Gunung Es Sebesar London Raya Terlepas dari Antartika
Survei Antartika Inggris telah merilis gambar udara pertama dari gunung es seluas London Raya yang mulai terlepas dari lapisan es Antartika atau Kutub Selatan pada Januari 2023 lalu.
Oleh
AHMAD ARIF
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Survei Antartika Inggris telah merilis gambar udara pertama dari gunung es seluas London Raya yang mulai terlepas dari lapisan es Antartika atau Kutub Selatan pada Januari 2023 lalu. Sementara itu, riset terbaru di Kutub Utara menunjukkan adanya penipisan lapisan es lebih dari setengahnya dalam 15 tahun terakhir.
Foto udara itu mengungkapkan, bongkahan es yang diberi nama A81 itu akhirnya keluar dari Antartika satu dekade setelah retakan pertama muncul, bergabung dengan pecahan gletser lain yang mengapung di Laut Weddell. Ini adalah pembelahan raksasa kedua yang tercatat dalam dua tahun.
”Ini adalah pecahan es yang kami tahu akan terjadi. British Antarctic Survey (BAS) telah memantau Lapisan Es Brunt dan jurang yang terbentuk di atasnya selama lebih dari satu dekade,” kata ahli glasiologi BAS, Oliver Marsh, dalam rilis pada Senin (13/3/2023).
Setelah pecah dari Antartika, gunung es tersebut berputar dan menuju selatan. Pecahan A81 diperkirakan bakal mengikuti jejak gunung es sebelumnya yang tersapu oleh Arus Pesisir Antartika yang kuat ke arah barat.
Ahli ekologi BAS Geraint Tarling mengatakan, pecahnya gunung es besar akan berdampak besar terhadap ekosistem laut yang mendukung kekayaan keanekaragaman satwa laut yang ditemukan di kawasan Antartika. ”Saat gunung es mencair, ia akan melepaskan banyak nutrisi yang dapat bermanfaat bagi pertumbuhan tanaman mikroskopis, seperti fitoplankton di dasar jaring makanan laut,” kata Tarling.
Sisi negatifnya, pencairan es dalam skala besar membuang banyak air tawar ke laut yang menurunkan tingkat salinitas dan membuat air tidak cocok untuk banyak fitoplankton dan zooplankton yang memakannya. ”Efek ini kemudian dapat mengalir ke atas jaring makanan untuk ikan, burung, anjing laut, dan paus,” katanya.
Tim BAS terus memantau secara dekat A81 bersama dengan gunung es lainnya di area tersebut, termasuk gunung es masif A76a yang juga sedang bergerak. Berukuran panjang 135 kilometer dan lebar 25 kilometer, A76A diyakini sebagai gunung es terapung terbesar di dunia, dua kali ukuran A81. Gunung es saat ini menuju ke Georgia Selatan, sebuah pulau di Samudra Atlantik Selatan.
Gunung es di sekitar Georgia Selatan bukanlah pemandangan yang aneh. Gunung es raksasa bernama A68A pernah mencapai beting selatan pulau itu pada tahun 2021 yang menimbulkan kekhawatiran bahwa gunung es tersebut dapat kandas di wilayah tersebut.
Sisi negatifnya, pencairan es dalam skala besar membuang banyak air tawar ke laut yang menurunkan tingkat salinitas dan membuat air tidak cocok untuk banyak fitoplankton dan zooplankton yang memakannya.
Namun, saat gunung es mendekati Georgia Selatan, ia mulai mencair dengan cepat dan menjadi pecahan-pecahan kecil yang tersapu dari pulau itu. Meski demikian, satwa liar di sekitar Georgia Selatan merasakan dampaknya karena miliaran ton air tawar yang dilepaskan akibat pencairan.
Selain dampak ekologis, gunung es di wilayah Georgia Selatan juga dapat menimbulkan risiko besar bagi kapal lokal. ”Tampaknya A76a mungkin akan mengarah ke barat Georgia Selatan,” catat Direktur Perikanan dan Lingkungan untuk Pemerintah Georgia Selatan Mark Belchier.
”Perhatian utama kami saat ini adalah kemungkinan risiko bagi kapal yang beroperasi di wilayah tersebut karena gunung es mulai pecah dan menghasilkan bongkahan es yang lebih kecil,” tambahnya.
Para ilmuwan dari National Snow and Ice Data Center (NISDC), University of Colorado, Boulder, menjelaskan, lepasnya gunung es, yang dikenal sebagai calving, adalah bagian normal dari kehidupan lapisan es kutub, bahkan ketika gunung es yang terlepas sangat besar. Ketika sebuah gunung es besar keluar dari lapisan es dalam sistem yang dinamakan gletser yang stabil, es yang hilang itu akan digantikan.
Arktik menipis
Berbeda dengan peristiwa lepasnya bongkahan es, penipisan lapisan es laut di kutub menjadi fenomena yang baru teramati, yang baru didokumentasikan sejak tahun 1990-an. Sejak itu, sejumlah penelitian menunjukkan bahwa disintegrasi es laut yang dihasilkan dari kondisi pemanasan bisa memicu perubahan permanen.
Riset terbaru yang dipublikasikan di jurnal Nature pada Rabu (15/3) menunjukkan, es laut Arktik di Kutub Utara telah kehilangan lebih dari setengah ketebalannya dalam 15 tahun terakhir sehingga menjadikannya lebih lemah dan rentan mencair. Penipisan lapisan es menunjukkan kecil kemungkinannya untuk pulih.
Sebelum tahun 2007, sekitar 19 persen es laut di Kutub Utara memiliki ketebalan sekitar 4 meter. Namun, sekarang hanya sekitar 9,3 persen lapisan es yang setebal itu. Dan, usia es telah turun lebih dari sepertiga, dari rata-rata 4,3 tahun menjadi 2,7 tahun.
”Es jauh lebih rentan dari sebelumnya karena lebih tipis, mudah meleleh,” kata penulis utama studi Hiroshi Sumata, ilmuwan es laut di Institut Kutub Norwegia. Es laut yang lebih tebal sangat penting untuk semua jenis kehidupan di Kutub Utara.
Studi tersebut menunjukkan bagaimana lingkungan es laut Arktik telah mengalami perubahan mendasar. Proyeksi terbaru memperkirakan lautan Arktik akan bebas es di sebagian musim panas dalam 20-30 tahun.
Ketebalan es laut dan kesehatan Arktik secara keseluruhan sangat penting bahkan untuk daerah ribuan mil jauhnya yang tidak membeku, kata Sumata. ”Itu akan memengaruhi seluruh Bumi karena kutub utara dan selatan adalah semacam radiator Bumi, sistem pendingin udara Bumi,” kata Sumata. ”Situasi yang kami amati menunjukkan AC tidak berfungsi dengan baik,” pungkasnya.