Perempuan Aktor Kunci Pengembangan Pertanian Berkelanjutan
Perempuan dan generasi muda memiliki kekuatan dalam mendorong perubahan Indonesia. Salah satunya dengan berperan dalam pertanian ekonomi berkelanjutan. Karena itu, peran mereka jangan diabaikan, tetapi dioptimalkan.
Oleh
SONYA HELLEN SINOMBOR
·4 menit baca
MACHRADIN WAHYUDI RITONGA
Petani memanen kentang berkualitas ekspor di Desa Pulosari, Kecamatan Pangalengan, Kabupaten Bandung, Jawa Barat, Selasa (21/2/2023). Sebagian petani yang mengolah kentang ini merupakan kaum ibu yang menjadi tulang punggung keluarga.
JAKARTA, KOMPAS — Perempuan dan generasi muda tani merupakan aktor kunci dan tulang punggung pertanian ekonomi hijau berkelanjutan yang akan menjawab persoalan ketahanan pangan di Indonesia. Oleh karena itu, penting untuk memberikan perhatian khusus termasuk insentif bagi tumbuhnya perempuan tani dan generasi muda tani di Tanah Air.
Selain menciptakan sumber-sumber pendapatan berbasis ekonomi hijau berbasis desa, pelibatan perempuan dan generasi muda dalam pertanian ekonomi hijau berkelanjutan juga menguatkan ekonomi keluarga dan kesetaraan jender.
Demikian hasil studi dan pengalaman lapang dari program ”Promoting Green Economic Initiatives by Women and Youth Farmer in The Sustainable Agriculture Sectors in Indonesia” atau (ECHO-Green). Program yang didukung oleh Uni Eropa dari Januari 2020 hingga Februari 2023 ini dikoordinasi oleh Yayasan Penabulu bersama-sama Konsil Lembaga Swadaya Masyarakat Indonesia dan Konsorsium pendukung Sistem Hutan Kerakyatan (KpSHK).
Program ECHO-Green dilakukan di Kabupaten Padang Pariaman (Sumatera Barat) di 25 desa di tiga kecamatan; Grobogan (Jawa Tengah) di 49 desa di tiga kecamatan 49 desa; dan Lombok Timur (Nusa Tenggara Barat) di 25 desa di tiga kecamatan.
KOMPAS/FERGANATA INDRA RIATMOKO
Buruh tani menaburkan pupuk pada bibit tebu yang disemaikan di Desa Bangunjiwo, Kasihan, Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta, Rabu (1/2/2023). Bibit hasil penyemaian selanjutnya dibagikan kepada petani tebu yang membutuhkan.
Program ini mempromosikan inisiatif ekonomi hijau oleh perempuan dan generasi muda tani di sektor pertanian dalam rangka meningkatkan produktivitas pertanian, ketahanan pangan, kesempatan kerja yang layak dan pertumbuhan ekonomi yang inklusif, guna mendukung pencapaian Tujuan Pembangunan Berkelanjutan di Indonesia, khususnya Tujuan II, V, dan VIII.
”Perempuan dan generasi muda tani memiliki potensi ekonomi hijau berkelanjutan. Namun, selama ini mereka terpinggirkan dari berbagai kebijakan,” ujar Agung Wijaya, Project Officer ECHO-Green pada Diskusi Kelompok Terfokus di Jakarta, Rabu (22/2/2023).
Diskusi bertema ”Mengembangkan Zona Ekonomi Hijau (Sosial-Ekologi–Ekonomi) di Sektor Pertanian, Melalui Perencanaan Tata Ruang Desa yang Inklusif dan Berkelanjutan bagi Perempuan dan Generasi Muda Tani di Perdesaan” yang diselenggarakan ECHO-Green bersama Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN/Bappenas).
Situasi tersebut juga berdampak pada meningkatnya kesetaraan jender serta perlindungan terhadap perempuan dan anak dari berbagai kekerasan.
Pada diskusi yang dihadiri perwakilan kementerian/lembaga terkait dan pemerintah dari tiga kabupaten, Agung menjelaskan dampaknya sangat besar ketika para perempuan dan generasi muda di desa dilibatkan dan ikut dalam pengambilan keputusan terkait pertanian ekonomi hijau berkelanjutan. Selama ini, peran perempuan di semua pembagian kerja di sektor pertanian sangat besar, tetapi dalam pengambilan keputusan mereka tidak dianggap atau tidak masuk hitungan.
SONYA HELLEN SINOMBOR
Peserta diskusi Mengembangkan Zona Ekonomi Hijau (Sosial-Ekologi–Ekonomi) di Sektor Pertanian, Melalui Perencanaan Tata Ruang Desa yang Inklusif dan Berkelanjutan bagi Perempuan dan Generasi Muda Tani di Perdesaan yang diselenggarakan ECHO-Green bersama Kementerian PPN/Bappenas, di Jakarta, Rabu (22/2/2023), foto bersama,
”Melalui Program ECHO-Green di tiga kabupaten kami menemukan perempuan yang selama ini tidak punya penghasilan, ketika ikut program ECHO-Green mereka bisa menciptakan sumber-sumber ekonomi berbasis ekonomi hijau,” ujar Agung.
Misalnya kegiatan pembuatan pupuk organik dari limbah pertanian dan kotoran ternak. Di Padang Pariaman, para perempuan di desa mengumpulkan jerami dan kotoran ternak kemudian diproduksi menjadi pupuk organik cair.
Di Grobogan, perempuan desa menggunakan jerami dan sekam sebagai media jamur. Di Lombok Timur, para perempuan di desa mengelola pupuk organik dari kotoran hewan dan mengembangkan budidaya kopi arabika organik, termasuk, kacang mete, dan cabai.
Pendapatan baru
Dari pendampingan tiga tahun terakhir, perempuan dan generasi muda berkontribusi dalam pendapatan keluarga. Padahal, sebelumnya pendapatan di rumah hanya dari suami atau orangtua laki-laki. Situasi tersebut juga berdampak pada meningkatnya kesetaraan jender serta perlindungan terhadap perempuan dan anak dari berbagai kekerasan.
Adapun Program ECHO-Green memiliki tiga prinsip dalam program, yakni Aksi Berkelanjutan, Inklusif Jender, dan Kolaboratif.
Selain paparan soal model ECHO-Green, pada diskusi tersebut perwakilan dari Kabupaten Grobogan, Padang Pariaman, dan Lombok Timur hadir menyampaikan pandangan serta rekomendasi. Secara umum, pemerintah daerah yang menjadi tempat penerapan model ECHO-Green menyampaikan ada sejumlah dampak yang dirasakan dari desa-desa yang menjadi proyek percontohan program tersebut.
BENEDIKTUS KRISNA YOGATAMA
Kebutuhan Pendanaan Ekonomi Hijau. Sumber: Otoritas Jasa Keuangan
Misalnya, di Padang Pariaman, masyarakat di desa/nagari kini mengelola lahan yang selama ini tidak produktif. ”Harapan kami, kalau bisa program ini dilanjutkan,” ujar Deni Setiawan, Wali Nagari Buayan, Kecamatan Batang Anai.
Sumarlan, Direktur Penyerasian Pemanfaatan Sumber Daya Alam dan Lingkungan Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi menyampaikan alokasi penggunaan dana desa terkait ketahanan pangan diserahkan kepada desa masing-masing yang diputuskan melalui musyawarah desa. Dia mendorong penggunaan dana desa untuk ekonomi berkelanjutan.