Kalaupun Ada, ”Wormhole” Diyakini Sulit Dijadikan Lintasan Perjalanan Antarruang-waktu
Lubang cacing digambarkan sebagai terowongan sempit untuk memperpendek perjalanan manusia ke bagian lain alam semesta, ke semesta lain, hingga ke dimensi berbeda. Namun, pembuktian obyek hipotesis ini sangat menantang.
Oleh
MUCHAMAD ZAID WAHYUDI
·5 menit baca
Jika lubang cacing atau wormhole benar-benar ada, obyek astronomi itu kemungkinan besar mampu membelokkan cahaya, sama seperti lubang hitam alias blackhole. Lubang cacing juga diyakini mampu memperbesar obyek jauh di belakangnya hingga 100.000 kali lebih besar. Petunjuk ini bisa menjadi landasan dasar untuk mencari atau membuktikan keberadaan lubang cacing di alam semesta.
Lubang cacing adalah obyek astronomis yang diyakini keberadaannya menurut perhitungan matematika berdasar teori relativitas umum. Lubang cacing digambarkan sebagai terowongan sempit dengan kedua ujungnya lebih lebar, mirip dua buah corong yang ujung bagian kecilnya saling terhubung. Terowongan ini diyakini bisa menjadi jalan pintas untuk mengunjungi bagian alam semesta lain yang sangat jauh.
Untuk membayangkan bentuk dan manfaat lubang cacing itu, seperti ditulis Livescience, Sabtu (25/2/2023), bayangkan alam semesta saat ini ibarat selembar kertas yang dihamparkan. Ingat, ini ibarat, bukan bentuk alam semesta yang sesungguhnya.
Jika Anda berada di satu titik bagian atas di salah satu ujung kertas dan ingin melakukan perjalanan ke titik di bagian bawah kertas di ujung yang lain, normalnya Anda harus menyusuri sepanjang ukuran kertas. Perjalanan itu tentu sangat jauh dan membutuhkan waktu lama.
Namun, jika kertas tersebut dilekukkan dan mendekatkan kedua titik di ujung kertas, akan terbentuk lubang cacing. Lubang cacing ini akan menjadi terowongan yang memperpendek perjalanan dan mempersingkat waktu kita menyusuri semesta.
Dalam film-film fiksi ilmiah, lubang cacing digambarkan sebagai lorong ruang dan waktu tempat manusia bisa berpindah ke bagian lain alam semesta atau justru ke alam semesta yang lain. Bahkan, lubang cacing juga sering digambarkan sebagai mesin waktu yang bisa membawa manusia jauh ke masa lalu atau justru melompat jauh ke masa depan.
Walau terkesan indah dan futuristik, perjalanan melintasi lubang cacing tidak seindah dan semudah itu. Kerumitan perjalanan antardimensi ruang-waktu dalam lubang cacing itu terjadi karena kecilnya ukuran lubang cacing.
Space, 13 Januari 2022, menyebut ukuran lubang cacing purba sangat mikro, sekitar 10-33 sentimeter (10 pangkat minus 33 sentimeter). Seiring mengembangnya alam semesta, ada kemungkinan ukuran lubang cacing ikut membesar.
Selain ukuran, masalah lain berasal dari rendahnya stabilitas lubang cacing. Lubang cacing yang digagas Albert Einstein dan Nathan Rosen tahun 1935 sebagai ”jembatan ” melalui ruang-waktu diprediksi tidak akan banyak berguna untuk mendukung perjalanan antardimensi karena objek tersebut akan runtuh dengan cepat. Untuk membuat lubang cacing itu stabil hingga bisa dilintasi manusia dibutuhkan jenis materi yang sangat eksotis dan tidak jelas apakah jenis materi tersebut ada di alam semesta.
Jenis materi eksotis itu, menurut profesor fisika teoretis Universitas Oregon, Amerika Serikat, Stephen Hsu, tidak sama dengan materi gelap atau antimateri. Materi itu harus mengandung kerapatan energi negatif dan tekanan negatif yang sangat besar.
Jika lubang cacing mengandung materi eksotis itu dalam jumlah banyak atau dilakukan penambahan materi eksotis secara artifisial, secara teoretis lubang cacing bisa dimanfaatkan untuk pengiriman informasi atau manusia menggunakan pesawat antariksa.
