Film menjadi media yang tepat untuk mengenalkan kebudayaan ke anak. Untuk itu, pemerintah mendorong produksi film bertema kebudayaan melalui kompetisi terbuka.
Oleh
SEKAR GANDHAWANGI
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi mendorong produksi film fiksi dan dokumenter bertema kebudayaan melalui kompetisi terbuka. Film terpilih akan ditayangkan di kanal digital Indonesiana TV, sekolah, dan ruang publik, serta digunakan sebagai media edukasi kebudayaan ke anak.
Kompetisi bertajuk ”Layar Anak Indonesiana 2023” ditujukan untuk para pembuat film Indonesia. Mereka dapat mengirimkan proposal produksi film ke penyelenggara secara daring hingga 16 Mei 2023.
Tema kompetisi ini adalah ”Anak dan Budaya”. Film mesti memuat setidaknya satu dari 10 obyek budaya dalam Undang-Undang Pemajuan Kebudayaan, yaitu tradisi lisan, manuskrip, adat istiadat, permainan anak, olahraga tradisional, pengetahuan tradisional, teknologi tradisional, seni, bahasa, dan ritus.
”Terus terang, kita sangat kekurangan konten yang berkualitas untuk penonton anak-anak. Karena itu, kami perlu menggandeng banyak pihak melalui open call Layar Anak Indonesiana 2023 agar dapat memenuhi kebutuhan ini bersama-sama. Sementara itu, budaya diangkat sebagai tema karena memiliki banyak sisi menarik yang bisa dinarasikan menjadi pengetahuan sekaligus hiburan,” kata Direktur Perfilman, Musik, dan Media Kemendikbudristek Ahmad Mahendra, Rabu (29/3/2023).
Edukasi budaya penting untuk menumbuhkan apresiasi dan kecintaan anak terhadap keberagaman budaya di Indonesia. Anak yang mengenal budaya diharapkan tumbuh menjadi agen pemajuan kebudayaan, antara lain dengan melindungi, mengembangkan, dan memanfaatkan kebudayaan.
Anak yang mengenal budaya juga diharapkan berpartisipasi untuk menghidupkan kebudayaan di zaman modern. Sebagai contoh, sebagian bahasa daerah terancam punah karena masalah regenerasi. Menurut catatan Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Kemendikbudristek, dua golongan utama yang paling sedikit menggunakan bahasa daerah adalah generasi Z dan generasi pasca-Z.
”Pengenalan budaya ke anak penting karena mereka akan menjadi agen pemajuan kebudayaan Indonesia. Mereka diharapkan akan ikut melestarikan, mengembangkan, dan memperkaya budayanya sendiri,” kata Mahendra.
Pengenalan budaya ke anak penting karena mereka akan menjadi agen pemajuan kebudayaan Indonesia.
Kurator program Layar Anak Indonesiana 2023, Rina Damayanti, mengatakan, audiens film kebudayaan di program ini adalah anak-anak berusia 7-12 tahun. Para sineas diharapkan mengangkat kisah anak-anak dari seluruh Indonesia dan kebudayaan mereka.
Film terpilih nantinya akan ditayangkan di kanal Indonesiana TV yang dikelola Kemendikbudristek serta di salah satu jaringan televisi kabel. Film pilihan diharapkan bisa menembus festival film skala nasional dan regional.
Dekat dengan generasi muda
Menurut Ketua Komunitas Gemulun Indonesia yang berbasis di Jambi, Sean Popo Hardi, film adalah media yang dekat dengan generasi muda saat ini sehingga tepat jika digunakan untuk mengenalkan kebudayaan. Komunitas Gemulun menginisiasi program Bioskop Rakyat, yakni acara menonton film bersama masyarakat melalui layar tancap.
Film-film yang ditayangkan berkisah soal kebudayaan lokal. Beberapa judul film yang pernah diputar, antara lain, Kemegahan Tersembunyi di Balik Kawasan Candi Muaro Jambi, Tradisi Tadung, serta Menjaga Sungai Batanghari Lestarikan Budaya Jambi. Mereka juga menayangkan Tapa Malenggang yang diadopsi dari tradisi lisan masyarakat Kabupaten Batanghari, Jambi.
Menurut Sean, Tapa Malenggang adalah tradisi populer, tetapi tidak banyak masyarakat yang tahu seluk-beluknya. ”Pertimbangan kami dalam memutar film itu ialah karena ada kedekatan budaya dengan masyarakat atau penonton umum. Selain itu, pengetahuan yang mendalam tentang budaya Jambi di masyarakat masih minim. Kehadiran film menjadi edukasi bagi masyarakat, khususnya generasi muda,” ucapnya.
Pemutaran film budaya disambut positif oleh masyarakat. Komunitas Gemulun Indonesia kerap diminta menggelar program serupa di desa lain dan sejumlah sekolah. Ini adalah sinyal positif untuk meneruskan edukasi kebudayaan lewat film.
Sebelumnya, produser film Atiqah Koto memandang bahwa film dapat menjadi media pendidikan, cerminan kondisi masyarakat saat ini, serta media untuk menginspirasi penonton. Film juga menjadi media mendokumentasikan sejarah dan budaya.
Salah satu film yang ia produksi, Melodi Marapu, berkisah tentang Kahi Ata Ratu, pemain jungga atau instrumen tradisional Sumba, Nusa Tenggara Timur. Ata Ratu disebut sebagai satu-satunya perempuan di sana yang dapat menciptakan lagu, menyanyi, dan memainkan jungga.
”Ini agar penonton tahu di Sumba ada perempuan yang masih terus berkarya melawan kerasnya patriarki di sana,” kata Atiqah pada diskusi di Museum Kebangkitan Nasional, Desember 2022. ”(Membuat film tentang Ata Ratu) menambah semangat kami. Harapannya ini menambah semangat publik juga.”