Perempuan rentan mengalami kekerasan saat terjerat pinjaman daring. Selain mendorong berani bicara dan melaporkan kasus kekerasan, literasi keuangan digital harus terus diberikan kepada masyarakat.
Oleh
SONYA HELLEN SINOMBOR
·4 menit baca
KOMPAS/ADITYA PUTRA PERDANA
Tersangka debt collector (kanan) dihadirkan dalam pengungkapan kasus penagihan pinjaman daring di Markas Kepolisian Daerah Jawa Tengah, Kota Semarang, Jateng, Selasa (19/10/2021). Ia mengancam dan memeras dengan menyebarkan foto-foto korban pinjaman daring ilegal.
JAKARTA, KOMPAS — Praktik rentenir melalui media digital dalam bentuk pinjaman daring hingga kini terus menjerat masyarakat. Rendahnya literasi keuangan digital membuat sejumlah orang terjerat utang dalam jumlah yang berlipat-lipat dari nilai pinjaman awal. Perempuan paling banyak terkena jerat rentenir di dunia maya tersebut.
Berbagai dampak buruk dialami para perempuan pengguna pinjaman daring atau pinjaman online (pinjol) ketika mereka tidak mampu melunasi pinjamannya. Tak hanya menanggung malu dan menghadapi teror dari penagih hutang, sejumlah perempuan juga menjadi korban pelecehan verbal, psikis, seksual, dan ekonomi serta mengalami depresi, trauma, bahkan bunuh diri.
”Korban pinjol sebagian besar adalah perempuan. Pinjol ilegal menyasar perempuan untuk menarik keuntungan sebanyak-banyaknya karena literasi finansial perempuan relatif lebih rendah,” ujar Eko Novi Ariyanti, Pelaksana Tugas Asisten Deputi Pengarusutamaan Gender Bidang Ekonomi Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) pada acara Media Talk yang digelar Humas Kementerian PPPA, Jumat (3/2/2023).
Perempuan banyak terjerat pinjol karena dianggap paling bertanggung jawab dalam urusan domestik. Masa pandemi Covid-19 juga berpengaruh bagi keluarga dalam memenuhi kebutuhan rumah tangga sehingga banyak perempuan terjerat pinjaman daring.
Sejauh ini Kementerian PPPA memang belum memiliki data atau angka pasti berapa jumlah perempuan yang menjadi korban pinjol ilegal. Namun, berdasarkan data Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta, pada tahun 2021 terdapat 2.522 kasus pinjaman daring.
”Ketika perempuan terdampak pinjol, terlambat membayar sehari saja mereka sudah diekspos kartu tanda penduduk, foto, dan nomor Whatsapp diberikan pada teman-teman dan sebagainya. Ada juga yang sampai bercerai. Kasus terberat bunuh diri karena mereka merasa malu, trauma, depresi, dan sebagainya,” kata Eko.
Dari data Otoritas Jasa Keuangan (OJK), yakni Statistik Fintech Lending periode Mei 2021, yang diolah Litbang Kompas terlihat jumlah ”Outstanding” Pinjaman Daring Perseorangan Berdasarkan Jenis Kelamin, berdasarkan data per 21 Mei 2022, yang paling besar adalah perempuan sebesar Rp 9,608 miliar (52,17 persen) dan laki-laki sebesar Rp 8,810 miliar (47,83 persen).
Selain karena literasi keuangan digital yang rendah, sejumlah perempuan terjerat pinjaman daring karena berbagai faktor, antara lain karena kebutuhan mendesak, tekanan ekonomi, dan biaya sekolah anak. Namun, ada juga karena dipengaruhi oleh perilaku konsumtif.
Sejumlah perempuan terjerat pinjaman daring karena berbagai faktor, antara lain karena kebutuhan mendesak, tekanan ekonomi, dan biaya sekolah anak.
Menurut Eko, dari berbagai kajian dan laporan sejumlah lembaga, seperti Laporan Microsave Consulting dan FISIP Universitas Indonesia, masyarakat termasuk perempuan mengakses pinjaman daring karena dalam situasi mendesak dan membutuhkan dana cepat. Pinjaman daring juga tidak memerlukan jaminan serta tidak perlu datang ke tempat pendaftaran dan menjadi nasabah seperti layanan perbankan konvensional.
Selain itu, pinjaman daring menghindarkan perempuan dari perasaan malu dan takut ditolak jika meminjam pada orang yang dikenal atau keluarga. Perempuan merasa nyaman karena kerahasiaan identitas peminjam terjaga dari orang yang dikenal.
Padahal, mereka menghadapi berbagai risiko, seperti jeratan masalah tidak berkesudahan akibat bunga pinjaman tinggi dan tenggat pembayaran yang singkat. Akibatnya, mereka rentan mengalami kekerasan verbal, psikis, seksual, dan ekonomi serta pelanggaran privasi dan penyebarluasan data pribadi.
Sejumlah berkas dan foto barang bukti ditunjukkan dalam pengungkapan kasus penagihan pinjaman daring di Mapolda Jawa Tengah, Kota Semarang, Jateng, Selasa (19/10/2021).
Berani laporkan
Oleh karena itu, Kementerian PPPA mengimbau kepada para perempuan untuk tidak mudah tergiur dengan tawaran pinjaman daring ilegal yang akan menjerat mereka dalam masalah besar. Sebelum mengakses pinjaman daring, harus lebih selektif memilih aplikasi pinjaman daring. Gunakan aplikasi pinjaman yang legal dan masuk dalam daftar lembaga pinjaman dari Otoritas Jasa Keuangan.
Kepada Biro Hukum dan Humas Kementerian PPPA Margareth Robin Korwa menyatakan, jika menjadi korban kekerasan dan eksploitasi, perempuan diminta agar berani bersuara serta melaporkan kasus yang dialaminya ke hotline SAPA 129 yang dapat diakses melalui telepon 129 atau melalui Whatsapp di nomor 08111129129.
Selain berani melaporkan, untuk mempermudah proses hukum, para perempuan yang menjadi korban juga diminta menyimpan bukti-bukti kekerasan yang dilakukan oleh para pelaku, baik dalam bentuk digital (bukti percakapan atau teror/intimidasi) maupun bukti visum jika mengalami kekerasan fisik ataupun seksual.
Pengaduan kasus pinjaman daring juga diterima Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI). Ketua Pengurus Harian YLKI Tulus Abadi dalam konferensi pers di Jakarta, Jumat (20/1/2023), menyebutkan, dari 882 pengaduan konsumen sepanjang tahun 2022, layanan jasa keuangan, khususnya terkait pinjaman daring ilegal, mendominasi laporan pengaduan, yakni mencapai 152 aduan atau 44 persen dari total aduan.
Pengaduan konsumen terkait cara penagihan pinjaman daring mendominasi sejak 2021. Jumlah aduannya juga meningkat. Ada pula aduan soal permohonan keringanan, informasi tidak sesuai, penyebaran data pribadi, dan tidak meminjam tetapi ditagih.