Untuk mencegah mutasi lebih lanjut, wabah flu burung yang saat ini menulari banyak unggas dan mamalia harus bisa diatasi, di antaranya dengan vaksinasi.
Oleh
AHMAD ARIF
·4 menit baca
KOMPAS/ ANGGER PUTRANTO
Tim Gabungan dari Balai Besar Penelitian Veteriner Kementerian Pertanian dan Dinas Pertanian, Peternakan, dan Perkebunan Kota Bandar Lampung mengambil sampel dari seekor ayam di rumah warga di Kecamatan Sukarame, Bandar Lampung, Lampung, Senin (23/1/2017). Hal ini guna menindaklanjuti dugaan penyebaran flu burung di Kecamatan Sukarame, Bandar Lampung.
JAKARTA, KOMPAS — Setelah terjadi penularan H5N1 di mamalia, virus ini dinilai berpotensi menjadi pandemi berikutnya jika terjadi mutasi yang memungkinannya menular antar manusia. Untuk mencegah mutasi lebih lanjut, wabah flu burung yang saat ini menulari banyak unggas dan mamalia harus bisa diatasi, di antaranya dengan vaksinasi.
"Flu burung atau H5N1 masuk dalam daftar berpotensi menjadi pandemi pada manusia. Menjadi serius saat ini ancamannya karena, dari lima level virus menjadi pandemi, saat ini flu burung sudah berada di level empat," kata peneliti kesehatan global dari Griffith University, Australia, Dicky Budiman, Rabu (1/3/2023).
Menurut Dicky, jika pada tahun-tahun sebelumnya H5N1 beradad di level tiga dengan terjadinya penularan di antara unggas, tahun ini status virus ini sudah menular di mamalia, bahkan terjadi penularan antarmamalia. "Ini berarti, virus ini sudah berevolusi dan kemampuannya dalam menulari sudah meningkat. Satu tahap lagi dari level lima, yaitu ketika virus memicu penularan di kalangan manusia," kata dia.
Dicky mengatakan, virus H5N1 berpotensi menjadi pandemi karena mayoritas manusia di dunia ini tidak memiliki imunitas terhadapnya. Sejauh ini juga belum ada vaksin untuk virus ini. "Ini seperti SARS-CoV-2 di awal-awal," kata dia.
KOMPAS/FERGANATA INDRA RIATMOKO
Salah satu burung puyuh mati karena virus flu burung di Dusun Sedan, Desa Sidorejo, Lendah, Kulon Progo, DI Yogyakarta, Januari 2017. Sebanyak 3.900 burung puyuh di kandang tersebut mati akibat virus flu burung dalam kurun tiga hari.
Namun, berbeda dengan Covid-19, virus H5N1 bisa memicu angka kematian yang jauh lebih tinggi, yaitu sekitar 30-50 persen. "Ini tidak berbeda jauh dengan leluhurnya, yaitu H1N1 yang memicu pandemi flu Spanyol pada 1918-1920-an. Saat itu, tingkat kematiannya mencapai 25 persen hingga 50 persen," kata dia.
Menurut Dicky, risiko saat ini meningkat karena konektivitas antarwilayah negara luar biasa tinggi. Di sisi lain, terjadi perubahan iklim, yang mengubah pola pergerakan hewan liar. Faktor lain, ada ketidakpedulian sebagian negara terhadap konsep "OneHealth", yaitu harmonisasi kesehatan manusia dan binatang.
"Di tengah situasi Covid-19, flu burung ini bisa menjadi ancaman serius jika kita tidak bekerjasama mencegahnya," kata Dicky.
Direktur Kesiapsiagaan dan Pencegahan Epidemi dan Pandemi Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), Sylvie Briand mengatakan, saat ini WHO sedang meninjau penilaian risiko global atas virus tersebut menyusul kematian seorang gadis berusia 11 tahun karena H5N1 di Kamboja pekan lalu.
"Situasi global H5N1 mengkhawatirkan mengingat meluasnya penyebaran virus pada burung di seluruh dunia dan meningkatnya laporan kasus pada mamalia termasuk manusia, WHO mendesak kewaspadaan tinggi dari semua negara," kata Briand.
Di tengah situasi Covid-19, flu burung ini bisa menjadi ancaman serius jika kita tidak bekerjasama mencegahnya.
Kementerian Kesehatan Kamboja telah memeriksa 12 kontak dekat gadis ini dan hanya ayahnya yang berusia 49 tahun yang dinyatakan positif. Infeksi H5N1 biasanya terjadi pada orang yang telah melakukan kontak dekat dengan unggas, dan sejauh ini, tidak ada bukti bahwa jenis ini telah menyebar antarmanusia. Investigasi tentang bagaimana gadis itu terpapar virus sedang dilakukan.
Erik Karlsson, ahli virologi di Institut Pasteur Kamboja di Phnom Penh, kepada Nature mengatakan, pihaknya telah mengurutkan lengkap genom sampel virus dari gadis muda itu. Dia mengatakan virus yang diurutkan itu diambil dari populasi ayam dan bebek di wilayah itu setidaknya selama satu dekade terakhir. Sementara gadis itu adalah orang pertama yang terdeteksi dengan H5N1 di negara itu dalam sembilan tahun.
Melindungi unggas
Menurut Dicky, upaya untuk mencegah terjadinya lompatan mutasi dan pandemi flu burung pada manusia adalah dengan melindungi unggas. Saat ini, peternakan unggas merupakan medan pertempuran utama dalam perang melawan H5N1.
Wabah di peternakan mengancam ketahanan pangan dan memberikan peluang bagi virus untuk menyebar ke pekerja pertanian. Selama beberapa dekade, petani telah mengendalikan penyakit dengan memusnahkan hewan yang terinfeksi. Tapi sekarang, dengan banyaknya negara yang mengalami wabah setiap bulannya strategi ini dinilai tidak bisa dipertahankan lagi.
Beberapa negara, termasuk China, saat ini memvaksinasi unggas untuk membatasi penyebaran dan tingkat keparahan flu burung. Pemerintah lain di seluruh dunia sekarang menerapkan kebijakan vaksinasi atau sedang mempertimbangkan untuk melakukannya. Satu masalah dengan vaksin adalah bahwa mereka menyebabkan unggas positif terkena virus, yang berarti peternak tidak dapat menjamin unggas mereka bebas dari H5N1.
Para ilmuwan sedang dalam tahap awal pengembangan vaksin yang diharapkan bisa mengatasi masalah ini. Ahli mikrobiologi Adel Talaat di University of Wisconsin–Madison dan rekannya, sebagaimana dilaporkan di Nature sedang mengembangkan vaksin yang hanya menggunakan sebagian kecil dari DNA virus. Tes yang menargetkan wilayah genetik lain dapat membedakan antara burung yang telah divaksinasi dan yang terinfeksi.