Raksasa Agrobisnis Raup Keuntungan Besar di Tengah Krisis Pangan
Di tengah krisis pangan global, sejumlah perusahaan multinasional sektor agrobisnis meraup keuntungan miliaran dollar AS. Pada saat yang sama, PBB kekurangan pendanaan untuk mengatasi kelaparan global.
Oleh
AHMAD ARIF
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Di tengah pandemi Covid-19 dan perang Rusia-Ukraina yang memicu krisis pangan global, sejumlah perusahaan multinasional sektor agrobisnis meraup keuntungan miliaran dollar AS. Pada saat sama, sistem kemanusiaan Perserikatan Bangsa-Bangsa kekurangan pendanaan untuk mengatasi kelaparan global.
Besarnya keuntungan yang diraup perusahaan agrobisnis ini diungkapkan Greenpeace International dalam laporan terbarunya.Menurut laporan ini,20 perusahaan di sektor biji-bijian, seperti gandum dan kedelai, pupuk, daging, dan susu telahmembagikan 53,5 miliar dollar AS dividen bagi para pemegang saham mereka pada 2020 dan 2021.
Keuntungan ini seharusnya cukup untuk membiayai kebutuhan dasar jutaan orang yang membutuhkan. Merujuk penghitungan Kantor Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Koordinasi Urusan Kemanusiaan (UNOCHA), dana 51,5 miliar dollar AS akan cukup untuk menyediakan makanan, tempat tinggal sementara, danmenunjang kehidupan bagi 230 juta orang paling rentan di dunia.
”Ketidakadilan sistem pangan global ini sangat berdampak ke Indonesia, yang merupakan salah satu importir besar pupuk dari Rusia dan gandum dari Ukraina. Ketika terjadi perang antara kedua negara itu, suplai pangan Indonesia terimbas,” kata Syahrul Fitra, Juru Kampanye Hutan Senior Greenpeace Indonesia, dalam keterangan pers, di Jakata, Jumat (10/3/2023).
Greenpeace International menganalisis keuntungan 20 korporasi agribisnis di dunia selama tahun 2020-2022, periode pandemi Covid-19, dan invasi Rusia ke Ukraina. Riset ini menunjukkan perusahaan-perusahaan itu mengeksploitasi krisis global demi meraup keuntungan fantastis di tengah jutaan orang yang menghadapi kelaparan.
Ketidakadilan sistem pangan global ini sangat berdampak ke Indonesia, yang merupakan salah satu importir besar pupuk dari Rusia dan gandum dari Ukraina.
Laporan juga menyoroti perusahaan multinasional dalam memperkuat kendali atas sistem pangan global.Empat perusahaan besar, yakni Archer-Daniels Midland, Cargill, Bunge, dan Dreyfus, disebut mengontrol 70 persen perdagangan biji-bijian dunia. Cargill juga merupakan pengimpor kedelai terbesar diIndonesia.
”Pada 2012, Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) menyebut Cargill dan satu perusahaan lainnya menguasai 74 persen pasar impor Tanah Air,” kata Syahrul.
Laporan terpisah dari Organsasi Pangan dan Pertanian (FAO) menyebutkan, pandemi, krisis politik, dan krisis iklim mendorong inflasi dan berkontribusi pada kenaikan harga global untuk komoditas pangan, terutama biji-bijian dan minyak nabati, yang mencapai rekor tertinggi tahun lalu.
Sementara Indeks Harga Pangan FAO menyebutkan, sepanjang tahun 2022, harga komoditas pangan rata-rata naik 143,7 poin, lebih dari 14 persen di atas rata-rata tahun 2021, yang juga mengalami peningkatan besar dibandingkan tahun 2020.
Gejolak pangan global, terutama tren kenaikan harga komoditas, juga telah memengaruhi kondisi di Indonesia, terutama karena tingginya ketergantungan impor makanan dari luar negeri.
Data Badan Pusat Statistik mencatat, jumlah impor gandum dan pupuk ke Indonesia relatif meningkat setiap tahun. Impor pupuk yang dikuasai perusahaan skala besar juga merugikan petani kecil, yang sudah tergantung dengan pupuk kimia.
”Kita sedang berhadapan dengan ancaman krisis pangan karena krisis iklim. Apa yang dilakukan perusahaan-perusahaan raksasa itu menambah kerentanan pangan yang mengintai kita semua,” kata Syahrul.
Kesulitan pendanaan
Di tengah keuntungan sejumlah perusahaan agrobisnis multinasional, sistem kemanusiaan Perserikatan Bangsa-Bangsa masih kekurangan pendanaan untuk mengatasi kelaparan global.
Menurut laporan ”2023 Hunger Funding Gap” yang dirilis Action Against Hunger dengan dukungan UNOCHA pada 22 Februari 2023, hanya 47 persen dari kebutuhan pendanaan kelaparan melalui sistem kemanusiaan PBB terpenuhi, menyisakan kesenjangan pendanaan kelaparan sebesar 53 persen.
Sekalipun pendanaan keseluruhan naik sedikit pada 2022, dukungan tersebar lebih tipis karena kelaparan meluas. Pada 2022, hanya 3 persen dari kebutuhan program kelaparan yang didanai penuh dan sebagian besar (65 persen) permohonan bahkan tak terpenuhi hingga setengah jalan. Pada 2021, 7 persen program kelaparan didanai penuh dan 57 persen tidak didanai setengah jalan.
Dalam laporan ini disebutkan, dampak perang di Ukraina menyebabkan satu dari tiga rumah tangga di negeri inirawan pangan. Perang juga memiliki efek luas, sekitar 828 juta orang atau 1 dari 10 orang di seluruh duniakekurangan gizi dan 50 juta orang di 45 negara berada di ambang kelaparan.
”Sebelum perang, semua impor gandum Somalia berasal dari Rusia atau Ukraina. Dengan menaikkan harga makanan dan pupuk, perang di Ukraina juga membunuh anak-anak Somalia,” kata Ahmed Khalif, Direktur Aksi Melawan Kelaparan di Somalia, dalam keterangan pers.
Dalam laporan tersebut, Action Against Hunger mengidentifikasi 13 negara yang mengalami tingkat kelaparan ”kritis” atau lebih buruk pada 2021 dan menganalisis berapa banyak dana yang lalu diterima negara-negara tersebut, baik untuk program terkait kelaparan yang berlangsung maupun darurat pada 2022.
”Kelaparan adalah masalah kompleks dan pendanaan hanya bagian dari apa yang diperlukan untuk mengakhiri kelaparan. Namun, setelah bekerja lebih dari 40 tahun di 50 negara, termasuk semua negara yang dianalisis dalam laporan ini, kita tahu penutupan kesenjangan pendanaan kelaparan jadi langkah penting,” papar Eric Bebernitz, Direktur Hubungan Eksternal Action Against Hunger.