Bahaya Tersembunyi Garam bagi Kesehatan
Kebanyakan orang di dunia, termasuk di Indonesia, mengonsumsi garam lebih dari dua kali lipat tingkat yang direkomendasikan WHO. Konsumsi garam berlebih ini menjadi penyebab atas 1,8 juta kematian setiap tahun.
Garam merupakan penyedap utama makanan dan kandungan nutrisinya dibutuhkan tubuh. Namun, kebanyakan orang di dunia, termasuk di Indonesia, mengonsumsi garam lebih dari dua kali lipat tingkat yang direkomendasikan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO). Konsumsi garam berlebih ini menjadi penyebab 1,8 juta kematian setiap tahun.
Laporan terbaru WHO yang dirilis Kamis (9/3/2023) menyebutkan, tujuh juta orang bisa meninggal karena penyakit yang terkait dengan konsumsi garam berlebihan sebelum akhir dekade ini, kecuali setiap negara membatasi konsumsi garam dengan lebih ketat.
”Pola makan yang tidak sehat adalah penyebab utama kematian dan penyakit secara global, dan asupan natrium yang berlebihan menjadi salah satu penyebab utamanya,” kata Direktur Jenderal WHO Tedros Adhanom Ghebreyesus.
Menurut laporan WHO, pada tahun 2019, rata-rata asupan natrium atau sodium (Na) global orang dewasa mencapai 10,78 gram per hari garam. Padahal, rekomendasi WHO, asupan maksimal untuk orang dewasa hanya 5 g/hari garam atau sekitar satu sendok teh.
Baca juga : WHO Serukan Upaya Masif Mengurangi Asupan Garam
Asupan natrium negara berkisar dari yang terendah sebesar 5 g/hari garam hingga tertinggi 17,38 g/hari garam. Negara-negara di Afrika memiliki konsumsi garam terendah, sedangkan yang tertinggi di Asia Pasifik, terutama karena kontribusi konsumsi di China yang mencapai 17,7 g/hari.
Laporan ini juga menyebutkan, asupan natrium rata-rata di Indonesia tergolong tinggi, rata-rata 10,5 g/hari garam. Asupan natrium di Indonesia ini sama dengan negara tetangga Malaysia dan sedikit lebih rendah dibandingkan Singapura yang mencapai 11,5 g/hari.
Menurut perhitungan WHO, setidaknya 1,89 juta kematian setiap tahun dikaitkan dengan asupan natrium yang berlebihan. Penyebab yang sudah pasti berasal dari peningkatan tekanan darah dan peningkatan risiko penyakit kardiovaskular.
Laporan Tomasso Filippini dari University of Modena and Reggio Emilia, Italia, dan tim di jurnal Circulation (2021) membuktikan kaitan tingkat konsumsi natrium dengan tekanan darah. Dalam analisis dosis-respons pengurangan natrium dalam uji klinis, mereka mengidentifikasi hubungan yang linier antara asupan natrium dan pengurangan tekanan darah sistolik dan diastolik di seluruh rentang paparan natrium diet.
Sementara itu, penelitian Yi-Jie Wang dari Institute of Epidemiology and Preventive Medicine, National Taiwan University, dan tim di jurnal Nutrients (2020) juga menunjukkan hubungan linier yang signifikan antara asupan natrium diet dan risiko penyakit kardiovaskular. ”Risiko penyakit kardiovaskular meningkat hingga 6 persen untuk setiap peningkatan 1 gram asupan natrium,” tulis Wang.
Konsumsi garam yang berlebih dalam tubuh perlahan-lahan akan meningkatkan tekanan darah, dan tekanan darah yang meningkat itulah yang kemudian menyebabkan stroke, serangan jantung, atau gagal jantung.
Konsumsi Garam Berlebih Lemahkan Kekebalan Tubuh
Sekalipun efek kesehatan utama yang terkait dengan diet tinggi natrium berupa peningkatan tekanan darah, ada banyak bukti yang mendokumentasikan pada berbagai masalah kesehatan lainnya, termasuk kanker lambung (D’Elia L, dan tim dalam Cancer Treatment and Research, 2014), obesitas (Bolhuis DP dan tim dalam The Journal of Nutrition, 2016), dan osteoporosis (Cappuccio FP, dan tim dalam Journal of Nephrology, 2000).
Konsumsi garam berlebih ini juga menjadi beban kesehatan di Indonesia. Tingginya kematian karena penyakit jantung dan trennya yang meningkat di Indonesia, antara lain, jelas disebabkan konsumsi garam berlebih.
Risiko penyakit kardiovaskular meningkat hingga 6 persen untuk setiap peningkatan 1 gram asupan natrium.
Berdasarkan Global Burden of Desease dan Institute for Health Metrics and Evaluation (IHME) 2014-2019, penyakit jantung menjadi penyebab kematian tertinggi di Indonesia. Data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2013 dan 2018 menunjukkan tren peningkatan penyakit jantung, yakni 0,5 persen pada 2013 menjadi 1,5 persen pada 2018. Bahkan, data BPJS Kesehatan pada 2021 menunjukkan, pembiayaan kesehatan terbesar disebabkan penyakit jantung yang mencapai Rp 7,7 triliun.
