Kusta, Penyakit Kuno yang Masih Mengintai Indonesia
Kusta dideteksi sejak 3.500 tahun lalu. Namun hingga kini, proses penyebaran dan penularannya belum diketahui pasti. Meski pengobatan kusta banyak kemajuan, stigmatisasi dan diskriminasi penderita kusta terus terjadi.
Meski sudah ditemukan lebih dari 3.500 tahun lalu, karakter penyebaran dan penularan penyakit kusta atau lepra belum sepenuhnya dipahami. Walaupun sejumlah kemajuan dalam terapi atau pengobatan kusta terus dicapai dan mampu menyelamatkan jutaan jiwa, stigmatisasi dan diskriminasi penderita kusta tetap terjadi.
Kusta adalah penyakit menular menahun yang menyerang kulit, jaringan saraf perifer, mata, dan selaput yang melapisi bagian dalam hidung. Kemunculan lepra umumnya ditandai dengan lemah atau mati rasa di tungkai dan kaki serta timbulnya lesi atau kerusakan di kulit.
Penyakit ini dipicu oleh bakteri Mycobacterium leprae dan satu-satunya binatang di alam liar yang diketahui menjadi pembawa bakteri tersebut adalah armadillo, mamalia bermoncong mirip tikus besar dan bersisik tebal. Armadillo berasal dari selatan Amerika, tetapi sekarang hewan ini mudah ditemukan di Amerika bagian tengah dan utara.
Keberadaan penyakit kusta ini sudah diidentifikasi sejak tahun 1400 sebelum Masehi. Namun, banyak informasi terkait kusta yang masih menjadi misteri hingga kini. Dikutip dari BBC, 25 Januari 2023, tidak ada yang tahu pasti bagaimana kusta muncul, mengapa dominan terjadi di negara tertentu, hingga belum ada tes untuk mendeteksi keberadaan bakteri lepra di tubuh manusia.
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) pada 27 Januari 2023 menyebut kusta tersebar di 120 negara. Setiap tahun ada 200.000 kasus kusta baru. Tiga besar negara penyumbang kasus kusta terbanyak adalah India, Brasil, dan Indonesia. Penyakit ini juga masih menjadi ancaman di Myanmar, Sri Lanka, dan Filipina walau ancamannya terus menurun.
Di Indonesia, Kementerian Kesehatan pada Januari 2022 menyebut ada 13.487 penderita kusta dan penemuan kasus baru pada 2021 mencapai 7.146 kasus. Sebanyak 15,4 persen pasien kusta mengalami kecacatan akibat keterlambatan penanganan penyakit.
Secara nasional, jumlah penderita kusta di Indonesia kurang dari 1 orang tiap 10.000 penduduk. Indonesia pun menargetkan mampu mengeliminasi kusta pada 2024.
Namun, masih ada enam provinsi dari 34 provinsi yang belum mencapai target prevalensi kurang dari 1 penderita kusta dalam setiap 10.000 penduduk, yaitu Sulawesi Utara, Gorontalo, Maluku, Maluku Utara, Papua, dan Papua Barat. Sementara jumlah kabupaten/kota yang belum daoat mengeliminasi kusta tersebar di 101 kabupaten/kota atau hampir 20 persen kabupaten/kota yang ada.
”Lepra adalah penyakit yang sangat kompleks. Banyak informasi tentang kusta masih menjadi teka-teki hingga hari ini,” kata Gangadhar Sunkara, peneliti pengembangan obat dan kepala program global perusahaan farmasi Novartis.
Meski penanganan kusta semakin membaik hingga 3 juta orang di seluruh dunia dapat diselamatkan agar tetap hidup, profesor emeritus kesehatan masyarakat dari Universitas Aberdeen Britania Raya, Cairs Smith, menyebut 140.000 kasus kusta lolos dari deteksi pemerintah setempat selama dua tahun pandemi Covid-19. Dari jumlah itu, 15.000 kasus di antaranya menyerang anak-anak.
”Mereka belum didiagnosis, diobati, dan berisiko tinggi mengalami kecacatan,” katanya. Padahal, mencegah sejak dini sama dengan mencegah kecacatan seumur hidup yang mengancam mereka.
Baca juga: Disabilitas Kusta Bisa Dicegah
Penanganan
Upaya penanganan kusta mencapai kemajuan pesat dalam empat dekade terakhir sejak WHO mengenalkan terapi multiobat tahun 1982. Terapi itu ditujukan untuk mengatasi kusta multibasiler atau disebut juga kusta basah yang memiliki banyak kuman. Jenis kusta ini mudah memicu perkembangan penyakit lebih lanjut yang sering ditandai dengan munculnya lesi pada kulit dan memicu kecacatan.
WHO pun kini mengembangkan metode pengobatan baru, yaitu terapi multiobat (MDT) yang mengombinasikan dua pil dikonsumsi sekali dalam sebulan dan satu pil diminum setiap hari. Model terapi ini berdampak besar dalam menghentikan perkembangan penyakit. Namun, menurut Penjabat Ketua Program Kusta Global WHO Venkata Pemmaraju yang telah menangani kusta selama 40 tahun terakhir, terapi itu tetap belum bisa menghentikan kusta.
Rumitnya pemberantasan kusta itu, menurut Sunkara, salah satunya disebabkan oleh sangat lambatnya bakteri M leprae bereplikasi. Satu bakteri butuh 14 hari untuk membelah diri menjadi dua bagian. Bandingkan dengan bakteri Escherichia coli di usus yang menyebabkan keracunan makanan dia hanya butuh 20 menit untuk sekali membelah diri.
