Meskipun dilarang bersekolah, anak-anak Baduy tetap bahagia belajar dari nilai-nilai budaya dan alam di sekitarnya. Mereka butuh pendidikan, tetapi juga harus memastikan eksistensi adatnya agar tidak tergerus arus zaman.
Oleh
TATANG MULYANA SINAGA
·5 menit baca
Larangan adat mengenyam pendidikan formal bukan berarti membuat masyarakat suku Baduy tidak belajar. Mereka terdidik secara lisan dan keteladanan. Tanpa bersekolah, anak-anak Baduy meniti jalan sunyi belajar dari alam dan filosofi hidup yang diwariskan para leluhur.
Tubuh mungil Mila (8) tenggelam di antara hamparan padi huma di kawasan Baduy Luar, Desa Kanekes, Kecamatan Leuwidamar, Kabupaten Lebak, Banten, Kamis (16/3/2023) siang. Ia berlari sambil meniup terompet yang dibuatnya sendiri dari jerami.
Tak ada raut kelelahan di wajahnya meski baru saja menyusuri jalan menanjak dan berbatu lebih dari 2 kilometer. Bagi anak-anak Baduy, ladang adalah tempat bermain sekaligus belajar.
Mila hanya butuh waktu kurang dari dua menit untuk membuat mainan itu. Dengan menggunakan parang, ia memotong jerami sepanjang 5 sentimeter, kemudian membuat lubang kecil di bagian pangkal batang untuk menghasilkan bunyi saat ditiup.
”Dari usia enam tahun sudah bisa buat empet-empetan (terompet dari batang jerami) sendiri karena sering ke ladang,” ujarnya.
Mila tidak bersekolah. Sehari-hari ia dan anak-anak lainnya berbahasa Sunda dialek Baduy. Namun, anak pertama dari dua bersaudara tersebut lancar berbahasa Indonesia saat berkomunikasi dengan pengunjung atau wisatawan.
Selain itu, masyarakat di Baduy Luar diperbolehkan menggunakan gawai. Gawai menjadi salah satu sarana mereka untuk belajar bahasa dan membaca.
Akan tetapi, penggunaan gawai sangat terbatas. Sebab, sumber aliran listrik PLN masih dilarang. Jadi, daya baterai gawai baru bisa diisi saat berada di luar Desa Kanekes.
Siang itu, Mila mendatangi ladang tetangganya yang sedang dipanen. Ladang itu milik Samin (23) dan keluarganya. Samin bersama lima anggota keluarganya memanen menggunakan etem atau ani-ani. Alat ini merupakan pisau kecil yang dipakai dengan cara memotong satu per satu tangkai bulir padi.
Samin menyebutkan, anak-anak Baduy sudah diajak ke ladang sejak berumur lima tahun. Bukan untuk membantu pekerjaan orangtuanya, tetapi membiasakan diri berada di ladang dan melihat aktivitas di sana.
”Segala aktivitas di ladang, seperti menanam dan panen, dilakukan bersama-sama, baik dibantu anggota keluarga maupun tetangga. Jadi, mereka (anak-anak) bisa belajar tentang gotong royong di ladang,” ucapnya.
Masyarakat Baduy bertani di ladang kering. Padi ditanam di perbukitan tanpa pupuk kimia. Padi dipanen setelah berumur enam bulan.
Setelah dipanen, padi dijemur selama 1-2 pekan di ladang. Meskipun tanpa dijaga, tak ada kekhawatiran hasil panen padi akan dicuri. Ini merupakan pelajaran penting bagi anak-anak Baduy untuk tidak mengambil yang bukan haknya.
Pihak Baduy pada prinsipnya mempersilakan warganya mempelajari ilmu membaca, menulis, dan berhitung karena memang perlu. Namun, pelajaran itu hanya sebatas pelengkap, tidak dibebaskan dan dibuka secara formal serta jangan sampai menimbulkan atau mengganggu tatanan hukum adat.
Anak-anak Baduy juga bisa belajar cara mengelola alam di ladang. Sebab, setelah dipanen, ladang tidak boleh langsung ditanam padi. Biasanya warga menanam palawija, buah, dan pohon kayu.