Sumber garam
Tak hanya dari penambahan langsung saat memasak, asupan garam yang kerap tidak disadari terutama berasal dari berbagai sumber lain. Sumber utama natrium adalah garam meja (natrium klorida), tetapi juga terkandung dalam bumbu lain, seperti natrium glutamat.
Laporan Paul Elliott dan Ian Brown untuk WHO pada 2007 menunjukkan, sekitar 75 persen asupan garam di negara berpenghasilan tinggi berasal dari makanan olahan dan makanan yang disiapkan di luar rumah. Sementara itu, sebagian besar natrium yang dikonsumsi di negara berpenghasilan rendah dan menengah berasal dari garam yang ditambahkan selama memasak dan di meja atau melalui bumbu seperti ikan saus dan kecap.
Penelitian Nuri Andarwulan dari Department of Food Science and Technology IPB University di jurnal Nutrients pada 2021 mengungkapkan, asupan garam utama masyarakat perkotaan di Indonesia berasal dari makanan yang disiapkan di luar rumah, seperti pedagang kaki lima, restoran, dan makanan cepat saji.
Penelitian yang dilakukan di wilayah Jakarta Selatan ini menemukan, makanan yang disiapkan di luar rumah menjadi kontributor utama asupan garam total bagi responden segala umur hingga 49,8–64,6 persen. Bagi responden dewasa, makanan rumahan menjadi sumber kedua total asupan garam, mencapai 31,7 persen, dan makanan olahan memberi kontribusi 15,1 persen.
Baca juga : Kampanye Kurangi Konsumsi Garam, Selamatkan Nyawa
Sementara pada anak-anak, sumber asupan garam terbesar kedua adalah makanan olahan, yaitu 24,6 persen, dan makanan rumahan berkontribusi 18,7 persen. Asupan garam terbesar kedua pada remaja dari makanan rumah sebesar 27,6 persen dan makanan olahan 20,1 persen.
Batasi asupan
Berbagai bukti saintifik telah menunjukkan, pengurangan natrium memainkan peran kunci dalam melindungi populasi dari beban penyakit tidak menular, yaitu penyakit kardiovaskular yang merupakan penyebab kematian dan kecacatan nomor satu secara global.
”Buktinya jelas, semakin banyak natrium yang kita konsumsi, semakin banyak tekanan darah kita naik, dan tekanan darah berkurang ketika asupan natrium makanan berkurang,” kata Director of the Department of Nutrition for Health and Development WHO Francesco Branca.
Maka, mengurangi asupan natrium adalah salah satu cara yang paling hemat biaya untuk meningkatkan kesehatan. Menurut perhitungan WHO, menerapkan kebijakan pengurangan natrium sangat menghemat biaya dan dapat menyelamatkan sekitar 7 juta nyawa secara global pada tahun 2030.
Menurut Branca, pada tahun 2013, seluruh 194 negara anggota WHO telah berkomitmen untuk mengurangi asupan natrium penduduk sebesar 30 persen pada tahun 2025. Meski demikian, kemajuan berjalan lambat dan hanya beberapa negara yang mampu mengurangi asupan natrium penduduk dan belum ada satu pun yang mencapai target.
Dalam penilaian WHO, Indonesia termasuk kelompok negara yang telah mengadopsi rekomendasi pengurangan natrium. Hal ini ditandai dengan adanya Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 30 Tahun 2013 tentang pencantuman informasi kandungan gula, garam, dan lemak serta pesan kesehatan untuk pangan olahan dan pangan siap saji. Meski demikian, belum ada tindakan dan komitmen nasional untuk mengurangi asupan natrium.
Badan kesehatan PBB menyerukan kepada pemerintah untuk meningkatkan kesadaran masyarakat tentang bahaya diet yang terlalu asin dan mengiklankan kadar garam dengan lebih jelas pada kemasan. Masyarakat dapat mengurangi asupan natrium dengan memutuskan untuk menambahkan lebih sedikit garam pada makanan yang disiapkan dan dengan memutuskan untuk membeli makanan yang mengandung lebih sedikit natrium.
”Perubahan perilaku masyarakat itu penting, dan kampanye media massa untuk mengubah perilaku konsumen seputar natrium diperlukan. Namun, beberapa kebijakan publik perlu membuat pilihan ini menjadi lebih mudah,” ujarnya.
Produsen makanan perlu mengurangi kandungan natrium dalam produk makanan dan produk dengan kandungan natrium tinggi harus mudah diidentifikasi melalui pelabelan di bagian depan kemasan. Selain itu, makanan yang ditawarkan di lembaga publik, seperti sekolah, rumah sakit, dan kantor publik, harus mengandung lebih sedikit sodium.
”Jika kebijakan yang direkomendasikan WHO diterapkan, kita akan melihat konsumsi natrium berkurang lebih dari 20 persen, mendekati target yang ditetapkan pada tahun 2013,” katanya.