Baduy, Tenteram dalam Dekapan Alam
Ketenteraman kehidupan masyarakat Baduy diraih dengan kesederhanaan. Kebahagiaan ibarat bonus dari keteguhan mereka memuliakan alam dengan menjalankan filosofi hidup yang diwariskan para leluhur.
Hidup terikat aturan adat, berjarak dari modernisasi, dan jauh dari keglamoran kota tidak memenjara kebahagiaan masyarakat Baduy. Dengan berbagai keterbatasan, mereka mengendalikan keinginan agar hidup tenteram dalam dekapan alam.
Kabut tipis menyelimuti perkampungan di kawasan Baduy Luar, Desa Kanekes, Kecamatan Leuwidamar, Kabupaten Lebak, Banten, Kamis (16/3/2023) pagi. Suara serangga yang mengiringi tidur sepanjang malam perlahan tenggelam oleh kokok ayam yang bersahutan.
Angin bertiup pelan di permukiman masyarakat adat yang dikepung perbukitan dan hutan tersebut. Udara dingin berembus melalui celah bilik serta lantai rumah panggung berbahan bambu. Tidak ada suara kendaraan yang mengacaukan ketenangan.
Baca juga: Laporan Tematik Kebahagiaan
Pukul 05.00, asap mengepul dari dapur, pertanda dimulainya denyut kehidupan. Aroma makanan menguar menggugah selera. Kebanyakan warga memasak memakai kayu bakar.
Beberapa lelaki bergegas keluar rumah memberi makan ternak. Ada juga yang duduk di teras sambil menyeruput kopi.
Bulan ini merupakan masa panen padi huma bagi warga Baduy. Di sana, padi ditanam di perbukitan tanpa irigasi dan pupuk kimia. Padi dipanen setelah berumur 6 bulan.
Dari Kampung Balimbing, Kasman (30) dan istrinya, Artisa (30), menapaki jalan berbatu menuju ladang. Bersama lima kerabatnya, mereka menyusuri jalan menanjak dan menurun serta menyeberangi Sungai Ciujung sedalam 0,5 meter.
Baca Juga: ”Healing” di Tengah Kesahajaan Masyarakat Baduy
Warga Baduy terbiasa bergotong royong, termasuk saat menanam dan memanen padi. Proses panen memakan waktu 5-14 hari, tergantung luas ladang.
Setelah 15 menit berjalan kaki sejauh 1,5 kilometer, Kasman tiba di ladangnya. Mereka berkumpul di saung mungil di tengah ladang. Bekal dari rumah dengan menu nasi putih, ikan asin, daun singkong rebus, dan sambal menjadi santapan pagi sebelum mulai bekerja.
”Kalau ke ladang, warga di sini sudah terbiasa bawa bekal untuk sarapan dan makan siang. Jadi, sangat terasa suasana kekeluargaannya,” ujarnya.
Setelah sarapan, mereka mulai memanen menggunakan etem atau ani-ani. Alat ini merupakan pisau kecil yang dipakai dengan cara memotong satu per satu tangkai bulir padi.
Dibandingkan dengan memakai sabit, cara tradisional tersebut memang memakan waktu lebih lama. Namun, dengan etem, petani lebih mudah memilah bulir yang sudah masak dan berkualitas baik.
Padi yang terkumpul diikat menggunakan kulit bambu kering. Tak ada ukuran pasti untuk setiap ikatannya.
Lihat juga: Hidup Selaras Alam, Rahasia Kebahagiaan Masyarakat Baduy
Kasman hanya menggenggam sejumlah tangkai padi dengan kedua tangannya, lalu mengikatnya. Ia mengumpulkan 66 ikat padi selama enam hari panen. Padi tidak dibawa ke rumah, tetapi dijemur di ladang selama 1-2 pekan.
Tak ada kekhawatiran padinya akan dicuri. Sebab, setiap warga Baduy bertani dan mempunyai cadangan padi melimpah di leuit atau lumbung masing-masing. Selain itu, padi huma hanya dipakai untuk keperluan sendiri, tidak boleh dijual.
”Berapa pun hasil panennya, kami tetap bersyukur atas kebaikan alam. Padi dikumpulkan di leuit dan baru digunakan saat ada acara, seperti sunatan, perkawinan, dan kematian,” ujarnya.
