Tidak semua dosen mampu menghasilkan publikasi ilmiah dengan standar jurnal ilmiah bereputasi internasional. Karena itu, pemerintah perlu mengkaji ulang regulasi yang memberi peluang penerapan tridarma sesuai minat.
Oleh
ESTER LINCE NAPITUPULU
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Perjokian publikasi ilmiah para dosen hingga guru besar untuk memenuhi kewajiban publikasi ilmiah yang marak terjadi di perguruan tinggi di Indonesia dinilai memprihatinkan. Pemerintah diminta memperbaiki sistem penilaian dan penerapan tridarma perguruan tinggi yang tidak lagi seragam dan mengganggap seolah-olah para dosen Indonesia super dalam menghasilkan publikasi ilmiah.
Selain itu, berbagai ”obral” pemberian gelar doktor kehormatan (doctor honoris causa) dari perguruan tinggi kepada para pejabat ataupun politisi yang dipertanyakan relevansinya bagi pengembangan keilmuan hingga pemberian profesor kehormatan harus dihentikan. Hal ini menodai integritas perguruan tinggi dan mencederai para dosen yang perjuangannya tidak mudah untuk bisa melanjutkan kuliah hingga doktor ataupun meraih jenjang gelar profesor/guru besar.
”Menjadi dosen di Indonesia perlu passion (minat). Sebab, profesi sebagai dosen di negeri ini belum menjamin kehidupan lebih sejahtera jika hanya mengandalkan dari gaji. Selain itu, gelar menjadi profesor masih dilihat sebagai gelar prestisius dan peningkatan kesejahteraan,” kata Ketua Umum Asosiasi Profesor Indonesia (API) Ari Purbayanto yang dihubungi dari Jakarta, Sabtu (11/2/2023).
Sebagian besar dosen berharap mendapat tambahan tunjangan sertifikasi dosen sebesar satu kali gaji pokok. Adapun para guru besar, selain sertifikasi dosen, juga mendapat tunjangan kehormatan yang besarnya dua kali gaji pokok. Namun, ada syarat harus memiliki publikasi ilmiah dan harus bereputasi internasional untuk guru besar.
Gelar menjadi profesor masih dilihat sebagai gelar prestisius dan peningkatan kesejahteraan.
Ari yang juga Guru Besar IPB University mengatakan, sudah saatnya ada perbaikan dalam memaknai tridarma perguruan tinggi. Sebab, tiap dosen punya kapasitas berbeda, ada yang kuat dalam pengajaran, penelitian, atau pengabdian masyarakat.
”Tinggal regulasinya perlu disesuaikan supaya jangan terjebak pada hal administratif saja. Yang penting dampak dari dosen itu nyata. Para guru besar, memang teruji kepakarannya, bukan sekadar jabatan akademik. Namun, pemerintah juga harus memastikan para dosen mendapatkan dukungan untuk peningkatan profesionalisme dan kesejahteraannya,” kata Ari.
Sebatas pencitraan
Ketua Umum Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI) Satryo Soemantri Brodjonegoro mengatakan, praktik perjokian publikasi ilmiah yang terjadi di perguruan tinggi juga tak lepas dari dampak kebijakan pemerintah yang memaknai mutu pendidikan sebatas ”pencitraan” dengan pencapaian peringkat dan jumlah publikasi.
Pemaksaan atau keharusan publikasi dengan iming-iming insentif, baik bagi perguruan tinggi maupun dosen, membuat jumlah publikasi Indonesia meningkat. Namun, yang memprihatinkan, Indonesia justru di posisi nomor dua di dunia sebagai negara yang publikasi ilmiahnya terbanyak masuk di jurnal ilmiah abal-abal alias predator.
”Kebijakan dari pemerintah, lalu ke perguruan tinggi, ke rektor, dan pada para dosen dengan paradigma pencitraan membuat seakan-akan Indonesia hebat, tetapi sebenarnya penuh masalah,” ujar Satryo.
