Perlindungan Pekerja Rumah Tangga Perlu Didukung UU
Pekerja rumah tangga berperan besar menyokong rumah tangga. Namun, masih banyak Pekerja rumah tangga mengalami kekerasan, diskriminasi, dan eksploitasi. UU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga pun dibutuhkan.
Oleh
SEKAR GANDHAWANGI
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Perlindungan pekerja rumah tangga belum membaik selama dua dekade terakhir. PRT masih rentan terhadap kekerasan, diskriminasi, hingga eksploitasi. Berbagai pihak mendorong agar Undang-Undang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga segera ditetapkan sebagai dasar hukum perlindungan PRT.
Berdasarkan data Jaringan Advokasi Pekerja Rumah Tangga (Jala PRT), pada periode 2015-2022, Ada 2.637 PRT yang melaporkan berbagai kasus. Sebanyak 1.148 kasus di antaranya berupa kekerasan ekonomi, seperti upah tidak dibayarkan, upah dipotong sepihak, serta tunjangan hari raya (THR) tidak dibayarkan.
PRT juga umumnya tidak memiliki jaminan kesehatan dan sosial. Selain itu, PRT kerap mengalami waktu kerja yang tidak jelas, beban kerja yang tidak terbatas dan tidak adanya hari libur.
”Nasib pekerja rumah tangga semakin memburuk. Mulai dari tahun 2001, kondisinya sama sampai sekarang. Dari data terakhir di 2022, dalam sehari minimal ada dua korban (PRT) yang melapor, tetapi lebih banyak yang tidak melapor,” kata Direktur Institut Sarinah Eva K Sundari pada diskusi daring, Senin (30/1/2023).
Selama ini, tidak ada perlindungan terhadap hak-hak PRT, terutama hak yang sangat mendasar, seperti kepastian upah, jaminan sosial dan kesehatan, rasa aman dan nyaman saat bekerja, hingga hak untuk cuti.
Perlindungan PRT lemah karena, antara lain, PRT belum diakui sebagai tenaga kerja. Belum ada undang-undang yang khusus mengatur PRT. Hingga kini, baru ada Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 2 Tahun 2015 tentang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga.
Karena itulah, UU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (UU PPRT) dibutuhkan. Salah satu pokok Rancangan UU ini adalah pengakuan PRT sebagai tenaga kerja. RUU ini juga menyebut penghapusan PRT usia anak; hak, kewajiban, serta sanksi bagi PRT dan pemberi kerja; serta pengaturan kategori, lingkup kerja, syarat, dan kondisi kerja.
Namun, setelah dibahas selama 19 tahun, RUU tersebut tidak kunjung disahkan menjadi UU. Presiden Joko Widodo pada pertengahan Januari 2023 pun meminta agar UU PPRT segera ditetapkan.
”Selama ini, tidak ada perlindungan terhadap hak-hak PRT, terutama hak yang sangat mendasar, seperti kepastian upah, jaminan sosial dan kesehatan, rasa aman dan nyaman saat bekerja, hingga hak untuk cuti,” ujar Direktur Jenderal Pembinaan dan Pengawasan Ketenagakerjaan dan Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) Kementerian Ketenagakerjaan Haiyani Rumondang.
Deputi Bidang Perlindungan Hak Perempuan, Pemberdayaan Perempuan, dan Perlindungan Anak Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Ratna Susianawati menambahkan, esensi utama UU PPRT adalah memberi pengakuan terhadap PRT. UU ini menjamin perlindungan terhadap PRT, pemberi kerja, hingga agen penyalur PRT.
”Kami juga mendorong pemberdayaan dan pelatihan PRT agar terhindar dari kekerasan, baik PRT yang bekerja di dalam negeri maupun luar negeri,” katanya.
PRT berperan penting untuk menyokong rumah tangga. Begitu pekerjaan rumah tangga diambil alih PRT, anggota rumah tangga dapat fokus bekerja atau belajar. Produktivitas anggota keluarga pun meningkat.
Berdasarkan riset Jala PRT terhadap 52 pemberi kerja pada 2012, ada lima pekerjaan utama yang dibutuhkan mereka. Kelimanya adalah mengasuh anak, memasak, membersihkan rumah, mencuci dan menyeterika, serta mengasuh orang lansia.
Saat ditanya kondisi mereka ketika tidak ada PRT, para responden mengaku stres, tidak bisa konsentrasi bekerja, hingga sesekali bolos bekerja. Mereka juga kelelahan secara mental, kesal, hingga memicu pertengkaran suami-istri.
”Pengeluaran mereka juga naik. Karena tidak ada PRT, mereka perlu membeli makanan, laundry, dan menggunakan jasa day care. Responden dari kelas menengah atas pengeluarannya meningkat lima kali lipat, kelas menengah naik tiga kali lipat, dan kelas menengah bawah dua kali lipat,” ujar Koordinator Nasional Jala PRT Lita Anggraini saat dihubungi terpisah.
Ia pun mendorong agar UU PPRT segera ditetapkan. Ia menilai PRT berperan besar sebagai penyokong rumah tangga, tetapi kerap tak dihargai karena bekerja di ranah privat. Jala PRT mencatat ada sejumlah kasus ketika PRT disekap berbulan-bulan hingga bertahun-tahun. Ada pula PRT yang diberi makanan sisa, dipaksa makan kotoran, disundut rokok, hingga disetrika.
”Ini fenomena gunung es karena ada banyak kekerasan yang tidak bisa diceritakan,” katanya. ”Sangat disayangkan jika hal ini tidak dianggap urgent. Karenanya, perlu sensibilitas pimpinan DPR terhadap kekerasan,” tambah Lita.