Emisi Karbon Dioksida Mencapai Rekor Tertinggi pada 2022
Tahun 2022 menjadi rekor tertinggi emisi CO2 sejak pencatatan tahun 1900 menyusul pulihnya perjalanan udara setelah pandemi mereda dan lebih banyak yang beralih ke batubara sebagai sumber listrik berbiaya rendah.
Oleh
AHMAD ARIF
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Upaya untuk menekan emisi gas rumah kaca guna menjaga agar peningkatan suhu tidak melebihi 1,5 derajat celsius semakin jauh dari harapan. Tahun 2022 menjadi rekor tertinggi emisi karbon dioksida sejak pencatatan tahun 1900 menyusul pulihnya perjalanan udara setelah pandemi mereda dan lebih banyak yang beralih ke batubara sebagai sumber listrik berbiaya rendah.
Tingginya emisi karbon dioksida (CO2) sepanjang 2022 ini dilaporkan The International Energy Agency (IEA) pada Kamis (2/3/2023). Laporan ini menunjukkan, emisi gas rumah kaca yang disebabkan oleh produksi energi tumbuh 0,9 persen mencapai 36,8 gigaton pada 2022. Sementara itu, emisi karbon dioksida dari batubara tumbuh 1,6 persen tahun lalu.
”Kami melihat peningkatan emisi dari bahan bakar fosil, menghambat upaya untuk memenuhi target iklim dunia,” kata Direktur Eksekutif IEA Fatih Birol dalam pernyataan tertulis. ”Perusahaan bahan bakar fosil internasional dan nasional menghasilkan rekor pendapatan dan perlu mengambil bagian tanggung jawab mereka untuk memenuhi sasaran iklim.”
Tanpa energi bersih, pertumbuhan emisi CO2 akan menjadi hampir tiga kali lebih tinggi.
Karbon dioksida dilepaskan ketika bahan bakar fosil, seperti minyak, batubara, atau gas alam, dibakar untuk menggerakkan mobil, pesawat, rumah, dan pabrik. Ketika gas memasuki atmosfer, ia memerangkap panas dan berkontribusi pada pemanasan iklim.
Menurut laporan IEA ini, alasan peningkatan emisi CO2 ini karena banyak komunitas, terutama di Asia, beralih dari gas alam ke batubara untuk menghindari harga gas alam yang tinggi yang diperburuk oleh serangan Rusia ke Ukraina.
Selain itu, lalu lintas penerbangan global meningkat. Hal ini berkontribusi meningkatkan emisi karbon dioksida dari pembakaran minyak bumi sebesar 2,5 persen, dengan sekitar setengahnya dihasilkan dari sektor penerbangan.
Para ilmuwan mengatakan, emisi bahan bakar fosil perlu dikurangi selama beberapa tahun mendatang untuk mencegah suhu di seluruh dunia meningkat lebih jauh. Laporan IAE muncul setelah produsen bahan bakar fosil besar membukukan keuntungan yang tinggi dan membatalkan rencana untuk memangkas produksi minyak dan gas fosil mereka.
Rob Jackson, profesor ilmu sistem bumi di Universitas Stanford, menanggapi laporan IEA ini, sebagaimana ditulis AP, mengatakan, ”Setiap pertumbuhan emisi—bahkan 1 persen—adalah sebuah kegagalan. Setiap tahun dengan emisi batubara yang lebih tinggi adalah tahun yang buruk bagi kesehatan kita dan Bumi.”
Terus meningkat
Menurut data IEA, emisi global telah meningkat hampir setiap tahun sejak 1900 dan telah meningkat pesat dari waktu ke waktu. Satu pengecualian pada awal tahun pandemi 2020 ketika mobilitas penduduk berkurang drastis akibat pandemi.
Kabar baiknya, sekalipun tingkat emisi tahun lalu cukup tinggi, peningkatan juga terjadi pada penerapan energi terbarukan, kendaraan listrik, dan pompa panas yang bersama-sama membantu mencegah tambahan 550 megaton emisi karbon dioksida.
”Tanpa energi bersih, pertumbuhan emisi CO2 akan menjadi hampir tiga kali lebih tinggi,” kata Birol.
Fatih menambahkan, pertumbuhan ekonomi yang lemah di China juga membatasi produksi serta membantu membatasi emisi global secara keseluruhan. Sementara di Eropa, pembangkit listrik dari tenaga angin dan matahari untuk pertama kalinya melebihi gas atau nuklir.