Pengukuran Produktivitas Dosen Indonesia Perlu Dikaji Ulang
Penyeragaman ukuran produktivitas dosen dengan tidak melihat minat dan diferensiasi misi perguruan tinggi yang beragam dinilai perlu dikaji ulang. Akan tetapi, perumusannya tidak mudah.
Riset dan publikasi ilmiah menjadi salah satu tolok ukur penting dalam menilai produktivitas dosen maupun perguruan tinggi, terutama perguruan tinggi riset. Sebab, pengembangan ilmu pengetahuan, teknologi, seni, dan budaya juga mutlak dilakukan oleh para dosen dengan memegang teguh integritas dari para intelektual.
”Kalau kita lihat di perguruan tinggi di luar negeri, dosen juga wajib melakukan riset dan publikasi. Bahkan, tuntutan produktivitasnya lebih tinggi lagi. Sebab, karier dosen di sana sangat ditentukan oleh produktivitas dan kualitas publikasi, terutama pada perguruan tinggi riset,” kata Pelaksana Tugas Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi, Riset, dan Teknologi, Kemendikbudristek, Nizam, di Jakarta, Selasa (14/2/2023).
Nizam mengatakan, di Indonesia dengan misi perguruan tinggi yang beragam, pengukuran produktivitas dosen dengan cara yang sama, yakni membuat publikasi ilmiah perlu dikaji kembali. Dalam kenyataannya, wajib publikasi ilmiah di kalangan dosen, bahkan untuk pengurusan guru besar, justru menimbulkan praktik perjokian karya ilmiah yang dianggap sebagai hal biasa.
”Memang saat ini sedang kita kaji kembali, apakah semua dosen harus diukur produktivitasnya dengan cara yang sama? Mungkin ada dosen yang passion-nya lebih pada riset dan publikasi, ada yang lebih pada berkarya nyata untuk masyarakat, ada yang lebih fokus mengembangkan pendidikan yang inspiratif. Ini yang sedang kita rancang,” jelas Nizam.
Baca Juga : Akademisi Bayar Joki, Kepakaran Bebas Diperjualbelikan
Lebih lanjut Nizam mengatakan, sudah saatnya memberikan ruang merdeka bagi dosen agar berkarya optimal sesuai dengan passion dan kapasitasnya. Sayangnya, merumuskannya tidak mudah. Hal ini masih terus dibahas dengan Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokasi agar ditata dengan lebih baik sehingga mencerminkan diferensiasi misi antarperguruan tinggi.
”Di perguruan tinggi riset, para dosen akan lebih banyak dituntut untuk publikasi ilmiah. Di perguruan tinggi pendidikan, para dosen lebih banyak mengembangkan inovasi pembelajaran. Perguruan tinggi seni bisa mendorong para dosen berkarya seni,” kata Nizam.
Publikasi karya tulis dari para dosen dan peneliti Indonesia memberi kontribusi pada khasanah ilmu pengetahuan. Jadi, memang tujuannya untuk sebanyak-banyaknya dibaca oleh para pakar di bidangnya. Dengan demikian, reputasi dosen tersebut akan diakui kepakarannya di seluruh dunia.
Nizam menegaskan, perguruan tinggi berbeda dengan sekolah dasar dan menengah. Perguruan tinggi salah satu tugasnya adalah menciptakan ilmu pengetahuan, teknologi, seni, dan budaya. Karena itu, dosen di perguruan tinggi, terlebih perguruan tinggi riset, tentu harus terus mengembangkan ilmu pengetahuan.
”Bentuk dari penciptaan ilmu pengetahuan dan teknologi adalah publikasi di jurnal ilmiah yang bereputasi atau melalui perolehan hak atas kekayaan intelektual. Sehingga di seluruh dunia, publikasi ilmiah sering digunakan sebagai ukuran produktivitas dan kualitas perguruan tinggi dan dosennya,” papar Nizam.
Memang saat ini sedang kita kaji kembali, apakah semua dosen harus diukur produktivitasnya dengan cara yang sama?
