Jurnalisme Mencerahkan di Era Kecerdasan Artifisial
Persoalan semakin superkompleks. Ironisnya, informasi yang diakses publik justru kian sederhana. Sementara itu, teknologi kecerdasan artifisial terus bertambah pintar. Relakah jika makin banyak warga kalah oleh mesin?
Oleh
SUTTA DHARMASAPUTRA
·5 menit baca
Dunia semakin terhubung. Jarak antara kota Wuhan dan kota Jayapura lebih dari 10.000 kilometer jauhnya. Namun, apa yang terjadi di ibu kota Provinsi Hubei, China, itu ternyata berdampak juga ke Papua, provinsi terujung Indonesia. Kasus pertama Covid-19 yang terjadi di Wuhan tidak hanya menyebar ke Jayapura, tetapi juga ke banyak kota dan negara. Satu kasus berkembang menjadi 680 juta kasus dan tersebar di 231 negara atau wilayah. Tiga tahun sudah terlewat dan tak kunjung usai.
Perang Rusia-Ukraina contoh lainnya. Jarak antara Jakarta dan Kyiv bahkan lebih dari 12.000 kilometer. Ketika ibu kota Ukraina diinvasi Rusia pada 24 Februari 2022, dampaknya hingga ke ibu kota RI, Jakarta, dan banyak negara di dunia. Rantai pasok terganggu, menyebabkan krisis energi dan pangan, inflasi tinggi, dan mendorong negara-negara menaikkan suku bunga, serta mengetatkan likuiditas. Banyak kepala negara hingga penjual gorengan di Bandara Soekarno-Hatta yang tak tahu di mana Ukraina berada pun tak bisa menghindarinya.
Internet-lah yang secara masif membuat setiap manusia di Bumi saling terhubung. Saat ini, sudah 5 miliar pengguna internet di dunia atau 63 persen populasi. Melalui media sosial, penduduk Bumi bahkan juga bisa saling berinteraksi. Apa yang terjadi di salah satu sudut dunia pun bisa dengan mudah merembet dan berdampak ke sudut belahan dunia lainnya. Satu orang membuat polah di media sosial, bisa berdampak ke banyak orang bahkan viral. Bukan hanya orang, akun-akun robotik pun sudah berperan aktif menyebarkan pesan-pesan provokatif, terlebih mendekati pemilu.
Itu semua menunjukkan, persoalan menjadi semakin kompleks, sangat-sangat jauh dari kata sederhana. Namun, ironisnya, di tengah persoalan yang kian kompleks, informasi yang banyak diakses publik di negeri ini semakin sederhana, singkat-singkat, sepenggal-sepenggal, hanya kulit. Dibaca pun sekilas. Begitu link masuk ke dawai, langsung diklik, tanpa melihat sumbernya. Judulnya dibaca, isinya dilihat cepat. Setelah itu, layar digulung dan keluar.
Korban hoaks pun terus berjatuhan bahkan memakan banyak nyawa. Kasus teraktual, hoaks tentang penculikan anak di Papua yang memicu unjuk rasa antarwarga dengan aparat dan akhirnya menelan banyak nyawa.
Apa yang diramalkan sejarawan dunia Yuval Noah Harari dapat terjadi. Di masa depan akan terjadi kesenjangan yang semakin lebar akibat konsumsi informasi yang berbeda. Mereka yang mengakses informasi secara benar akan semakin cepat melesat. Sebaliknya, mereka yang mengakses informasi secara salah akan kian tersesat.
Di era yang semakin kompleks ini, sesungguhnya informasi menjadi semakin berharga. Melalui informasi, kita dapat mengetahui atau memahami persoalan. Kemampuan memilih dan memilah informasi menjadi vital di era banjir informasi ini. Informasi ibarat asupan makanan. Informasi yang baik mengandung vitamin yang menyehatkan, sebaliknya informasi yang buruk mengandung toksik yang akan meracuni.
Ketika persoalan kian kompleks dan informasi berkualitas menjadi semakin diperlukan warga untuk memahami persoalan dengan baik sebagai dasar pengambilan keputusan, di saat inilah, media arus utama semestinya mengambil peranan.
