Berbagai upaya dilakukan untuk menekan angka tengkes atau ”stunting” di Jateng. Angka ”stunting” diharapkan bisa ditekan menjadi kurang dari 14 persen pada tahun 2024.
Oleh
KRISTI DWI UTAMI
·3 menit baca
SEMARANG, KOMPAS — Pengendalian tengkes atau stunting di Jawa Tengah akan difokuskan di 17 kabupaten/kota yang jumlah kasusnya dinilai masih tinggi. Sejumlah strategi diterapkan pemerintah setempat, antara lain melalui penyaluran beras fortifikasi, menugaskan kepala desa menjadi bapak asuh, dan membuat rumah penitipan khusus anak stunting.
Gubernur Jateng Ganjar Pranowo mengungkapkan, 17 daerah yang memiliki kasus stunting tinggi. Daerah itu adalah Banyumas, Banjarnegara, Blora, Brebes, Cilacap, Pemalang, Purbalingga, Purworejo, Rembang, Sragen, Wonogiri, Wonosobo, Demak, Grobogan, Kebumen, Klaten, dan Magelang.
Ganjar menyebut, pihaknya bakal melakukan intervensi untuk mengurangi angka stunting di 17 kabupaten/kota tersebut. Upaya yang dilakukan, antara lain, menyalurkan bantuan berupa beras fortifikasi atau yang diperkaya dengan zat gizi mikro tambahan untuk meningkatkan konsumsi zat besi dan asam folat.
”Sekarang beras fortifikasi sudah kami bagi. Khusus untuk stunting, kami minta didata berapa yang potensi stunting, yang ada ibu mengandung, yang bermasalah, terus kemudian mereka yang gizi buruk, itu menjadi satu paket,” kata Ganjar, Selasa (21/2/2023).
Ganjar menargetkan angka stunting di wilayahnya bisa terus menurun, setidaknya menjadi 14 persen pada tahun 2024. Kerja sama dengan berbagai pihak agar angka stunting menurun bakal dilakukan, termasuk dengan perguruan tinggi. ”Perguruan tinggi kami harapkan bisa membantu melalui program kuliah kerja nyata tematik atau pengabdian masyarakat,” imbuhnya.
Berdasarkan data Studi Kasus Gizi Indonesia (SSGI), angka stunting di Jateng menunjukkan tren penurunan dalam beberapa tahun terakhir. Pada 2019, angka stunting di Jateng sebesar 27,68 persen. Angka itu turun menjadi 20,9 persen pada tahun 2021 dan turun lagi menjadi 20,8 persen di tahun 2022. Angka stunting Jateng tahun 2022 masih di bawah angka stunting nasional 21,6 persen.
Di Kabupaten Blora, penanganan dilakukan dengan cara mendata anak balita yang menderita stunting. Mereka yang terdata lantas disasar dengan berbagai program intervensi agar kondisinya membaik.
”Intervensi yang kami lakukan melibatkan banyak pihak. Salah satu program andalannya adalah bapak asuh. Jadi, semua kepala desa kami wajibkan menjadi bapak asuh dari anak-anak stunting ini. Tugasnya mendampingi anak-anak asuhnya dan memastikan asupan gizi mereka terpenuhi,” kata Wakil Bupati sekaligus Ketua Tim Percepatan Penurunan Stunting Kabupaten Blora Tri Yuli Setyowati.
Sementara itu, Kota Semarang menargetkan bisa segera mencapai nol persen kasus stunting di wilayahnya. Salah satu gebrakan yang dilakukan untuk mewujudkan hal itu adalah membuat rumah penitipan bagi anak-anak stunting. Rumah penitipan yang diberi nama Rumah Penanganan Stunting Lintas Sektor bagi Baduta (Rumah Pelita) itu akan segera diluncurkan.
Nantinya di Rumah Pelita akan dititipkan 10 anak stunting dari Kelurahan Kalipancur dan Kelurahan Manyaran di Kecamatan Semarang Barat. Mereka akan diasuh dua orang.
Nutrisi anak-anak itu akan dipenuhi karena ada juru masak dan ahli gizi yang juga ditempatkan di rumah tersebut. Selain itu, petugas dari dinas kesehatan, dokter anak, psikolog anak, terapis motorik, dan bidan juga turut mendampingi pemulihan kondisi anak-anak itu.
”Di Rumah Pelita ini, penanganan stunting menjadi lebih terintegrasi. Semoga dengan cara ini, angka stunting di Kota Semarang bisa ditekan menjadi nol persen,” ucap Wali Kota Semarang Hevearita Gunaryanti Rahayu.