anakku yang baru lahir,” ucap Anna.
Ketika itu, suara-suara di kepala Anna seakan saling berebut kesadaran hingga makin dirasa mengancam sang buah hati. Dari situ, Anna mendatangi psikiater dan mendapat diagnosis bipolar setelah sebelumnya tak terhitung berapa banyak psikolog yang ia datangi.
Antara bingung dan lega, Anna hanya tak ingin menyakiti buah hatinya akibat dari gangguan kejiwaannya. Pengobatan, meditasi, serta dukungan dari keluarga mengantarkan Anna sampai pada titik penerimaan dan terus melanjutkan perjuangan sebagai seorang ibu.
”Sebagai seorang ibu yang punya tanggung jawab besar, motivasi terbesarku untuk terus stabil adalah keluarga. Awalnya, keluarga saya merasa bingung, tapi mereka tetap memberikan dukungan sehingga aku terus termotivasi untuk berbuat baik,” lanjut Anna.
Baca juga : Orang dengan Bipolar Dapat Bekerja seperti Orang pada Umumnya
Cerita lain datang dari Gina (22). Dua tahun silam ia didiagnosis bipolar. ”Aku tidak tahu apa yang aku rasakan. Pikiranku terasa meledak-meledak seperti bom waktu karena trauma belasan tahun lalu menghantui. Titik terendah hampir tak percaya Tuhan dan mencoba bunuh diri,” tuturnya.
Semua perlu dikombinasikan. Pengobatan, psikoterapi, termasuk juga support system di lingkungan sekitar yang baik. Keluarga juga bukan satu-satunya, melainkan orang yang dipercaya dan mau mendengarkan cerita-cerita pasien karena mereka harus mencurahkan perasaannya.
Tidak mudah bagi Gina menerima diagnosis tersebut. Selain kecewa dan terkejut dengan hasil diagnosis, ia harus membiasakan diri minum obat secara rutin. ”Aku memberi stigma pada diri sendiri bahwa aku gila dan penyakitan karena harus minum obat. Selain itu, orang lain menganggap aku gila, kurang ibadah dan iman,” ujarnya.
Namun, dukungan dari psikolog yang menangani Gina membuatnya kuat. Perihal minum obat bukanlah hal yang salah, melainkan kebutuhannya.
Dari situ, perlahan Gina mulai menerima keadaan dirinya sendiri. Meski terkadang episode manik datang dan silih berganti dengan depresi, ia tidak membiarkan emosi serta pikirannya ambil kendali. ”Mereka ada bersamaku, tapi aku yang akan mengendalikan,” lanjut Gina.
Dokter spesialis kedokteran jiwa Rumah Sakit (RS) Abdul Radjak Cileungsi, Pangeran Erickson Arthur Siahaan, menyampaikan, pemulihan bukan hanya untuk mengurangi gejala, melainkan membuat ODB kembali pulih dan berdaya menjalani hidup.
Proses pemulihan mencakup tata laksana yang baik, seperti konsumsi obat-obatan, psikoterapi, rehabilitasi psikososial, dan dukungan keluarga serta orang-orang terdekat.
”Tidak ada satu cara pemulihan yang terbukti ampuh. Semua perlu dikombinasikan. Pengobatan, psikoterapi, termasuk support system (sistem pendukung) di lingkungan sekitar yang baik,” ungkapnya.
”Keluarga juga bukan satu-satunya, melainkan orang yang dipercaya dan mau mendengarkan cerita pasien karena mereka harus mencurahkan perasaannya,” kata Erickson dalam seminar bertajuk ”Kenalan Lagi dengan Gangguan Bipolar” yang diadakan oleh Bipolar Care Indonesia, di Jakarta, Minggu (2/4/2023).
Menurut Erickson, psikolog, psikiater, dan terapis lain hanya berperan sebagai media perantara. Lebih dari pada itu, setiap pasien diharapkan mampu menjadi terapis bagi dirinya sendiri. Ada berbagai macam cara terapi, salah satunya relaksasi pernapasan yang dapat membantu saat menghadapi kecemasan.
Bukan faktor tunggal
Dalam mendeteksi bipolar, perlu diketahui bahwa bipolar terjadi bukan karena faktor tunggal. Terdapat tiga faktor yang menyebabkan seseorang mengalami bipolar, yakni biologi, psikologi, dan sosial.
Erickson menjelaskan, faktor biologi berkaitan dengan kerentanan genetik secara turun-temurun. Lalu, faktor psikologi berkaitan dengan anggapan diri sendiri, termasuk trauma di masa lalu. Kemudian, faktor sosial berkaitan dengan pola asuh orangtua atau situasi dari lingkungan sekitar.
”Genetik memang berpengaruh, tapi tidak 100 persen. Semua bisa saling berhubungan. Saat seseorang tidak dapat menemukan meluapkan emosinya dengan baik, maka bisa muncul faktor risiko ke depannya,” ucapnya.
Hal itu pula yang dialami Anna. Selain faktor genetik yang tampak dari beberapa kerabatnya yang juga mengidap bipolar, belakangan Anna tersadar bahwa pola asuh oleh saudaranya di masa kecil juga menjadi faktor risiko. Ada pula pengalaman buruk di masa kecilnya yang turut memberikan efek trauma sampai saat ini.
Maka dari itu, Anna tak ingin anaknya bernasib sama sepertinya. Ia merasa kekhawatirannya atas tumbuh kembang sang anak yang baru lahir berlebihan dan mengancam anaknya. Untungnya, ia segera sadar dan meminta pertolongan yang tepat dengan datang ke psikiater.
”Aku percaya enggak sepenuhnya itu dipengaruhi turunan. Memang ada faktor itu. Tapi, kembali lagi, tinggal bagaimana treatment-nya,” ujar Anna.
Oleh sebab itu, penting adanya deteksi dini dalam gangguan jiwa agar orang dengan gangguan jiwa dapat segera mendapat pertolongan yang tepat. Salah satunya, gangguan tersebut dapat dilihat melalui bagaimana pola berperilaku, pola berpikir, pola berelasi, dan perasan individu.
Baca juga : Stigmatisasi Membebani Pemulihan pada Orang dengan Bipolar
Seperti halnya Anna, ia menyadari adanya kejanggalan dalam kepribadiannya semenjak remaja. Namun, hal itu tidak dirasakan sebagai gangguan sehingga berangsur-angsur berlalu dan baru terdeteksi saat ia berusia kepala tiga. Meski kini suara-suara di kepala Anna masih kerap mengganggu, ia tahu bagaimana harus menghadapinya.