Media arus utama dan jurnalis perlu menggunakan segenap metodologi jurnalistik dan teknologi yang relevan untuk memproduksi konten berkualitas melayani pembacanya.
Kendati algoritma platform global maupun platform media sosial terus menyeret media untuk membuat konten sepenggal-sepenggal karena berbasiskan klik dan pageviews, media arus utama tidak boleh terseret arus olehnya.
”Kita tidak boleh lupa, bisnis kita adalah bisnis yang digerakkan oleh editorial yang terhubung pada komunitas kita, bukan algoritma. Kita harus memanfaatkan data, tetapi kita tidak boleh melakukannya dengan mengorbankan intuisi atau kreativitas,” kata Damian Eales, President International News and Media Association (INMA).
Karena itu, banyak media arus utama di dunia terus mengembangkan jurnalisme berkualitas dengan model bisnis berupa platform digital premium berlangganan.
Mulai dari The New York Times, The Wall Street Journal, The Washington Post, The Economist, The Athletic, The Guardian, Financial Times, Caixin, Nikkei, The Australian, hingga The Times of India, semua mengembangkannya.
Selain mendorong jurnalisme lebih berkualitas, model ini diyakini juga secara bisnis kokoh karena berbasiskan pelanggan dan media lebih independen menjaga kepentingan publik.
Di era banjir informasi, boleh jadi tugas jurnalis untuk melaporkan sebuah peristiwa tidak lagi dominan karena semua orang sudah bisa melaporkannya sendiri. Media arus utama dan jurnalis, dengan metodologi dan kode etik ketat yang dimilikinya, lebih berperan melakukan verifikasi dan melengkapi informasi dengan sejumlah data dan keragaman narasumber yang tepat sehingga persoalan yang dikupas menjadi lebih utuh dan jelas dan pada akhirnya lebih mendekati kebenaran.
Kini, ketika teknologi kecerdasan artifisial buatan semakin berkembang, Global Investigative Journalism Network pun menegaskan bahwa pekerjaan jurnalisme tidak bisa tergantikan olehnya. ”AI tidak mencuri pekerjaan Anda,” kata Mattia Peretti, manajer JournalismAI, sebuah proyek penelitian dan pelatihan yang didukung oleh Google News Initiative dan dijalankan oleh Polis, lembaga pengembangan jurnalisme dari London School of Economics & Political Science.
Menurut Paretti, AI bisa digunakan oleh jurnalis terutama untuk mengambil beberapa tugas yang membosankan dan berulang-ulang yang biasa dilakukan jurnalis, seperti menyalin wawancara, menyalin dan menyaring ratusan dokumen yang bocor, memfilter komentar pembaca, atau menulis cerita yang sama per kuartal tentang pendapatan keuangan perusahaan.
Jurnalis tidak menggantungkan pada AI, sebaliknya justru jurnalis harus terus mengawasi penggunaan AI yang semakin hadir di setiap bagian masyarakat. Jurnalis harus memastikan sistem ini dipegang dan dikendalikan oleh mereka-mereka yang bertanggung jawab.
Mengembangkan jurnalisme mencerahkan menjadi tugas utama media arus utama dan jurnalis di era banjir informasi dan kemajuan teknologi kecerdasan artifisial. Melakukan liputan-liputan mendalam, investigasi, jurnalisme data, maupun laporan panjang multimedia tentang berbagai isu kompleks untuk meningkatkan pemahaman dan kesadaran publik yang lebih dalam agar menjadi dasar pengambilan keputusan yang lebih baik adalah tugas yang harus dilakukan di masa depan.
Karena itu, harian Kompas yang juga mengembangkan platform digital berlangganan, yaitu Kompas.id, mengampanyekan #jurnalismemencerahkan. Memasuki usia ke-6 Kompas.id, dengan segala kerendahan hati, kami dari jajaran redaksi dan seluruh tim pun memohon dukungan dan restu untuk ikut menjalankan tugas ini.