Ditemukan Gen Baru yang Menjadikan Ragi Kebal Racun Mematikan
Penemuan gen yang membuat ragi kebal terhadap racun mematikan memberi jalan baru untuk perlindungan terhadap racun.
Oleh
AHMAD ARIF
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Peneliti National Institutes of Health telah mengidentifikasi gen yang membuat ragi kebal terhadap racun yang mematikan. Temuan ini dapat memberi jalan baru untuk perlindungan terhadap racun.
Temuan baru ini diterbitkan dalam Proceedings of the National Academy of Sciences pada 17 Februari 2023. Sepanjang sejarah, manusia telah melawan berbagai racun yang dibuat oleh organisme lain, seperti laba-laba, tumbuhan, ular, dan bakteri kolera atau antraks. Memahami resistensi racun dalam ragi dapat mengarah pada jalan baru untuk perlindungan terhadap racun pada manusia.
Ragi telah lama diketahui memiliki kemampuan luar biasa untuk menghindari efek racun yang mematikan. Namun, alasannya masih menjadi misteri hingga sekarang.
Untuk mempelajari evolusi resistensi toksin pada ragi, para peneliti di National Human Genome Research Institute (NHGRI), bagian dari National Intsitutes of Health, Amerika Serikat, memakai ragi yang biasa digunakan untuk membuat kue di rumah sebagai model organisme.
”Kami tertarik untuk memahami bagaimana variasi genom menyebabkan perbedaan antarindividu. Jadi, dalam penelitian ini, kami melihat mekanisme biologis paling dasar yang mendasari resistensi terhadap racun pada organisme sederhana, seperti ragi,” kata Meru Sadhu, peneliti di NHGRI dan penulis senior studi tersebut, dalam keterangan tertulis, Rabu (22/2/2023).
Ilya Andreev, peneliti NHGRI yang memimpin penelitian ini, mengutarakan, biasanya racun digunakan dalam konflik antara spesies yang berbeda. Namun, ragi cukup menarik dan aman untuk dipelajari karena racunnya hanya memengaruhi ragi lain dan tidak membahayakan manusia.
”Ada sangat sedikit contoh konflik dalam spesies ini di alam dan pekerjaan kami baru saja menggores permukaan pemahaman dinamika evolusioner dari konflik semacam itu,” kata Andreev.
Ragi resisten
Dalam studi saat ini, peneliti NHGRI menganalisis ragi yang terinfeksi virus penyebab ragi mengeluarkan racun mematikan yang disebut K28. Virus tak berdampak negatif terhadap ragi yang terinfeksi. Sebaliknya, ragi yang terinfeksi juga kebal terhadap efek toksin.
Kami tertarik untuk memahami bagaimana variasi genom menyebabkan perbedaan antarindividu. Jadi, kami melihat mekanisme biologis paling dasar yang mendasari resistensi terhadap racun pada organisme sederhana, seperti ragi.
Ragi yang terinfeksi ini mengeluarkan racun K28 untuk memusnahkan ragi yang tidak terinfeksi dan tumbuh di dekatnya. Hal ini memberi ragi yang terinfeksi keuntungan evolusioner dalam persaingan untuk sumber daya. Namun, beberapa ragi yang tidak terinfeksi tumbuh meskipun ada toksin.
Untuk mengetahui bagaimana ragi yang tak terinfeksi ini melawan toksin, para peneliti memaparkan berbagai ragi yang tak terinfeksi ke toksin K28. Mereka yang tidak terpengaruh oleh toksin diklasifikasikan sebagai sangat resisten dan yang terpengaruh sebagai sensitif. Kemudian, para peneliti membandingkan genom ragi yang resisten versus sensitif untuk mengidentifikasi gen mana yang menyebabkan beberapa ragi menjadi resisten.
Melalui penyelidikan ini, para peneliti menentukan bahwa gen KTD1 memberikan resistensi terhadap toksin K28. ”Gen ini belum pernah dipelajari sebelumnya. Mengidentifikasi gen ini adalah langkah pertama untuk memahami sepenuhnya apa yang terjadi pada tingkat molekuler,” kata Sadhu.
Kemudian para peneliti menempelkan protein bercahaya ke protein KTD1 untuk melacak posisinya di sel ragi. Mereka menemukan bahwa protein KTD1 berada di permukaan kompartemen seluler yang disebut vakuola. Vakuola melayani banyak tujuan di dalam sel, termasuk mengisolasi dan memecah zat berbahaya seperti racun.
Untuk menimbulkan efek toksiknya, toksin K28 harus bergerak bebas di sekitar sel. Para peneliti berhipotesis bahwa protein KTD1 mungkin terlibat dalam menangkap racun di dalam vakuola.
Suatu wilayah protein KTD1 masuk ke tengah vakuola, di mana ia dapat berinteraksi dengan racun yang terperangkap. Dengan menganalisis urutan protein, para peneliti menemukan bahwa wilayah protein KTD1 ini berada di bawah tekanan evolusioner yang kuat.
Tekanan evolusi yang kuat ini menunjukkan pentingnya wilayah ini untuk fungsi protein KTD1 dan menyoroti persaingan antara toksin dan ragi. Namun, riset lebih lanjut diperlukan untuk memahami bagaimana wilayah protein KTD1 ini menjaga K28 tetap terkendali dan bagaimana K28 dapat berkembang sebagai responsnya.