Lemahnya Manajemen Air Bisa Memicu Krisis Sumber Daya Air
Ribuan sungai dan air tanah yang dimiliki tidak bisa membuat Indonesia terlepas dari krisis air. Penanganan krisis air ini harus dimulai dengan memperbaiki aspek pengelolaan atau manajemen air.
Oleh
PRADIPTA PANDU
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Ribuan sungai dan air tanah yang terdapat di Indonesia tidak bisa membuat sejumlah daerah terlepas dari krisis air bersih. Upaya mengatasi krisis air bersih ini harus dimulai dengan memperbaiki aspek pengelolaan atau manajemen air.
Ahli geodesi Institut Teknologi Bandung (ITB), Heri Andreas, mengemukakan, pada intinya siklus hidrologi memperlihatkan bahwa air sebenarnya mengalir di satu area. Hal utama yang membedakan dampak siklus hidrologi tersebut adalah aspek pengelolaan air.
”Bila dilihat keberadaannya, Indonesia mempunyai banyak sumber air tanah. Jadi, terkait ketersediaan air, sebenarnya Indonesia tidak kekurangan,” ujarnya dalam webinar bertajuk ”Indonesia dan AS di Tengah Ancaman Krisis Air”, yang diprakarsai Society of Indonesia Science Journalist (SISJ), di Jakarta, Sabtu (11/3/2022).
Badan untuk Pembangunan Internasional Amerika Serikat (USAID) juga membuat kesimpulan yang sama, yakni Indonesia seharusnya tidak dalam kondisi kekurangan air karena memiliki sumber air terbarukan yang signifikan. Hal ini didukung dengan potensi Indonesia yang memiliki 5.700 sungai dan 421 cekungan air tanah.
Meski demikian, ribuan sungai dan ratusan air tanah yang ada tidak bisa membuat Indonesia terlepas dari krisis air. Kajian oleh Badan Perencanaan dan Pembangunan Nasional (Bappenas) tahun 2015 menunjukkan krisis air terjadi, terutama di sebagian wilayah di Jawa dan Nusa Tenggara Barat (NTB) serta Nusa Tenggara Timur (NTT).
”Kemungkinan besar krisis air timbul dari kurang tepatnya manajemen air. Oleh karena itu, kita harus melihat bahwa aspek alam tidak terlalu dominan sebagai penyebab krisis air. Akan tetapi, kita punya isu yang lebih besar terkait water mismanagement,” katanya.
Menurut Heri, sejumlah analisis menunjukkan bahwa wilayah Indonesia mulai dari Jawa Timur hingga NTT berpotensi besar akan mengalami krisis air karena faktor alam atau cuaca. Ancaman krisis air di wilayah tersebut akan semakin tinggi seiring dengan meningkatnya dampak perubahan iklim dan ketidaktepatan dalam pengelolaan air.
Selain itu, kajian dari USAID menemukan bahwa buruknya pengelolaan air di Indonesia terjadi karena terlalu banyak pihak bertanggung jawab terhadap masalah air. Namun, berbagai pihak tersebut masih lemah dalam aspek koordinasi. Di sisi lain, pemahaman dalam membuat pengelolaan air yang baik dan benar juga masih rendah.
Kemungkinan besar krisis air timbul dari kurang tepatnya manajemen air. Oleh karena itu, kita harus melihat bahwa aspek alam tidak terlalu dominan sebagai penyebab krisis air.
”Pemahaman dalam pengelolaan air rendah karena data untuk menyimpulkan segala sesuatu juga terbatas. Kemudian terdapat aspek anggaran yang kurang. Sebagai contoh, orang cenderung memilih eksploitasi air tanah ketika program pipanisasi menelan biaya lebih mahal,” kata Heri.
Guna mengatasi ancaman ini, Heri mendorong agar pihak terkait, khususnya pemerintah, memenuhi beragam data potensi krisis air di berbagai wilayah. Dengan dukungan media, informasi tentang krisis air ini perlu didiseminasikan dengan lebih intensif kepada masyarakat ataupun pemangku kepentingan lainnya.
”Jadi, kita harus lebih fokus mengatasi krisis air di wilayah Indonesia timur bila berbicara potensi yang lebih buruk. Upaya yang dilakukan harus dimulai dengan memperbaiki manajemen dan kualitas air,” ucapnya.
Kondisi serupa
Sementara ahli hidrologi dan sumber daya air Universitas Colorado, Amerika Serikat, Balaji Rajagopalan, memaparkan, krisis air menjadi salah satu fokus isu di Amerika. Isu ini di Amerika tak hanya terkait air minum yang bersumber di waduk, tetapi juga untuk kebutuhan pertanian atau irigasi dan energi alternatif bagi masyarakat lokal.
Menurut Balaji, Amerika memiliki kondisi berbeda karena tidak mempunyai sumber air tanah sebanyak di Indonesia. Bahkan, aliran air dari Sungai Colorado mengalami tren penurunan, tetapi kebutuhan dan permintaan terhadap air meningkat. Kondisi ini diperparah meningkatnya suhu dan menurunnya intensitas curah hujan dan salju.
”Kita perlu perspektif dan sistem yang benar untuk mengatasi krisis air ini. Semua data yang dikumpulkan dari hasil kajian juga dapat menjadi dasar dalam pengambilan kebijakan dan penyebarluasan informasi ke depan,” tuturnya.