Menakar Kerugian Ekonomi akibat KLB Keracunan Pangan di Indonesia
Selain membahayakan kesehatan masyarakat, ketidakamanan pangan di Indonesia juga merugikan perekonomian. Pada 2021, kerugian ekonomi akibat kasus KLB keracunan pangan diperkirakan Rp 109,68 miliar.
Oleh
Debora Laksmi Indraswari
·5 menit baca
Problem keamanan pangan di Indonesia, salah satunya, terlihat dari sejumlah kasus keracunan pangan di beberapa daerah. Berdasarkan data Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) 2021, setidaknya terdapat kejadian luar biasa keracunan pangan atau KLB KP sebanyak 50 kasus. Sementara itu, pada tahun yang sama, data Kementerian Kesehatan menyatakan terdapat 70 kasus KLB KP. Disebut sebagai KLB karena terdapat dua orang atau lebih mengalami gejala sakit keracunan yang hampir sama setelah mengonsumsi satu sumber makanan atau minuman yang sama.
Sejumlah kasus keracunan pangan yang terjadi tidak hanya mengakibatkan korbannya mengalami gejala sakit, seperti mual, muntah, diare, dan dehidrasi. Namun, sebagian juga berdampak fatal karena sejumlah kasus keracunan makanan berujung maut. Di sisi lain, ada kerugian ekonomi yang sering kali tidak terlihat atau tidak dihitung sebagai dampak dari kasus keracunan makanan tersebut.
Harian Kompas menghitung estimasi kerugian ekonomi akibat kasus KLB keracunan pangan di Indonesia pada 2021 mencapai Rp 109,68 miliar. Nominal ini kurang lebih setara dengan pembangunan sembilan puskesmas dengan asumsi biaya pembangunan tiap puskesmas sekitar Rp 12 miliar. Bisa juga setara dengan membangun 50 sekolah dasar dengan asumsi kebutuhan dana per SD sebesar Rp 2,19 miliar.
Angka kerugian ekonomi akibat KLB kerugian pangan diperoleh dari hasil penghitungan menggunakan pendekatan economic losses of food poisoning outbreaks (ELFPO). Penghitungan ini merupakan pembaruan dari penelitian yang sama pada 2015 dan 2016 berjudul ”Perhitungan Perkiraan Kerugian Ekonomi akibat Kasus Kejadian Luar Biasa (KLB) Keracunan Pangan Tahun 2013” (IPB, 2015) dan ”Estimation of Economic Loss due to Food Poisoning Outbreaks” (2016).
Sebagai dasar penghitungan, pada tulisan ini digunakan data tahun 2021. Adapun data-data dasar yang dipakai berasal dari data kasus KLB keracunan pangan menurut BPOM tahun 2021 saat terjadi 50 kasus KLB keracunan pangan. Secara akumulatif, pada kejadian keracunan pangan ini sebanyak 2.569 orang terpapar, 1.783 orang mengalami gejala sakit, dan 10 orang meninggal.
Namun, perlu diperhatikan bahwa akumulasi kasus tersebut hanyalah kasus yang dilaporkan. Artinya, ada kemungkinan jumlah kasus sesungguhnya yang terjadi di masyarakat lebih besar dari angka itu karena ada sejumlah kasus yang tidak dilaporkan. Menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), kasus keracunan makanan yang dilaporkan di negara berkembang diperkirakan hanya 1 persen dari total kasus sesungguhnya yang terjadi. Jadi, dengan asumsi tersebut, kasus KLB keracunan pangan yang sebenarnya terjadi di Indonesia bisa melonjak hingga seratus kali lipatnya.
Menggunakan asumsi WHO tersebut, kemungkinan sesungguhnya yang terjadi di masyarakat Indonesia terkait KLB keracunan pangan pada 2021 mencapai 5.000 kasus. Dari perkiraan WHO tersebut, kemungkinan terdapat 256.900 orang terpapar, 178.300 orang sakit, dan 1.000 orang meninggal karena keracunan pangan.
Komponen penghitungan
Data dasar tersebut kemudian digunakan sebagai pengali dari biaya yang dikeluarkan untuk menangani kasus KLB keracunan pangan. Komponen biayanya terdiri dari tiga kelompok, yaitu biaya kesehatan langsung (direct health cost/DHC), biaya nonkesehatan langsung (direct non health care cost/DNHC), dan biaya nonkesehatan tidak langsung (indirect non health care cost/INHC).
