Banjir Film Selepas Hujan
Hiburan layar tancap seolah menolak turun meski bioskop semakin merajalela dan film-film telah lama masuk ruang keluarga. Arena layar tancap adalah ajang pertemuan melampaui batas rekaan pemilik modal.
Sebanyak 21 layar ditancapkan di lapangan bola setengah becek memutar seratusan film secara bersamaan. Inilah hajatan komunitas LCD Tangsel dengan hiburan layar tancap massal. Layar tancap masih mantap sebagai hiburan segala golongan. Lupakan dulu ruang privat konstruksi perusahaan kapital dengan film-film digitalnya.
Hujan deras pada Rabu (18/1/2023) yang juga mengguyur Kecamatan Setu, Tangerang Selatan, Banten, baru benar-benar reda sekitar pukul 15.00. Puluhan orang langsung sibuk memancang patok tenda dan layar di lapangan sepak bola yang masih becek itu. Lapangan di Babakan Kelapa Dua itu akan jadi arena menonton film dengan memasang 21 layar, jauh lebih banyak daripada bioskop multipleks yang cuma sepelemparan batu dari sana.
Dentuman lagu dangdut mengiringi pekerja penyedia layanan layar tancap. Acara itu merupakan peringatan ulang tahun pertama komunitas LCD Tangsel yang isinya adalah orang-orang yang berkecimpung di penyewaan hiburan film. Pedagang aneka makanan sudah siap berjualan meski acara baru dimulai pukul 20.00. Ada mi bakso, ketoprak, ketan bakar, telur gulung, soto mi, dan banyak lainnya.
Selepas isya, suasana makin riuh. Beberapa layar menampilkan potongan-potongan film. Perlahan-lahan, 21 layar menyala terang. Aneka gambar bergonta-ganti. Ada yang memutar film Jaka Tuak—yang warnanya sudah cenderung magenta, film komedi Boleh Dong Untung Terus, film perang Holywood Battleship, sampai film keluaran 2019 produksi Netflix, 6 Underground—entah dari mana dapat berkasnya.
Semua layar menyala bersamaan, tentu saja seiringan dengan audionya. Namanya layar tancap, tata suaranya tak mungkin kecil. Pandi, salah seorang panitia, menyebutkan, kekuatan audio satu layar bisa 5.000-6.000 watt. Bising sekali. Pekatnya malam yang dihiasi 21 layar berganti-ganti gambar secara bersamaan terasa surealis.
Nostalgia
Marsad (60) berjalan kaki dari rumahnya yang berjarak hanya 200 meter untuk menonton layar tancap. Dia tak peduli suasananya seriuh apa. Sekitar lima menit saja, ia sudah sampai. ”Saya pergi sendiri. Pengin nonton soalnya ramai. Waktu kecil, saya sudah sering lihat layar tancap,” katanya.
Ingatan masa lalu tak pelak ikut mengajak Marsad mengayunkan langkah untuk menikmati hiburan rakyat. Ia lantas mengenang film pertama yang ditontonnya. ”Jagoan Betawi, Si Pitung. Film lain, Tarzan dan Charlie Chaplin. Umur saya masih 10 tahun,” katanya.
Saat itu, di Tangerang memang masih banyak sawah dan kebun. Sapi dan kambing pun bebas berkeliaran. Warga Betawi tersebut memang menghabiskan masa kecil di Babakan. ”Lahir juga di sini. Dulu, saya ngangon kerbau,” katanya sambil tertawa. Rabu malam itu, yang berseliweran bukan sapi atau kambing, melainkan sepeda motor dan pedagang lato-lato.
Di mana ada layar tancap, ke sana Marsad melenggang. Antusiasmenya tak luntur saat mengadu nasib ke Kampung Duri, Jakarta, untuk berdagang arang. ”Kalau malam Minggu, pasti nonton. Bioskop gedongan juga saya datangi waktu masih bujangan. Saya masih suka mantengin film,” katanya.
Di Lapangan Babakan Kelapa Dua, Marsad memilih film India meski tak tahu judulnya. Ia senang lantaran bintang-bintang yang dilihatnya ganteng dan cantik. ”Enggak tahu, yang penting pemainnya cakep-cakep. Filmnya warna-warni,” ucapnya seraya terkekeh.
Usut punya usut, film berjudul Aadmi buatan tahun 1993 yang dibintangi Mithun Chakraborty dan Gautami itu mengisahkan pemuda tangguh penentang koruptor. ”Mumpung hiburan gratis. Terakhir nonton layar tancap, lupa. Pokoknya, saya hobi. Kalau ada hajatan yang pakai layar tancap, saya datang,” ujarnya.
Demikian pula Wanih (47) yang berjalan santai dengan lima kerabatnya untuk menonton layar tancap. Warga Betawi itu sekaligus hendak mencecap kembali masa kecilnya. ”Senang nonton soalnya ramai-ramai. Zaman dulu apalagi, hiburan masih jarang. Sambil ngumpul juga,” ucapnya.
Ia pertama kali menonton layar tancap saat berusia sekitar lima tahun. Wanih diajak ibunya, namun sudah tak ingat film yang ditonton. ”Memang hiburannya begitu dari kecil. Filmnya Jaka Sembung, Pandji Tengkorak, sama Si Buta dari Gua Hantu. Pemainnya Barry Prima sama Advent Bangun,” katanya.