Kualitas jurnal ilmiah tentu sangat beragam. Semakin bagus jurnal tersebut, semakin banyak yang membaca, karena dipandang sebagai acuan kemajuan iptek terbaru. Jadi, yang menjadi kontrol kualitas jurnal adalah komunitas akademik pembacanya.
Jurnal-jurnal yang bereputasi memiliki sistem review yang ketat, untuk memastikan publikasi yang diterbitkan memang memiliki nilai kontribusi pada iptek terkini. Sistem bibliografi jurnal internasional (salah satunya Scopus) berisi database abstrak dan kutipan artikel penelitian memudahkan para peneliti untuk mencari informasi terkini.
Menurut Nizam, Indonesia mengacu pada berbagai sistem database bibliografi tersebut (tidak hanya Scopus, ada Web of Science dan DOAJ). Bibliografi yang bagus sangat selektif dalam memilih jurnal atau artikel yang diindeks sehingga tidak banyak jurnal yang memenuhi kriteria dalam database internasional. Hanya jurnal yang betul-betul bereputasi tinggi yang masuk dalam database bibliografi internasional tersebut. Karena itu, jurnal-jurnal berkelas dunia ini menjadi rebutan para peneliti untuk memublikasikan hasil penelitiannya.
Agar peneliti tidak perlu mengirimkan publikasi ke jurnal internasional di luar negeri yang mahal, jurnal-jurnal dalam negeri harus berkualitas internasional sehingga dibaca dan dicari oleh para peneliti di seluruh dunia. Salah satu yang dilakukan Diktiristek, yakni dengan mengembangkan ekosistem peningkatan mutu publikasi nasional. Ada Science and Technology Index (SINTA) sebagai sistem akreditasi kualitas jurnal di Indonesia, dari ternedah SINTA 6 sampai SINTA 1 yang paling tinggi. SINTA 1 artinya jurnal tersebut telah terindeks global.
Selain SINTA ada sistem repositori publikasi Garba Rujukan Digital (GARUDA), di mana publikasi para dosen dan mahasiswa dapat dibaca oleh siapa pun. Ada juga Anjungan Integritas Akademik Indonesia (ANJANI) untuk menjaga integritas publikasi dosen.
”Kami terus melakukan pembinaan jurnal-jurnal di dalam negeri agar peringkatnya terus meningkat. Ini membutuhkan kerja sama semua pihak. Untuk itu, para dosen terus berkarya yang berkualitas dan dipublikasikan di jurnal-jurnal dalam negeri yang juga berkualitas,” kata Nizam.
Berhati-hati
Di Indonesia, publikasi ilmiah menjadi syarat penting untuk kenaikan jabatan fungsional dosen, termasuk pemberian tunjangan sertifikasi dosen maupun tunjangan kehormatan guru besar. Nizam menegaskan, dalam review kenaikan pangkat, para reviewer sangat hati-hati untuk menghindari adanya plagiasi, perjokian, maupun bentuk kecurangan lainnya.
”Proses review-nya cukup ketat. Namun, selama persyaratan terpenuhi, biasanya prosesnya cukup cepat. Tapi, kalau syarat belum terpenuhi, pengusul diminta melakukan perbaikan,” jelas Nizam.
Berdasarkan data capaian penilaian angka kredit (PAK) Tahun 2022, lebih dari setengah pengajuan jabatan fungsional lektor kepala dan guru besar perlu diperbaiki. Pengajuan lektor kepala sebanyak 4.456, namun yang disetujui 2.098 orang. Sementara pengajuan guru besar sebanyak 2.851, yang disetujui 1.207 guru besar. Pengajuan di perguruan tinggi negeri (PTN) jauh lebih banyak dibandingkan pengajuan dari perguruan tinggi swasta (PTS).
