Sumatera Utara disebut sudah surplus energi sehingga pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Air Batang Toru dinilai tidak diperlukan. Negara berpotensi merugi jika PLTA di atas lahan 122 hektar ini beroperasi.
Oleh
Stephanus Aranditio
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Air Batang Toru di Tapanuli Selatan, Sumatera Utara, oleh PT North Sumatera Hydro Energy atau NHSE diduga berpotensi menimbulkan kerugian negara melalui badan usaha milik negara, PT Perusahaan Listrik Negara atau PLN. Hal itu disebabkan proyek ini akan menimbulkan surplus listrik dan molornya proyek.
Masyarakat Jurnalis Lingkungan Indonesia (SIEJ) dalam laporan terbarunya mengutip riset yang dibuat oleh Yayasan Auriga Nusantara pada 2020 menunjukkan ketersediaan listrik di Sumatera Utara sudah surplus lebih dari 300 megawatt tanpa keberadaan PLTA Batang Toru. Pada 2018 misalnya, ketersediaan listrik di Sumut mencapai 2.133 megawatt, sedangkan kebutuhan tertinggi hanya 1.833 megawatt.
Klaim pengembang terkait PLTA Batang Toru akan menjadi sumber energi terbarukan untuk menggantikan pembangkit berbahan bakar solar dari luar negeri juga dinilai keliru. Sebab, pembangkit listrik terapung Karadeniz Powership Zeynep Sultan berkapasitas 240 MW yang disewa PLN dari Turki untuk kebutuhan listrik di Sumut sejak 2015 berasal dari gas alam, bukan diesel.
PLN juga terus melakukan peningkatan transmisi dan distribusi listrik untuk menerangi wilayah dan mengurangi pemadaman bergilir di Sumatera Utara.
Semangat kami di PLN tidak ingin menghamburkan uang negara, kami juga ingin PLTA ini sustain.
”Jadi listrik yang ada di Sumut itu sudah terkoneksi dari utara ke selatan. ESDM juga sudah membenarkan. Pertanyaannya, akan dikemanakan lagi suplai listrik yang sudah ada, sementara PLN sudah kontrak akan beli terus ke PLTA Batang Toru selama 30 tahun,” kata perwakilan SIEJ, Abdus Somad, dalam diskusi di Jakarta, Kamis (9/3/2023).
SIEJ turut menemukan praktik buruk PLN dalam Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) Pengelolaan Independent Power Producer (IPP) Tahun 2016 hingga Semester I Tahun 2020. LHP terbaru itu menunjukkan suntikan modal karena kepemilikan 25 persen saham PT NHSE yang harus disetor PLN melonjak 21 persen dari perhitungan pertama pada 2014 sekitar Rp 1,3 triliun. Kini jumlah yang harus disetor PLN sekitar Rp 1,6 triliun untuk proyek tersebut.
Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dalam laporan SIEJ juga menyebut PLN melanggar Peraturan Menteri BUMN Nomor 1 Tahun 2011 tentang Penerapan Tata Kelola Perusahaan yang Baik dalam proses pelibatan anak perusahaan PT Pembangkit Jawa Bali tanpa persetujuan dari rapat pemegang saham dan diskusi antardireksi pada 2015. Proyek ini kemudian dialihkan ke PT Pembangkit Jawa Bali Investasi (PJBI) pada 2016.
Progres pembangunan PLTA Batang Toru juga masih sangat jauh dari target. BPK mencatat per Oktober 2020, pembangunan baru mencapai 11 persen dari target seharusnya 78,98 persen. Kendala paling berpengaruh adalah hengkangnya pendanaan dari Bank of China setelah adanya ancaman kepada orangutan tapanuli (Pongo tapanuliensis).
Selain mengancam habitat orangutan tapanuli, proyek yang dibangun di atas lahan seluas 122 hektar itu telah menelan korban nyawa pekerja akibat longsor, mengancam kehidupan warga lokal, hingga penurunan debit air sungai. PLTA ini dibangun di atas tiga kecamatan. Kecamatan Batang Toru akan menjadi lokasi pembangunan akses dan saluran udara tegangan ekstra tinggi, Kecamatan Marancar untuk rumah turbin, dan Kecamatan Sipirok untuk dam atau bendungan.