Akibatnya, seseorang yang terinfeksi bakteri ini baru akan menunjukkan gejala kusta pada 2-20 tahun sesudah infeksi. Namun, waktu inkubasi rata-rata kuman sejak menginfeksi hingga muncul gejala pertama adalah lima tahun, sedangkan munculnya gejala setelah 20 tahun terinfeksi cukup jarang terjadi.
Lamanya waktu inkubasi itu tidak hanya menimbulkan masalah bagi pasien, tetapi juga orang di sekitarnya. Seseorang yang tidak sadar terinfeksi bakteri lepra bisa menularkan ke orang di sekitarnya, khususnya anggota keluarganya.
Masalahnya, sampai saat ini belum diketahui pasti bagaimana kusta menyebar. Meski termasuk penyakit menular, Elhamangto Zuhdan dan rekan dalam Jurnal Epidemiologi Kesehatan Komunitas 2 (2), 2017, menyebut jalur penularan kusta belum sepenuhnya terungkap.
Namun, sejumlah faktor risiko yang rentan menularkan kusta adalah kontak dekat dengan penderita kusta, kebersihan pribadi yang buruk, rendahnya pengetahuan, jenis kelamin, status vaksinasi BCG (Bacille Calmette-Guerin), dan kondisi sosio-ekonomi. Meski kusta termasuk penyakit menular, proses penularannya sangat lambat.
Kusta bukan sekadar penyakit, tetapi label yang sering disematkan pada penderitanya untuk merendahkan mereka.
Mereka yang melakukan kontak dengan pasien atau penderita kusta pun biasanya baru tertular setelah berbulan-bulan dekat dengan pasien. Meski demikian, konsensus yang digunakan sekarang adalah kusta ditularkan melalui droplet atau percikan pernapasan saat orang yang terinfeksi bakteri lepra batuk dan bersin. Namun, potensi menyebarkan kuman lewat kulit tetap ada.
Kerepotan lain dalam penanganan kusta adalah resistansi antibiotik. Pengobatan asli kusta yang ditemukan pada 1940-an dan efektif melawan kuman adalah antibiotik dapson. Namun, hanya butuh 20 tahun untuk obat ini menjadi tidak efektif lagi melawan kusta.
Kini, pengobatan kusta banyak bergantung pada antibiotik rifampisin. Selain itu, pendekatan modern dengan penggunaan beberapa jenis antibiotik secara bersama-sama juga dinilai lebih efektif mencegah terjadinya kembali resistansi antibiotik. Meski demikian, keberlanjutan dari penggunaan antibiotik ini tetap harus menjadi perhatian agar pengobatan tidak terhenti tiba-tiba gara-gara resistansi obat.
Meski tersedianya pengobatan akan membuat kusta lebih cepat ditangani, sayangnya diagnosis kusta masih sulit dilakukan. Saat ini, metode standar untuk mendiagnosis kusta adalah dengan melakukan biopsi atau sayatan kecil pada lesi kulit untuk diambil darah, cairan jaringan, dan jaringan lukanya untuk dicek di bawah mikroskop. Namun, teknik ini melelahkan dan mahal.
Proses deteksi kusta itu sangat tidak efektif dilakukan, khususnya di daerah perdesaan atau kabupaten kecil yang fasilitas kesehatannya terbatas dan masyarakatnya berpendapatan rendah. Akibatnya, banyak kasus kusta terlambat didiagnosis hingga sudah merusak saraf dan kulit.
Jika tes diagnostik cepat, non invasif, dan efektif mendeteksi kusta itu sudah ditemukan, maka banyak kasus kusta dan kontak dekat pasien bisa lebih cepat dilacak. Tes diagnostik cepat kusta itu sedang dikembangkan, namun sepertinya hasilnya masih butuh waktu lama untuk diperoleh.
Stigmatisasi
Meski upaya diagnosis dan terapi kusta terus berkembang, namun stigmatisasi dan diskriminasi penderita kusta tak pernah berubah, tetap berlangsung hingga sekarang. “Kusta tetap menjadi masalah hak asasi manusia yang mengakar,” kata pelapor khusus Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk penghapusan diskriminasi terhadap penderita kusta, Alice Cruz.
Kusta menjadi salah satu penyebab perceraian. Di berbagai negara, penderita kusta masih berjuang untuk mendapat akses pendidikan, layanan kesehatan, dan pekerjaan yang layak. Hak-hak ekonomi dan sosial penderita kusta banyak yang belum diberikan negara. Kusta bukan sekedar penyakit, tetapi label yang sering disematkan pada penderitanya untuk merendahkan mereka.
Pengucilan di lingkungan sekitar hingga ditolak di fasilitas umum, termasuk fasilitas kesehatan, juga masih banyak dialami penderita kusta. Situasi itu membuat banyak pasien kusta harus menghadapai beban ganda, yaitu kusta dan gangguan kesehatan mental akibat stigmatisasi dan diskriminasi yang mereka alamai.
Persoalan stigma itu pula yang masih menjadi tantangan Indonesia untuk mengeliminasi kusta pada 2024. Karena itu, menyambut Hari Kusta Sedunia 2023 yang dirayakan setiap hari Minggu terakhir di bulan Januari atau tahun ini jatuh pada 29 Januari 2023, penting untuk memberikan dukungan sosial bagi penderita kusta.
Baca juga: Pandemi Hambat Penanganan Kusta di Indonesia
Sokongan itu bukan hanya agar penderita kusta berdaya di masyarakat, namun juga membuat mereka percaya diri datang ke fasilitas kesehatan, menjalani deteksi, dan mengakses pengobatan sejak dini hingga terhindar dari kecacatan. Sokongan juga perlu diberikan agar masyarakat sekitar mau menerima dan memperlakukan penderita kusta tidak dengan sebelah mata atau dibeda-bedakan dengan orang lain.