Meski secara teoretis mungkin, banyak fisikawan juga meragukan bahwa lubang cacing benar-benar bisa dilewati manusia. Penambahan materi eksotis memang bisa menjaga kestabilan lubang cacing, tetapi penambahan materi itu juga berkemungkinan mengacaukan gerbang lubang cacing hingga membuat perjalanan manusia menjadi tidak aman.
Selain itu, lubang cacing juga diragukan bisa menjadi mesin waktu yang bisa membawa manusia mundur ke belakang di awal-awal alam semesta atau maju ke masa depan. Ahli kosmologi Stephen Hawking termasuk ilmuwan yang mendukung gagasan ini. Lubang cacing bukanlah cara untuk kembali ke masa lalu, tetapi hanya jalan pintas yang membuat alam semesta nan jauh menjadi lebih dekat.
Hingga kini lubang cacing itu belum terbukti. Namun, ilmuwan telah menghabiskan waktu puluhan tahun untuk memahami teori tersebut serta memperkirakan seperti apa bentuk obyek langit eksotis tersebut. Meski hal itu belum terbukti, ilmuwan yakin keberadaan obyek ini mengingat kondisi serupa juga pernah terjadi pada lubang hitam yang baru bisa dibuktikan eksistensinya setelah lebih satu abad sesudah teorinya dibangun.
Dalam jurnal Physical Review D, 19 Januari 2023, fisikawan dari Universitas Jishou di Hunan, China, Lei-Hua Liu memimpin studi untuk memodelkan lubang cacing dari bola bermuatan listrik dan mengamati pengaruhnya terhadap lingkungan sekitar. Simulasi itu dilakukan untuk melihat apakah lubang cacing bisa dideteksi berdasarkan efek yang diamati pada lingkungan sekitarnya.
Dari pemodelan itu diketahui bahwa lubang cacing, kalaupun ada, akan menjadi obyek yang sangat masif. Tingginya kemasifan lubang cacing membuat obyek itu akan berperilaku seperti lubang hitam, yaitu mampu membelokkan ruang dan waktu sehingga cahaya pun ikut berbelok. Pembelokan cahaya itu pada gilirannya akan memperbesar obyek apa pun yang terletak di belakang lubang cacing tersebut.
Fenomena pembelokan cahaya oleh obyek masif itu dikenal sebagai microlensing alias lensa mikro. Teknik ini sudah lama digunakan astronom dengan memanfaatkan galaksi atau lubang hitam untuk melihat obyek-obyek semesta yang sangat jauh, seperti bintang-bintang dan galaksi yang berasal dari alam semesta yang sangat dini.
”Pembesaran melalui distorsi (pembelokan cahaya) oleh lubang cacing itu sangat besar sehingga dapat diuji keberadaannya di masa depan,” kata Liu.
Meski sama-sama bisa memperbesar obyek, perilaku pembesaran obyek oleh lubang hitam dan lubang cacing berbeda. Pelensaan mikro oleh lubang hitam akan menghasilkan empat bayangan dari sebuah obyek di belakangnya. Sementara pelensaan mikro oleh lubang cacing akan memberi tiga bayangan, dengan dua bayangan redup dan satu bayangan sangat terang.
Namun, karena benda-benda langit juga menghasilkan efek lensa mikro, baik itu galaksi, lubang hitam, atau bintang, upaya mencari lubang cacing tanpa adanya petunjuk yang jelas untuk menentukan langkah awalnya dipastikan akan menjadi upaya yang sangat sulit.
Fisikawan Universitas Texas di Austin, AS, Andreas Karch, yang tidak terlibat dalam studi Liu mengibaratkan pencarian efek lensa mikro akibat lubang cacing di tengah berbagai obyek masif lainnya di alam semesta itu bagaikan mengidentifikasi suara lembut seseorang di tengah konser musik rock yang gegap gempita. Banyak ide untuk mengungkap lubang cacing, tetapi mewujudkannya dalam praktik observasi astronomi di alam semesta yang mahaluas tentu tidak akan mudah.
”Sebagian besar fisikawan tentu memiliki mimpi besar bahwa model yang mereka bangun bisa diuji di masa depan,” tambah Liu.
Sains dan teknologi yang ada saat ini memang belum memungkinkan untuk mendeteksi, menstabilkan, atau memperbesar lubang cacing. Namun, berbagai konsep telah dikembangkan ilmuwan dengan harapan dapat diterapkan di masa depan. Meski tidak mudah, pembuktian lubang cacing tetap bukanlah hal yang mustahil.