Biaya kesehatan langsung merupakan uang yang dikeluarkan untuk menanggung keperluan medis akibat keracunan pangan. Komponen ini terdiri dari biaya penanganan pertama, biaya rawat inap, dan biaya uji laboratorium. Total biaya kesehatan langsung akibat KLB keracunan pangan ini mencapai Rp 24,79 miliar.
Pada kelompok kedua adalah biaya nonkesehatan langsung menggunakan dua komponen penghitungan. Terdiri dari total biaya transportasi korban keracunan pangan ketika berobat ke fasilitas kesehatan dan biaya pemakaman jika korban meninggal. Total dana yang dikeluarkan untuk biaya nonkesehatan langsung ini estimasinya mencapai Rp 2,79 miliar.
Terakhir, kelompok biaya nonkesehatan tidak langsung menggunakan komponen penghitungan biaya kerugian akibat hilangnya sejumlah produktivitas. Di antaranya, hilangnya produktivitas akibat sakit, biaya kerugian kehilangan produktivitas akibat meninggal, biaya penanggulangan oleh pemerintah, biaya kerugian akibat kehilangan citra konsumen, dan biaya kerugian akibat penarikan produk. Total kerugian ekonomi dari sejumlah komponen ini diperkirakan mencapai Rp 82,09 miliar.
Pada penelitian ”Perhitungan Perkiraan Kerugian Ekonomi akibat Kasus Kejadian Luar Biasa (KLB) Keracunan Pangan Tahun 2013” (IPB, 2015), kerugian akibat biaya nonkesehatan tidak langsung menjadi yang terbesar di antara dua kelompok lainnya, yakni mencapai sekitar 1 triliun rupiah atau 87,8 persen dari total kerugian ekonomi. Pada penghitungan tahun 2021 yang dilakukan Kompas, angka kerugian tidak sebesar itu.
Hal ini dikarenakan nilai kerugian akibat kehilangan citra konsumen dan penurunan nilai ekonomi akibat penarikan produk tidak dihitung. Berdasarkan data BPOM tahun 2021, kasus KLB keracunan pangan tidak tercatat atau tidak disebabkan oleh produk makanan olahan (industri). Berbeda pada penelitian tahun 2015, data riset yang dilakukan IPB menunjukkan adanya 7 kasus KLB keracunan pangan akibat produk makanan olahan.
Menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), kasus keracunan makanan yang dilaporkan di negara berkembang diperkirakan hanya 1 persen dari total kasus sesungguhnya yang terjadi.
Dengan merujuk pada penelitian tahun 2015 tersebut, bukan mustahil pada 2021 terdapat kasus KLB keracunan pangan akibat produk olahan yang berpotensi menyebabkan kerugian ekonomi lebih besar lagi. Hanya saja, karena tidak ada kasus yang dilaporkan, Kompas menggunakan data yang tersedia, yakni tidak melibatkan penghitungan kehilangan citra konsumen dan penurunan nilai ekonomi akibat penarikan produk.
Angka valuasi kerugian ekonomi akibat kasus KLB keracunan pangan yang dilakukan Kompas ini bersifat minimal. Penghitungan Kompas menggunakan dasar harga atau biaya layanan kesehatan puskesmas yang relatif lebih murah dibandingkan dengan biaya klinik atau rumah sakit. Pemilihan biaya jasa dan layanan puskesmas didasari oleh asumsi bahwa puskesmas menjadi fasilitas kesehatan terdekat yang dapat diakses masyarakat dari berbagai latar belakang sosial ekonomi.
Dalam penghitungan ini, Kompas menggunakan data biaya layanan kesehatan puskesmas di Kabupaten Bogor berdasarkan Perda Kabupaten Bogor Nomor 16 Tahun 2010. Pemilihan dasar biaya ini merujuk pada studi kasus KLB keracunan pangan di Desa Babakan, Kecamatan Tenjo, Kabupaten Bogor, yang terjadi pada 10 Februari 2023.
Besarnya kerugian ekonomi akibat kasus KLB keracunan pangan ini menunjukkan sisi lain dampak dari lemahnya keamanan pangan di Indonesia. Kerugian itu tidak hanya berimbas pada anggaran kesehatan pemerintah saja, tetapi juga berdampak pada pengeluaran masyarakat. Oleh karena itu, perlu dibangun kesadaran bersama untuk mengawasi dan menjaga keamanan pangan oleh pemerintah juga masyarakat. (LITBANG KOMPAS)