Warga Baduy juga menanam palawija dan buah-buahan. Sebagian di antaranya membuat gula aren dari pohon kawung. Hasil penjualannya digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.
Selesai memanen, Kasman bersama istri dan kerabatnya kembali ke saung. Kopi dan teh diteguk menghilangkan dahaga. Sebelum pulang, mereka tidur sekitar satu jam untuk memulihkan tenaga.
Di Legok Jeruk, kampung di Baduy Luar lainnya, Dani (32) duduk santai di teras warungnya. Kampung itu baru saja dibuka empat bulan lalu. Hanya ada lima kepala keluarga yang tinggal di sana.
Dani dan tetangganya harus menunggu lima tahun untuk bisa bermukim di kawasan itu. Sebab, membuka kampung di Baduy tak boleh sembarangan. Mesti ada izin dari pemuka adat yang disebut jaro.
Tak ada kekhawatiran padinya akan dicuri. Sebab, setiap warga Baduy bertani dan mempunyai cadangan padi melimpah dileuit atau lumbung masing-masing. Selain itu, padi huma hanya dipakai untuk keperluan sendiri, tidak boleh dijual.
Jaro membatasi hanya 60 keluarga yang diperbolehkan menempati kampung itu. Pembatasan ini diberlakukan agar penggunaan lahan tidak serampangan.
”Kami boleh tinggal di sini, tetapi alamnya juga jangan dirusak,” katanya.
Dani juga bertani padi. Ladangnya baru dipanen pekan lalu dengan hasil 115 ikat. Selain berdagang, ia juga berkebun pisang dan kelapa dengan penghasilan Rp 200.000-Rp 300.000 per pekan.
Bapak tiga anak itu mengakui, hidup di Baduy sarat dengan aturan. Banyak hal yang tidak diperbolehkan. Namun, ia memahami hal itu sebagai warisan cara hidup leluhur untuk mencapai kedamaian.
Larangan memakai kendaraan di sana membuat warga bebas dari kebisingan dan polusi. Sumber aliran listrik PLN juga dilarang. Namun, beberapa rumah menggunakan lampu bertenaga surya secara terbatas untuk penerangan di malam hari.
Baca Juga: Saba Budaya Baduy, Pertalian Sehat Masyakarat Baduy dan Wisatawan
Ketenangan itu membuat Dani dan keluarganya tak tergiur hidup di perkotaan atau di luar Baduy. ”Di luar pasti banyak kebutuhan dan keinginan. Sementara di sini, punya beras ditambah ikan asin saja ibaratnya sudah dapat bungah sekarung. Hidup tenang tanpa bernafsu mengejar keinginan,” ujarnya.
Kebahagiaan juga dirasakan anak-anak Baduy. Hampir setiap sore setelah pulang dari ladang, anak laki-laki di Kampung Balimbing bermain sepak bola di lapangan tanpa rumput. Hanya sedikit yang memakai sepatu, kebanyakan bertelanjang kaki.
Mereka tidak mencatat skor, apalagi menentukan durasi pertandingan. Kesenangan lebih penting ketimbang kemenangan. Langit gelap menjadi ”peluit panjang” yang menyudahi permainan.
Anak-anak perempuan pun menjalani hari dengan ceria. Mereka tidak bersekolah, tetapi punya berbagai keterampilan, salah satunya menenun. Produk tenun banyak diburu wisatawan saat akhir pekan atau musim liburan.
Ana (12), misalnya, sudah bisa menenun sejak usia 7 tahun. Ia terus mengasah keterampilannya sembari menjaga warisan tradisi budayanya.
Ia larut dalam keasyikan merangkai benang untuk membuat pola tenunan. ”Sekarang baru bisa buat kain (tenun) yang kecil dan sedang. Kalau ukuran besar, harus dibantu ambu (ibu) atau uwak,” katanya.
Baduy Dalam
Masyarakat Baduy Dalam mempunyai aturan adat lebih ketat. Warga yang tinggal di Kampung Cibeo, Cikeusik, dan Cikartawana itu dilarang memakai alas kaki dan menggunakan kendaraan meskipun berada di luar kawasan Baduy.
Pada bulan Kawalu seperti sekarang, akses bagi wisatawan ditutup selama tiga bulan sejak 24 Januari. Tamu pemerintah atau desa diizinkan masuk dengan pembatasan tidak lebih dari lima orang.
