Ada saja spam dari pengelola jurnal predator yang menyerbu e-mail. Dalam sepekan ada tiga sampai empat e-mail semacam ini yang masuk ke spam e-mail. Jurnal predator biasanya menggunakan nama yang mirip jurnal internasional ternama lalu menawarkan waktu publikasi cepat dengan proses peer-review longgar atau bahkan tak ada. Namun, mereka akan menarik biaya puluhan hingga ratusan dollar Amerika Serikat. Cakupan topik jurnal jenis ini biasanya luas agar bisa ”sapu jagat” mengakomodasi artikel. Frekuensi publikasi jurnal ini juga sering dan jumlah artikel amat banyak di setiap edisi.
Selain praktik perjokian dalam menulis karya ilmiah, jurnal predator kadang jadi jalan pintas bagi sebagian orang untuk memublikasikan karyanya, di antaranya untuk mendapat kredit poin kenaikan jabatan fungsional. Seorang teman yang mengajar di sebuah universitas swasta di Jakarta mengatakan, Ditjen Dikti sudah punya panduan dan daftar jurnal-jurnal predator. Jika ketahuan, klaim publikasi di jurnal predator bisa dibatalkan. Namun, tetap saja ada yang nekat. Apalagi, katanya, ada jurnal predator yang juga terindeks Scopus.
Saya membuka laman daring salah satu jurnal predator dengan cakupan topik ilmu sosial. Pengelola jurnal menjanjikan waktu akseptansi artikel 5-7 hari. Jurnal ini terbit sekali sebulan dengan isi puluhan artikel. Berdasarkan Index Copernicus International, pada tahun 2022 ada 784 artikel dari 12 edisi yang dipublikasikan di jurnal itu atau kalau dipukul rata ada 65 artikel per edisi. Pada edisi Januari 2023, misalnya, ada 101 artikel dengan 60 persen di antaranya karya penulis dari kampus-kampus di Indonesia.
Jumlah artikel itu fantastis jika saya bandingkan dengan pengalaman berinteraksi dengan dua jurnal yang juga masuk kategori ilmu sosial, yakni Journal of Indonesia Social Sciences and Humanities (JISSH) yang dikelola Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (sekarang BRIN) dan Journal of ASEAN Studies (JAS) yang dikelola Binus University. JISSH kini terakreditasi Science and Technology Index (Sinta) 3, sedangkan JAS terakreditasi Sinta 1 dan sejak 2021 terindeks Scopus. Sinta dikelola Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi dan memiliki enam tingkat akreditasi dengan Sinta 1 sebagai kategori tertinggi.
Baca juga: Perguruan Tinggi Masih Mendewakan Gelar
JISSH dan JAS sama-sama menerbitkan dua edisi per tahun dengan jumlah artikel tak sampai 10 per edisi. Jumlah artikel yang tidak terlampau banyak ini, antara lain, juga tidak terlepas dari upaya menjaga kualitas jurnal.
Butuh waktu
Berkaca dari pengalaman pribadi, perlu delapan bulan proses dari pengiriman naskah hingga akhirnya terbit di JAS dan sekitar lima bulan di JISSH. Prosesnya cukup panjang karena naskah yang masuk akan melewati meja editor jurnal lebih dahulu, lalu menjalani proses blind-review, perbaikan naskah berdasarkan masukan dari reviewer, kemudian proofreading, proses layout artikel, pemeriksaan naskah siap terbit oleh penulis, dan tahap terakhir publikasi.
Proses blind-review lumayan memacu adrenalin karena naskah kita dibaca orang yang paham dengan topik yang ditulis. Penulis tak tahu siapa yang menjadi pe-review tulisannya dan reviewer juga tak tahu siapa yang menulis karena atribusi dan identitas penulis akan dihilangkan dari naskah. Proses review bisa berlangsung lebih dari satu putaran. Proses review cukup memakan waktu karena editor jurnal juga harus mencari reviewer yang sesuai dengan topik dan konteks locus tulisan dan bersedia meluangkan waktu membaca serta memberi masukan.
Pertengahan 2022, saya sempat diminta sebuah jurnal terindeks Scopus yang oleh pemeringkat jurnal SCImago dimasukkan kategori Q1, kuartil teratas di bidangnya. Jurnal ini terafiliasi dengan salah satu kampus riset swasta di California, AS. Saya menduga mereka menghubungi karena topik naskah sama dengan artikel saya yang telah dipublikasikan di jurnal. Saya diberi waktu sebulan untuk me-review naskah, berikut memberi rekomendasi apakah manuskrip itu diterima dengan revisi minor, mengirimkan kembali untuk di-review kembali, dan ditolak. Selama 1-1,5 bulan setelah saya memasukkan hasil review, editor jurnal memberi keputusan soal manuskrip itu. Dengan melihat rentang waktu dari sisi reviewer, butuh waktu tiga bulan bagi penulis untuk mengetahui keputusan dari editor jurnal.
Baca juga: Calon Guru Besar Terlibat Perjokian Karya Ilmiah
Di beberapa jurnal lain, prosesnya bisa lebih lama lagi. Seorang teman dari Bangladesh yang sedang menyelesaikan studi doktoral bidang perubahan iklim dan kebijakan pembangunan berkelanjutan di Portugal, Asraf, menceritakan, rata-rata butuh waktu 6-8 bulan untuk memublikasikan artikel di jurnal internasional bereputasi baik di bidang yang digelutinya. ”Tetapi, pernah juga setahun baru mendapat keputusan ditolak. Ini menyakitkan,” ujarnya.
Benni Yusriza, pengajar Hubungan Internasional Universitas Paramadina, Jakarta, menjalani proses 1,5 tahun sebelum artikelnya dimuat di Asian and Pacific Migration Journal yang masuk kategori Q2. Padahal, saat itu ia diundang menulis di isu spesial jurnal itu oleh peneliti dari Monash University di Australia yang membaca tesis masternya yang dipublikasikan di repositori tesis kampusnya. Tesis itu yang ditulis ulang agar sesuai dengan format jurnal. Dia harus melakukan revisi mayor untuk memperbaiki struktur serta memperkuat kerangka teori dan kajian literatur.
”Nahan napas juga baca masukan dari reviewer. Tetapi, bukan itu saja. Review datang tiba-tiba dan dikasih waktu revisi dua bulan lagi atau harus submit dari awal,” katanya.
Padahal, butuh usaha ekstra hingga minta bantuan koleganya yang kuliah di luar negeri untuk mengakses artikel jurnal terbaru. Ketika proses review itu, pekerjaan yang dihadapinya juga sedang menumpuk.
Namun, begitu artikelnya terbit di jurnal bereputasi baik, segala proses yang panjang dan melelahkan itu terbayar. Pada akhirnya, jalur sabar lebih menyenangkan ketimbang jalur mudah jurnal predator atau joki.