Dalam diskusi yang sama, Manajer PT PLN (Persero) Unit Induk Pembangunan Pembangkit Wilayah Sumatera, Kalimantan, dan Sulawesi Weddy Bernadi Sudirman membantah. Menurut dia, ada kekeliruan dalam mengartikan ketersediaan dan kebutuhan energi. Dia meminta SIEJ melakukan konfirmasi kepada pihak-pihak terkait dari temuannya di lapangan.
”Mungkin ada beberapa data yang harus kita bicarakan surplusnya di mana. Semangat kami di PLN tidak ingin menghamburkan uang negara, kami juga ingin bisnis PLTA ini sustain. Bagaimana mungkin PLTA bisa beroperasi terus kalau daerah tangkapan airnya rusak, tidak mungkin. Padahal investasinya besar,” kata Weddy dalam diskusi yang digelar Masyarakat Jurnalis Lingkungan Indonesia (SIEJ) di Jakarta, Kamis (9/3/2023).
Peneliti Kehutanan Fakultas Kehutanan Universitas Sumatera Utara, Onrizal, mengatakan, habitat orangutan berpotensi terbelah arus sungai yang melebar akibat pembangunan PLTA. Hal itu akan mengurangi pasokan makanan dan mendorong perkawinan sedarah yang membuat orangutan rentan terjangkit penyakit menular.
”Jadi ekosistem Batang Toru harus bisa menyejahterakan, bukan hanya manusianya, melainkan juga makhluk hidup lain yang kita punya tanggung jawab penuh untuk itu,” ucap Onrizal.
Hewan yang termasuk dalam daftar merah satwa terancam punah tersebut di Batang Toru diperkirakan sejumlah 800 orangutan, sekitar 300 ekor di antaranya berada di sisi barat. Selain orangutan, spesies lain seperti harimau sumatera, beruang madu, tapir, siamang, owa ungko dan burung-burung di ekosistem Batang Toru juga terancam dari pembangunan PLTA ini.
Sementara itu, anggota Komisi IV DPR RI, Daniel Johan, mengaku belum mendengar permasalahan ini meski perencanaan proyek ini sudah berlangsung sejak 2015. Dia mengaku akan segera membawa isu ini ke rapat dengar pendapat umum dengan menghadirkan semua pihak terkait.
Diskusi hendak dibubarkan
Diskusi publik yang digelar SIEJ bertajuk ”Masa Depan Orangutan Tapanuli dan PLTA Batang Toru” di Kafe Baca di Tebet, Jakarta, ini sempat hendak dibubarkan oleh orang tak dikenal. Saat diskusi akan dimulai sekitar pukul 10.30, ada lima orang pria tiba-tiba masuk, satu di antaranya berteriak-teriak dan membanting kursi serta memaksa diskusi dihentikan.
Dia menyebut diskusi ini tidak mendukung agenda pembangunan negara. Panitia berupaya menenangkan orang tersebut dengan memintanya untuk duduk dan mendengarkan diskusi, tetapi tidak digubris. Panitia pun memanggil pihak keamanan dan membawa pria yang mengaku dari Salemba, Jakarta, tersebut keluar dari ruang diskusi. Acara diskusi yang dihadiri pihak PLN, DPR, dan koalisi masyarakat sipil bersama jurnalis ini pun bisa dilanjutkan.
Aliansi Jurnalis Independen Jakarta dan Lembaga Bantuan Hukum Pers mengecam peristiwa ini karena mencoreng hak kebebasan berekspresi dalam demokrasi. Kegiatan diskusi merupakan bentuk kebebasan berkumpul dan berpendapat yang dijamin konstitusi dalam Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 28 dan Pasal 28E ayat (3).
Selain itu, laporan SIEJ adalah karya jurnalistik yang diatur dalam Undang-Undang Pers Nomor 40 Tahun 1999. Keberatan atas sebuah karya jurnalistik bisa dilakukan dengan menggunakan hak jawab. Polisi didesak mengusut pelaku dan dalang dari kelima orang tersebut.