Masyarakat Baduy menggelar tradisi Kawalu setiap tahun sekali. Tradisi tersebut merupakan ungkapan syukur atas hasil panen sebelum upacara Seba.
Akan tetapi, mereka tetap diperbolehkan menemui kerabat atau kenalan di kawasan Baduy Luar. Narja (70), misalnya, berjalan kaki selama satu jam dari Kampung Cibeo menuju Kampung Kaduketug 1 untuk menemui kerabatnya yang datang dari Jakarta.
Ia memakai pakaian khas Baduy Dalam dengan baju atau jamang dan ikat kepala atau telekung putih serta mengenakan bawahan atau kain samping berwarna hitam. Tak ketinggalan tas selempang atau koja untuk menyimpan berbagai barang bawaan.
Larangan menggunakan kendaraan bukanlah penderitaan bagi Narja. Telapak kakinya terbiasa menginjak lumpur, jalan berbatu, dan aspal saat menjual madu dan produk kerajinan, seperti tas koja atau jarog berbahan kulit kayu, ke Jakarta. Perjalanan ke Ibu Kota ditempuh dalam 2,5 hari.
Bahkan, ia pernah berjalan kaki ke Bandung, Jawa Barat, selama lima hari. Warga Baduy Dalam tidak diperbolehkan menggunakan sabun, sampo, dan pasta gigi karena dikhawatirkan mencemari alam.
”Kami tetap bahagia melakukannya. Kalau tidak, pasti sudah pindah ke luar dari dulu,” katanya.
Narja mengakui, modernisasi dan kemajuan teknologi menawarkan banyak kemudahan. Berbagai pekerjaan dapat diselesaikan lebih cepat. Namun, hal itu tak menjamin kualitas hidup lebih baik.
”Di kampung tidak banyak tuntutan hidup. Tidak ada target dalam satu bulan menghasilkan berapa banyak uang. Keinginan pasti ada, tetapi harus bisa dikendalikan agar jangan dikejar-kejar nafsu kerakusan. Hidup itu yang penting tenang dan senang,” tuturnya.
Secara turun-temurun, masyarakat Baduy di Pegunungan Kendeng diajarkan untuk hidup melestarikan alam. Konsep lahan dibagi dalam tiga jenis, yaitu hutan larangan, hutan dudungusan, dan hutan garapan. Pembagian ini menjadi modal penting untuk mengendalikan pemanfaatan lahan.
Baca Juga: Berbekal Bahasa Lokal, Geise Masuk Komunitas Baduy dan Muslim Banten Selatan
Dalam buku Badujs en Moslims (2022), Nicolaas Johannes Cornelis Geise menyebutkan, penduduk Baduy Dalam menetapkan bidang tanah yang luas sebagai taneuh atau tanah terlarang. Penetapan ini mempunyai dampak religius, yaitu sejumlah ketentuan larangan yang bersifat teritorial di kawasan tersebut.
Narja menuturkan, hutan larangan tidak boleh dimasuki sembarangan agar jangan dirusak. Hutan di bagian hulu itu diibaratkan sebagai sumber kehidupan masyarakat Baduy karena melindungi mata air.
Kepala Seksi Pemerintahan Desa Kanekes Sarpin mengatakan, desa itu memiliki luas sekitar 5.000 hektar. Sekitar 3.000 hektar merupakan hutan lindung. Sisanya digunakan sebagai lahan pertanian dan permukiman.
”Walaupun punya kemampuan finansial, warga tidak diperbolehkan membuka ladang di kawasan hutan. Itu sudah ketentuan karena harus ada izin dari pemuka adat (membuka ladang). Jadi, beberapa warga membeli ladang di luar Kanekes,” ujarnya.
Baca juga: Pembangunan yang Membahagiakan
Ketenteraman kehidupan masyarakat Baduy diraih dengan kesederhanaan. Kebahagiaan ibarat bonus dari keteguhan mereka memuliakan alam dengan menjalankan filosofi hidup yang diwariskan para leluhur, yaitu lojor teu meunang dipotong, pondok teu meunang disambung, gunung teu meunang dilebur, lebak teu meunang dirusak (panjang tak boleh dipotong, pendek tak boleh disambung, gunung tak boleh dihancurkan, lembah tak boleh dirusak).