Sejak masa pasca-reformasi, sensor film dilakukan dengan lebih demokratis dibanding sebelumnya. Jika dulu sensor jadi instrumen untuk membatasi ekspresi publik, kini sensor dilakukan dengan dialog.
Oleh
SEKAR GANDHAWANGI
·4 menit baca
KOMPAS/PRIYOMBODO
Petugas melakukan pemotongan film berdasarkan berita acara penyensoran film oleh tim sensor di Gedung Lembaga Sensor Film, Jakarta, Selasa (23/3/2010).
JAKARTA, KOMPAS — Metode dialog kini dikedepankan untuk melakukan sensor terhadap film ataupun tayangan televisi. Dialog dinilai demokratis dan tetap menjamin kebebasan para seniman untuk berekspresi. Di sisi lain, sensor dibutuhkan karena perkembangan teknologi memudahkan publik mengakses film dari berbagai sumber.
Menurut data Lembaga Sensor Film, ada 36.514 materi sensor yang didaftarkan ke LSF pada 2022. Materi sensor itu mencakup, antara lain iklan dan film. Dari jumlah itu, LSF menyensor 179 judul film impor yang tayang di bioskop dan 99 judul film Indonesia.
”Kami mengedepankan dialog dalam penyensoran. Sekarang (penyensoran) sudah modern dan demokratis, tidak seperti dulu, pita seluloid digunting. Sekarang, kami memberi catatan ke pemilik film jika ada adegan yang diduga atau berpotensi melanggar peraturan,” kata Ketua LSF Rommy Fibri Hardiyanto di Jakarta, Selasa (14/2/2023), pada pemaparan Laporan Tahunan LSF 2022.
KOMPAS/SEKAR GANDHAWANGI
Lembaga Sensor Film (LSF) mengadakan paparan media tentang Laporan Tahunan LSF 2022 di Jakarta, Selasa (14/2/2023).
Penyensoran mengacu Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 14 Tahun 2019 tentang Pedoman dan Kriteria Penyensoran, Penggolongan Usia Penonton, dan Penarikan Film dan Iklan Film dari Peredaran. Selain itu, penyensoran juga mengacu ke Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2009 tentang Perfilman, serta Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 2014 tentang Lembaga Sensor Film.
Adapun sepanjang 2022, LSF melakukan sembilan dialog dengan perusahaan film, rumah produksi sinetron, lembaga penyiaran televisi, dan penyelenggara festival film. Dialog umumnya membahas klasifikasi tayangan berdasarkan usia penonton.
Ada empat klasifikasi usia penonton, menurut PP Nomor 18 Tahun 2014. Keempatnya adalah semua umur (SU), 13+ (di atas 13 tahun), 17+ (dewasa di atas 17 tahun), dan 21+ (dewasa di atas 21 tahun).
”Mungkin ada yang ingin filmnya untuk penonton usia 13 tahun atau semua umur. Tapi, setelah diproses, lebih cocok untuk usia 17 tahun. Mereka (pemilik film) lalu minta dialog dengan kami,” kata Rommy.
Ia menambahkan, ada pula yang keberatan dengan catatan LSF tentang adegan, gambar, dialog, ataupun monolog yang dinilai tidak sesuai dengan klasifikasi usia yang diajukan pemilik film. Dialog antara pemilik film dan LSF pun digelar untuk membahas ini.
KOMPAS/PRIYOMBODO
Petugas operator mengoperasikan proyektor yang memutar film seluloid 35 mm dalam festival layar tancap di lapangan di Babakan, Kecamatan Setu, Tangerang Selatan, Banten, Rabu (18/1/2023) malam. Kegiatan tersebut dalam rangka syukuran memperingati hari ulang tahun komunitas pencinta film LCD Tangerang Selatan.
Menurut pengamat film Hikmat Darmawan, adanya dialog menunjukkan perubahan progresif dari lembaga sensor di Indonesia. Sebab, sebelum masa reformasi, sensor menjadi instrumen untuk membatasi kebebasan berekspresi. Sensor pun dilakukan secara satu arah.
Film Kanan Kiri OK (1989), misalnya, sempat dilarang tayang karena masalah judul. Hikmat mengatakan, film itu semula berjudul Kiri Kanan OK. Pemerintah mempersoalkan kata ”kiri” yang disebut lebih dulu dari ”kanan”. Adapun pada masa itu, kata ”kiri” dan ”kanan” dapat mengacu ke haluan politik.
”Pada 1981, ada aturan bahwa di film horor, hantu atau setannya mesti kalah dengan tokoh agama,” kata Hikmat. ”Beberapa tokoh, seperti polisi dan tokoh agama, juga tidak boleh digambarkan buruk,” tambahnya.
Sebelum masa reformasi, sensor menjadi instrumen untuk membatasi kebebasan berekspresi. Sensor pun dilakukan secara satu arah.
Sejarah sensor represif juga terjadi pada zaman kolonial. Kala itu, tidak boleh ada konten yang menggambarkan kelemahan orang kulit putih. Hal ini dianggap berbahaya karena mencitrakan bahwa orang kulit putih setara dengan pribumi.
Perlindungan
Masih ada sebagian orang yang menganggap sensor sebagai bentuk dari pembatasan kebebasan berekspresi. Di sisi lain, Hikmat berpendapat bahwa keterangan lulus sensor dari LSF bisa menjadi jaminan perlindungan hak putar film, khususnya yang bertema sensitif.
Film Kucumbu Tubuh Indahku (2019), misalnya, pernah diboikot di beberapa daerah seperti Semarang, Depok, dan Bandar Lampung karena mengandung unsur LGBTQ. Namun, keterangan lulus sensor dari LSF membuat film ini dapat mempertahankan haknya untuk diputar ke publik.
Film karya sutradara Garin Nugroho ini menduduki 12 nominasi di Festival Film Indonesia (FFI) 2019. Sebanyak delapan Piala Citra berhasil dibawa pulang. Beberapa kategori yang dimenangi ialah
Cerita Panjang Terbaik, Sutradara Terbaik, dan Pemeran Utama Pria Terbaik.
”'Stempel' dari LSF jadi proteksi negara untuk menjamin penayangan film dan melindungi hak putarnya,” ucap Hikmat.
KOMPAS/PRIYOMBODO
Warga memadati lapangan tempat berlangsungnya festival layar tancap di Babakan, Kecamatan Setu, Tangerang Selatan, Banten, Rabu (18/1/2023) malam.
Di sisi lain, LSF mendorong agar publik melakukan sensor mandiri terhadap tayangan yang akan dikonsumsi. Kemajuan teknologi membuat publik bisa menonton film di mana saja dan kapan saja. Namun, kemudahan akses ini tidak disertai kebijaksanaan untuk memilih tontonan sesuai usia.
Program edukasi publik soal sensor mandiri pun dilakukan LSF ke institusi pendidikan dan masyarakat. Direktur Perfilman, Musik, dan Media Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Ahmad Mahendra menambahkan, sosialisasi untuk menonton sesuai usia perlu dilakukan. Anak-anak pun perlu didampingi saat menonton.
”Tahap awal learning pada anak adalah mimicking atau meniru perilaku orang-orang sekitarnya, termasuk apa yang dia tonton. Tiga hal yang digarisbawahi untuk dihindari anak adalah kekerasan berlebihan, penggunaan obat terlarang, dan adegan seksual eksplisit,” katanya.