Acara nonton bareng di desa atau daerah lain yang belum memiliki gedung bioskop tidak hanya memperluas ruang ekshibisi film. Kegiatan ini juga memantik dialog soal film hingga budaya.
Oleh
SEKAR GANDHAWANGI
·3 menit baca
KOMPAS/PRIYOMBODO
Siluet warga yang melintas di layar yang tengah memutar film dalam festival layar tancap di lapangan di Babakan, Kecamatan Setu, Tangerang Selatan, Banten, Rabu (18/1/2023) malam.
JAKARTA, KOMPAS — Sejumlah komunitas membuat ruang pemutaran film alternatif di desa-desa atau daerah lain yang belum memiliki gedung bioskop. Ruang putar alternatif ini berkembang menjadi wadah untuk mengenalkan dan mendiskusikan kebudayaan lokal.
Komunitas Gemulun Indonesia, misalnya, menggelar acara menonton bareng (nobar) film dokumenter tentang Tapa Malenggang, cerita rakyat yang jadi bagian dari tradisi lisan masyarakat Kabupaten Batanghari, Jambi.
Tapa Malenggang mengisahkan tokoh Mambang Di Awan yang berubah bentuk menjadi ikan. Ia dan kedua saudaranya berenang ke ujung Sungai Batanghari untuk menjemput jodohnya. Dalam perjalanan, Mambang Di Awan menghadapi berbagai rintangan.
Ketua Komunitas Gemulun Indonesia Sean Popo Hardi pada Kamis (23/2/2023) mengatakan, tradisi ini populer, tetapi banyak masyarakat yang belum tahu seluk-beluk Tapa Malenggang. Tradisi ini bahkan dapat punah karena regenerasi terhambat. Maestro tradisi lisan Tapa Malenggang kini tinggal dua orang dan keduanya telah lansia.
”Tapa Malenggang menjadi tradisi dan ikon Batanghari. Namun, Tapa Malenggang tidak dikenal karena penuturnya tinggal sedikit,” kata Sean saat dihubungi dari Jakarta.
KOMPAS/PRIYOMBODO
Antusias warga yang menyaksikan film dalam festival layar tancap di lapangan di Babakan, Kecamatan Setu, Tangerang Selatan, Banten, Rabu (18/1/2023) malam. Sebanyak 21 layar tancap memutar film berbagai genre secara bersamaan.
Badan Pelestarian Nilai Budaya setempat lantas membuat film dokumenter Tapa Malenggang. Komunitas Gemulun Indonesia terlibat dalam proyek ini. Film dokumenter Tapa Malenggang lalu ditayangkan ke enam titik di Batanghari melalui program Bioskop Rakyat yang digagas Komunitas Gemulun Indonesia.
Penayangan pertama berlangsung pada 4 Februari 2023 di Kecamatan Muara Bulian, Batanghari, dengan dukungan pemerintah daerah. Kegiatan ini disambut positif oleh publik. Sean memperkirakan ada ratusan hingga ribuan warga yang hadir waktu itu.
Tradisi Tapa Malenggangdapat punah karena regenerasi terhambat. Maestro tradisi lisan Tapa Malenggang kini tinggal dua orang dan keduanya telah lansia.
Program ini, menurut rencana, digelar enam kali sepanjang Februari-Mei 2023. Penayangan dilakukan, antara lain, di desa, sekolah, dan perguruan tinggi. Diskusi kebudayaan digelar setelah film ditayangkan.
”Ada beberapa kepala desa yang bertanya apa kegiatan ini bisa dibawa ke desa. Mereka menyatakan siap memfasilitasi dengan dana desa. Ada juga kepala sekolah yang tertarik menjadikan film dan buku cerita rakyat yang kami buat untuk bahan ajar P5 (Proyek Penguatan Profil Pelajar Pancasila),” ujar Sean.
Adapun Komunitas Kembang Gula membuat program Srawung Sinema, program serupa layar tancap keliling. Program ini direncanakan berlangsung di sembilan titik di Jawa Tengah. Sejak 17 Desember 2022, Srawung Sinema telah tiga kali diadakan. Penayangan pertama diadakan di Kampung Malangjiwan, Kecamatan Colomadu, Kabupaten Karanganyar, Jateng. Ada ratusan audiens dari berbagai kelompok usia.
Film sejak dulu menjadi media untuk membangun kesadaran publik akan suatu isu. Hal ini pernah dilakukan sejumlah sineas di Argentina pada tahun 1960-an.
Menurut perwakilan Kembang Gula, Fanny Chotimah, Srawung Sinema membuka ruang interaksi antara pembuat film dan masyarakat. Dialog juga terjadi karena wacana pada film dekat dengan konteks kehidupan masyarakat.
”Selama pemutaran berlangsung, warga selalu antusias dan memberi respons positif, mereka menyambut baik dan merasa terhibur dengan adanya layar tancap,” katanya melalui keterangan tertulis.
Antusias warga menyaksikan film yang diputar dalam festival layar tancap di Babakan, Kecamatan Setu, Tangerang Selatan, Banten, Rabu (18/1/2023) malam.
Sinema Mikro
Selain Kembang Gula dan Komunitas Gemulun Indonesia, ada 37 komunitas lain yang menerima bantuan program Sinema Mikro dari Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi sepanjang 2022. Sinema Mikro merupakan bagian dari program Fasilitasi Bidang Kebudayaan (FBK) yang memungkinkan pegiat seni dan budaya menerima bantuan pemerintah dengan mengajukan proposal.
”Fasilitasi Bidang Kebudayaan Sinema Mikro tidak hanya digunakan sebagai ruang bioskop alternatif. Namun, lebih menjadi dukungan kepada komunitas untuk meningkatkan jumlah ruang pertemuan kebudayaan berbasis audio-visual,” ujar Direktur Jenderal Kebudayaan Kemendikbudristek Hilmar Farid.
KOMPAS/DIONISIUS REYNALDO TRIWIBOWO
Salah satu film yang diputar dalam roadshow Borneo Environment Film Festival (BEFF) 2019 dengan judul Menplak Diam untuk Hutan yang dibuat oleh komunitas Himba Indonesia di Palangkaraya, Sabtu (23/6/2019).
Pengamat film Hikmat Darmawan mengatakan, film sejak dulu menjadi media untuk membangun kesadaran publik akan suatu isu. Hal ini pernah dilakukan sejumlah sineas di Argentina pada tahun 1960-an. Mereka percaya bahwa film baru dikatakan selesai jika memantik percakapan masyarakat.
Hal serupa terjadi di Indonesia. Film dokumenter Jagal (2012), misalnya, dibuat untuk membangun kesadaran akan tragedi 1965 dan isu HAM. Film-film dokumenter produksi Watchdoc Documentary juga memuat berbagai isu, mulai dari lingkungan, sosial, hingga politik.
”Film-film itu diputar gratis (di platform daring). Tapi, ada juga yang (mengadakan) nobar agar ada percakapan setelahnya,” tutur Hikmat.