Nizam menjelaskan, pengajuan yang dinyatakan perlu perbaikan umumnya karena belum terpenuhinya persyaratan khusus untuk guru besar, yakni publikasi ilmiah sebagai penulis pertama pada bidang ilmunya di jurnal yang bereputasi. ”Sebetulnya, proses guru besar saat ini jauh lebih cepat dari sebelumnya karena hampir setiap minggu ada sidang penilaian angka kredit. Dulu, hanya dua bulan sekali. Selama tiga tahun terakhir ini, penambahan guru besar banyak, di tahun 2022 saja ada lebih dari 1.200 guru besar,” ujar Nizam.
Baca Juga: Pengukuran Kinerja Dosen
Untuk dapat menerbitkan hasil riset di jurnal-jurnal bereputasi memerlukan waktu dan upaya yang tidak mudah. Beberapa jurnal bahkan kemudian berbayar untuk memublikasikan karya tulis dengan alasan untuk membiayai proses review yang melibatkan pakar-pakar top dunia.
Publikasi berkualitas membutuhkan SDM peneliti berkualitas agar menghasilkan karya ilmiah yang berkontribusi pada pengembangan iptek. Ukuran kontribusi pada pengembangan iptek ini salah satunya adalah dalam bentuk publikasi di prosiding seminar atau jurnal yang terpandang di lingkungan akademisi dunia. Artinya, karya tulisnya akan dibaca dan direview oleh para pakar dalam bidangnya. Dengan demikian, kebaruan ilmunya akan teruji melalui peer review para pakar/akademisi yang membaca karya tersebut.
Di sini yang harus dijaga dan dipertaruhkan, kata Nizam, adalah integritas para calon intelektual tersebut. Sebab, para reviewer tentunya tidak tahu siapa yang sebetulnya menulis karya ilmiah. Dalam review kenaikan pangkat, para reviewer antara lain melihat konsistensi publikasi dosen, seperti apakah keilmuannya selaras dalam rumpun yang sama atau gado-gado, atau karyanya di luar bidang ilmunya.
”Bahkan, untuk kenaikan guru besar terkadang dilakukan verifikasi melalui audiensi untuk memastikan apakah karya ilmiah tersebut betul-bertul karyanya,” ujar Nizam.
Perlu evaluasi
Secara terpisah, Anggota Panitia Kerja (Panja) Perguruan Tinggi Komisi X DPR Hetifah Sjaifudian mengatakan, Panja Perguruan Tinggi juga mencermati penelitian, termasuk publikasi ilmiah, baik oleh dosen maupun mahasiswa. Sebab, dunia pendidikan Indonesia akan terus membutuhkan penelitian untuk menemukan inovasi dan sebagai bentuk kemajuan suatu bangsa.
”Yang perlu diubah adalah mindset bahwa publikasi ilmiah ini hanya berfungsi untuk meluluskan mahasiswa atau menggugurkan kewajiban dosen,” kata Hetifah.
Panja Perguruan Tinggi ini mengevaluasi secara menyeluruh, apa saja yang salah dan perlu diperbaiki, termasuk memperketat proses seleksi jurnal ilmiah dan hukuman bagi yang menawarkan jasa dan memakai jasa joki. Dengan demikian, kualitas penelitian meningkat dan dapat bersaing dengan negara lain.
”Dalam konteks kemajuan riset dan sains di Indonesia, ada dua hal yang menjadi tolok ukur, yakni kuantitas dan kualitas. Yang selama ini menjadi fokus utama baru kuantitas sehingga kita melihat banyak publikasi ilmiah. Pekerjaan rumah kita untuk meningkatkan kualitas walaupun sebetulnya kita patut berbangga bahwa ada 58 ilmuwan Indonesia yang masuk dalam daftar saintis/peneliti paling berpengaruh di dunia tahun 2021. Namun, untuk mempeluas kualitas ini yang perlu kita pikirkan bersama,” papar Hetifah.
Hetifah meyakini dengan adanya Merdeka Belajar Kampus Merdeka, penelitian/riset menjadi salah satu bentuk meningkatkan kualitas publikasi ilmiah. ”Tinggal kita evaluasi pelaksanaannya dan matangkan lagi konsepnya,” ujar Hetifah.