Secara terpisah, Direktur Pendidikan Tinggi dan Iptek Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) Tatang Mutaqqin mengatakan, ”dugaan” kecurangan dalam publikasi ilmiah nyatanya memang ada, bahkan melibatkan para akademisi. Apalagi, untuk calon guru besar, bisa jadi karena ada insentif dan masa pensiun profesor hingga 70 tahun, membuat jabatan akademik ini kian menarik. Namun, ada syarat publikasi ilmiah di jurnal bereputasi internasional yang seharusnya didasari dari kepakaran.
”Memang tidak semua dosen punya kemampuan riset untuk sampai publikasi, apalagi produk. Karena itu, tridarma PT sebaiknya tidak dimaknai kinerja individual. Sistem perekrutan dosen dan pola in-breeding yang dihindari di Amerika Utara-Eropa, justru di sini umum terjadi. Lulusan suatu PTN, misalnya, langsung mengajar di PTN tempatnya kuliah sehingga perkawanan sangat lekat,” ungkap Tatang.
Saat ini, Bappenas sedang menyiapkan naskah akademik RUU Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 2025-2045. Di sini seluruh sektor ringkas sehingga untuk pendidikan tinggi lebih menekankan kualitas dan daya saing.
Menurut Tatang, dalam pembahasannya juga masih ada perbedaan fokus. Tim ekonomi ingin aksesnya ditingkatkan signifikan seperti Korea Selatan. Adapun terkait budaya ilmiah, di RPJPN tampaknya hanya statement budaya ilmiah yang belum spesifik. Sebab, RPJPN lebih ke haluan negara dan tahapan umum.
”Nanti di RPJMN lima tahunan lebih elaboratif, sekalipun kalau per sektor, misalnya pendidikan dan subsektor dikti-iptek lebih terlihat pada target dan indikator. Indikator teknis adanya di Renstra lima tahunan kementerian. Operasionalisasi kualitas-daya saing itu salah satunya publikasi dengan indikator sitasi. Masalah budaya ilmiah kita memang cukup pelik, kuncinya kejujuran dan etika ilmiah yang dikonkretkan dengan regulasi di Kemendikbud,” papar Tatang.
Mengutamakan gelar
Sementara itu, Ketua Bidang Ketenagakerjaan Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Anton Supit mengatakan, perjokian dalam bidang pendidikan sebagai akibat bangsa ini masih ”mendewakan” gelar, bukan kompetensi. ”Hampir tidak ada perusahaan yang mencari pekerja yang syaratnya kompetensi tertentu. Tapi yang dicari sarjana,” kata Anton.
Menurut Anton, di luar negeri secara umum lebih jelas jalur pendidikan akademik atau vokasi (applied science). Jalur sekolah menengah atas (SMA) dan universitas adalah jalur akademik/science dan di Eropa ini umumnya tidak sebanyak applied science sebab mereka butuh tenaga kerja yang berkompetensi, bukan bergelar. Pendidikan vokasi mulai dari SMK, politeknik, sampai universitas applied science.
”Kalau vokasi berjalan sesuai sistem yang benar, insentif pemalsuan ijazah atau seperti perjokian akan sangat minim,” kata Anton.
Dalam rapat dengar pendapat dengan Panitia Kerja Perguruan Tinggi Komisi X DPR beberapa waktu lalu, Ketua Dewan Pakar Forum Silaturahmi Doktor Indonesia Asep Saefuddin yang juga Rektor Univeritas Al-Azhar Indonesia mengatakan, banyak ”ranjau” yang harus dihadapi para dosen dengan persyaratan yang dipatok pemerintah untuk mendapat kualifikasi dosen yang amat tinggi. Akibatnya dari lektor ke lektor kepala terjadi perlambatan, demikian juga ke guru besar.
”Memang secara ilmiah mau dapat dosen dengan kualifikasi amat tinggi, tapi implementasinya jadi beban. Misal harus publikasi di jurnal ilmiah bereputasi internasional terindeks Scopus. Seharusnya tidak perlu ke jurnal luar negeri. Kenapa tidak diwajibkan jurnal dalam negeri, tetapi yang terakreditasi Sinta 1 dan 2. Dana publikasi ilmiah pun jadi tidak lari ke luar negeri, tapi berputar di Indonesia untuk mendukung peningkatan mutu jurnal ilmiah di Indonesia,” kata Asep.