”Sekitar 5-7 tahun baru bisa menanam padi di lahan yang sama. Jadi, tanahnya punya kesempatan untuk pulih dan subur kembali,” ucapnya.
Keterampilan lain yang dimiliki anak-anak Baduy adalah membuat kerajinan budaya, seperti menenun dan membuat tas koja atau jarog berbahan kulit kayu. Ana (12), warga Kampung Balimbing, Baduy Luar, misalnya, sudah bisa menenun sejak usia 7 tahun.
Tangannya sangat cekatan menggunakan cancangan dan barera dalam membuat motif tenun. ”Sekarang baru bisa buat kain (tenun) yang kecil dan sedang. Kalau ukuran besar, harus dibantu ambu (ibu) atau uwak,” katanya.
Produk tenun Baduy banyak diburu wisatawan saat akhir pekan atau musim liburan. Hampir setiap sore Ana mengasah keterampilan menenun sembari menjaga warisan tradisi budayanya tersebut.
Ana pun mahir membaca dan menulis. Ia belajar dari tetangganya, Marno (20), yang saat ini kuliah di Universitas Indonesia.
Hak masyarakat adat
Meskipun ada larangan bersekolah formal, sejumlah warga Baduy mengenyam pendidikan hingga jenjang sarjana. Berdasarkan data Pemerintah Desa Kanekes, dari total warga 13.308 jiwa, terdapat 277 orang tamat sekolah dasar (SD), 132 orang tamat sekolah menengah pertama (SMP) sederajat, 36 orang tamat sekolah menengah atas (SMA) sederajat, dua orang tamat diploma III, dan empat orang tamat sarjana.
Sarpin (51), ayah Marno, mengatakan, tidak mudah bagi anak-anak Baduy untuk bersekolah. Selain terbentur aturan adat, mereka juga terkendala biaya dan tidak adanya sekolah di kampung tersebut.
”Dulu, saya secara pribadi membayar guru untuk mengajar Marno. Setelah itu diikutkan ke PKBM (Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat) untuk pendidikan kesetaraan. Saya ingin memastikan, apakah masyarakat adat punya hak sipil yang sama dengan warga lainnya,” ujarnya.
Menurut Sarpin, mengakses pendidikan formal masih menjadi tantangan di Kanekes di tahun-tahun mendatang. Namun, ia bisa memahami larangan tersebut demi eksistensi masyarakat Baduy itu sendiri.
Sardi (60), warga Kampung Cibeo, Baduy Dalam, menuturkan, larangan bersekolah merupakan salah satu aturan adat yang masih dipegang teguh di kampung itu. Bukan berarti membaca, menulis, dan berhitung tidak penting. Namun, tujuan utamanya untuk menahan pengaruh kehidupan modern dan tetap fokus pada keyakinan menjalankan nilai-nilai luhur.
”Pendidikan untuk anak-anak (Baduy) diutamakan pada pemahaman terhadap aturan-aturan adat. Kalau hanya untuk kepuasan materi dan kemajuan hidup, tidak akan ada batasnya. Adat pun bisa terlupakan nantinya,” katanya.
Dalam buku Saatnya Baduy Bicara yang ditulis Asep Kurnia dan Ahmad Sihabudin (2010) disebutkan, pendidikan di Baduy sudah dikenal dan diterapkan sejak kesukuan mereka lahir. Namun, konsepnya sederhana yang disesuaikan dengan tatanan hukum adat. Proses dan prioritas pendidikan papagahan (saling mengajari sesama warga) disampaikan secara lisan dan percontohan.
”Pihak Baduy pada prinsipnya mempersilakan warganya mempelajari ilmu membaca, menulis, dan berhitung karena memang perlu. Namun, pelajaran itu hanya sebatas pelengkap, tidak dibebaskan dan dibuka secara formal serta jangan sampai menimbulkan atau mengganggu tatanan hukum adat,” tulis buku itu.
Di saat anak seusianya menikmati pendidikan formal, anak-anak Baduy juga tak kalah bahagia belajar dari nilai-nilai budaya dan alam di sekitarnya. Mereka membutuhkan pendidikan untuk berinteraksi dengan masyarakat luar, tetapi juga memastikan eksistensi adatnya agar tidak tergerus arus zaman.