Wanih juga pernah menonton film-film yang dibintangi Kadir, Doyok, dan Warkop DKI. Tak heran, ia turut bernostalgia. ”Memorinya menyenangkan, jadi saya mau datang. Dulu, kan, hiburan cuma TV yang acaranya enggak setiap waktu,” ucapnya.
Wanih pun mengakrabi layar tancap. Di Lapangan Babakan Kelapa Dua, ia menonton film India yang diproduksi tahun 2000, Josh, dengan bintang Shah Rukh Khan dan Aishwarya Rai. ”Senang lihatnya. Nyanyi-nyanyi India. Mirip dangdut. Enak didengar meski enggak ngerti,” ujar Wanih seraya tergelak.
Warga Kelurahan Buaran, Kecamatan Serpong, Tangerang Selatan, itu menempuh jarak sekitar 1 kilometer. Ia sudah datang sejak layar tancap dimulai atau sekitar pukul 20.00. ”Enggak capek. Sambil ngobrol dan ketawa. Mumpung dekat dan gratis,” ucapnya sembari tersenyum.
Ke mana pun disambangi
Marsad dan Wanih bisa jadi adalah generasi yang tumbuh ketika bioskop masih memakai format film seluloid. Bisa jadi mereka asing dengan layanan tontonan berlangganan (over the top) macam Netflix, HBO GO, Vidio, atau Disney Hotstar+. Tapi, pengunjung festival layar tancap malam itu bukan cuma warga senior saja. Yang muda-muda juga bejibun, bahkan lebih banyak daripada yang tua.
Chepy (30), warga Kampung Babakan, mengaku sering nonton video dari Youtube di gawainya. Tapi, malam itu ponselnya dia simpan di saku. Chepy dan dua kawannya duduk bersila di rumput. Di depannya ada sebungkus gorengan dan teh dalam botol. Sebatang kretek baru saja dia matikan.
Dari sudut duduknya, dia bisa melihat sedikitnya tiga layar: satu menampilkan Barry Prima dalam film Jaka Tuak, satu film India, satu lagi film 6Underground dengan Ryan Renolds sebagai jagoan. Tak satu layar pun memutarkan film Mandarin kesukaannya. Jadi, film mana yang ditonton?
”Mana aja, dah. Tiga-tiganya rame (seru) kok,” ujarnya. Suaranya samar-samar terdengar karena terimpa suara adegan ledakan di film 6 Underground. Arah mukanya memang berganti-ganti mengamati tiga layar itu. Dia mengaku agak bingung menonton yang mana, tapi menikmati suasananya.
”Semalam juga habis nonton di lapangan sini, tapi cuma tiga layar. Ada, tuh, film silat Mandarin,” kata Chepy. Di malam sebelumnya itu, Chepy lebih khidmat menikmati film. ”Sekarang asyiknya lebih banyak pilihan film. Nanti paling geser ke sana,” sambil menunjuk sudut lain di lapangan itu.
Chepy sesekali nonton film di bioskop juga, apalagi kalau ada film silat atau film laga. Nonton di bioskop, katanya, lebih nyaman. Namun, dia lebih suka menonton layar tancap. Alasannya, bioskop punya aturan relatif ketat.
”Nonton bareng-bareng sama keluarga atau sama teman bisa sambil ngobrol. Suasananya lebih akrab. Ketemu tetangga lewat juga negor. Nonton layar tancap juga bisa bawa makanan apa aja. Pokoknya lebih bebas, dah,” ujarnya sembari mengeluarkan sebatang kretek lagi.
Alasan kebebasan juga diutarakan Ari (27), warga setempat penggemar berat film India. Dia tergabung dalam grup percakapan penyuka film India. Dari grup itu, Ari sering dapat informasi pemutaran film India, baik di bioskop atau di hajatan. ”Kalau layar tancap, saya samperin, dah. Saya nonton (layar tancap) sampai di Cisauk, Bojonggede, paling sering, sih, di Bekasi,” kata Ari yang topinya setengah miring ke atas dan sandal jepitnya berlumpur itu.
Saking seringnya datang ke arena layar tancap, dia sampai kenal dengan beberapa juragannya. Tak jarang mereka meminta Ari bantu-bantu, mulai dari membawakan rol film sampai menjaga putaran reels film. Ari diberi upah juga. Tapi, bukan itu tujuannya. ”Saya hobi nonton film India yang lama-lama, kan, lengkap ada tembak-tembakannya, ada nari-nari-nya, ada nangis-nya,” ujarnya menyerocos seperti mau mengalahkan kebisingan di arena itu.
Arena itu memang berisik sekali. Suara adegan film tak ada yang mau mengalah. Adegannya pun sangat acak: di sini tarian sukacita, di sana ada yang menangis tersedu-sedu. Metafora banjir informasi dan hiburan mewujud sejadi-jadinya. Inilah festival tanpa kelas, tanpa aturan yang membelenggu. Di sinilah semua kalangan bersua.
Sekretaris Jenderal Lembaga Kebudayaan Betawi Imbong Hasbullah berpendapat, layar tancap masih lestari karena bisa dinikmati semua kalangan, terutama kelas bawah. ”Sejak tahun 1960 atau 1970-an, hiburan saat itu masih kurang. Bukan karena kultur Betawi, karena tak hanya terjadi di Jakarta. Layar tancap bisa dinikmati bareng waktu hajatan hanya dengan mendirikan layar, lahan kosong, dan memutar film,” katanya.
Di Lapangan Babakan Kelapa Dua itu, modernitas seakan berhenti sejenak.