Perhatian pemerintah, terutama pemerintah daerah, terhadap kelompok LGBT dan minoritas terus dinantikan. Tanpa ada perlindungan dan akses terhadap jaminan sosial dan kesehatan, mereka akan terus terabaikan.
Oleh
SONYA HELLEN SINOMBOR
·3 menit baca
KOMPAS/SONYA HELLEN SINOMBOR
Ketua Forum Komunikasi Waria Indonesia Yulianus Rettoblaut atau Mami Yuli (kedua dari kanan) berbicara tentang situasi transpuan lansia dalam Peluncuran Logo Baru Arus Pelangi dan Diskusi Publik tentang Solidaritas dan Interseksionalitas dalam Gerakan LGBTQIA+ di Indonesia di Kantor Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan), di Jakarta, Rabu (1/3/2023).
JAKARTA, KOMPAS — Kelompok minoritas seperti lesbian, gay, biseksual, transjender, dan queer atau LGBTQIA+ terus mengalami perlakuan diskriminatif dan tidak adil. Negara dinilai masih abai memberikan perlindungan, termasuk membuka akses layanan jaminan sosial dan kesehatan, kepada mereka.
Hal tersebut terlihat dari banyaknya regulasi, terutama peraturan daerah, yang sangat diskriminatif dan mengancam kelangsungan hidup komunitas LGBTQIA+.
Hal tersebut mencuat dalam acara Peluncuran Logo Baru Arus Pelangi dan Diskusi Publik tentang ”Solidaritas dan Interseksionalitas dalam Gerakan LGBTQIA+ di Indonesia” di Kantor Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan), di Jakarta, Rabu (1/3/2023).
Arus Pelangi merupakan organisasi nirlaba non-pemerintah berbasis anggota yang mengusung nilai-nilai nondiskriminasi, pluralisme, non-kekerasan, kemandirian, inklusivitas, solidaritas, kolektivitas, demokrasi, transparansi, dan akuntabilitas. Organisasi ini dibentuk pada 10 Maret 2006.
”Arus Pelangi percaya interseksionalitas merupakan terobosan dalam pemahaman bahwa praktik diskriminatif dan ketidakadilan bukanlah hitam putih dan biner,” ujar Sugiyono, Ketua Badan Pekerja Arus Pelangi.
Arus Pelangi juga ikut bergabung dalam gerakan masyarakat sipil untuk memperjuangkan keadilan bagi komunitas LGBTIQA+ dengan tetap terlibat dalam gerakan rakyat baik di tingkat lokal, nasional, regional, maupun global.
Negara cenderung membiarkan praktik serangan terhadap penyampaian ekspresi baik di ruang publik maupun digital. Bahkan, ada aparat negara yang justru berbicara LGBT dengan kecenderungan negatif.
Selain komisioner Komnas Perempuan, Veryanto Sitohang, hadir juga dalam acara tersebut Nita Noviyanto (Kepala Divisi Kampanye dan Jaringan Kontras), Nariesta Reviana (Kolektif Interseks), dan Yulianus Rettoblaut (Ketua Forum Komunikasi Waria Indonesia). Nita menegaskan, ”Ruang demokrasi kita belum aman ketika masih ada kelompok-kelompok minoritas yang belum terjamin hak-haknya.”
Selama ini, perempuan pembela hak asasi manusia menghadapi ancaman, kekerasan, dan pelecehan tertentu, baik di ruang publik maupun pribadi, serta mengalami pelanggaran lebih lanjut, seperti stigmatisasi. Mereka juga menghadapi risiko dan tantangan yang bersifat interseksional serta pembatasan untuk bergerak, berpendapat, berekspresi, berkumpul, dan berserikat.
”Negara cenderung membiarkan praktik serangan terhadap penyampaian ekspresi baik di ruang publik atau digital. Bahkan, ada aparat negara yang justru berbicara LGBT dengan kecenderungan negatif,” ujar Nita.
Yulianus atau Mami Yuli menceritakan transpuan yang masih kesulitan mengakses jaminan sosial dan kesehatan. Contohnya, transpuan lanjut usia yang sering sakit dan butuh pelayanan kesehatan, tetapi sulit mengakses pengobatan.
Yuli mendorong transpuan dan kelompok minoritas lain untuk mandiri dan memberi teladan dalam masyarakat. Ia meminta mereka bersikap dan bertindak yang patut agar masyarakat tidak semakin membenci transpuan. ”Misalnya, teman-teman diajarin cara berpakaian, cara bicara. Kalau kita berpakaian tidak senonoh, kita tidak akan diterima. Itu yang saya pelajari dari kehidupan panjang di Jakarta,” kata Yuli.
KOMPAS/SONYA HELLEN SINOMBOR
Peserta Peluncuran Logo Baru Arus Pelangi dan Diskusi Publik tentang Solidaritas dan Interseksionalitas dalam Gerakan LGBTQIA+ di Indonesia foto bersama di Kantor Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan), di Jakarta, Rabu (1/3/2023).
Veryanto Sitohang pun menegaskan, Komnas Perempuan memberi perhatian terhadap isu LGBTQ dan kelompok minoritas lain yang mengalami diskriminasi dan ketidakadilan. Sementara di tingkat kebijakan, masih muncul berbagai aturan yang mendiskriminasi komunitas LGBT.
Pada tahun 2023, Komnas Perempuan mencoba melihat daerah mana saja yang ingin membuat kebijakan tidak ramah transpuan. Daerah-daerah yang mengeluarkan kebijakan terkait transpuan antara lain Makassar, Bandung, Medan, Garut, Sumatera Barat, Tarakan, Bekasi, Pekanbaru, dan Karawang.
Kebijakan diskriminatif paling banyak berisi penyeragaman busana. Setidaknya ada sekitar 700 kebijakan yang ingin mengatur penyeragaman busana, pembatasan hak kehidupan melalui kehidupan beragama, dan sebagainya. ”Kami melihat kekerasan berbasis orientasi sosial masih terjadi,” kata Veryanto.