Peneliti dari Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia mengembangkan selimut fototerapi dari serat optik untuk bayi ikterus atau bayi kuning. Alat ini didesain secara portabel sehingga lebih mudah digunakan.
Oleh
DEONISIA ARLINTA
·6 menit baca
Bayi kuning atau yang secara medis disebut ikterus neonatus merupakan kondisi yang biasa terjadi pada bayi baru lahir. Sebanyak 60 persen bayi baru lahir dengan usia kehamilan cukup bulan mengalami gejala ikterus secara klinis dalam minggu pertama kelahiran.
Pada jurnal Sari Pediatri 2016 disebutkan, kejadian ikterus pada bayi cukup bulan bervariasi di beberapa rumah sakit pendidikan di Indonesia, seperti Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) Dr Cipto Mangunkusumo, RSUP Dr Sardjito, RS Dr Soetomo, dan RSUP Dr Kariadi yakni antara 13,7 - 85 persen. Batas aman kadar bilirubin untuk bayi kuning yang baru lahir tidak lebih dari 20 miligram per desiliter.
Meski kondisi bayi kuning merupakan hal biasa, penanganan yang cepat dan tepat tetap harus diberikan. Jika tidak segera dirawat, bayi dengan ikterus bisa mengalami berbagai komplikasi yang berbahaya, mulai dari kejang hingga cacat dan meninggal dunia.
Bayi dengan ikterus (kuning) terjadi akibat peningkatan kadar bilirubin dalam darah. Jumlah bilirubin sudah tinggi dalam tubuh bisa berbahaya karena dapat bersifat racun. Untuk itu, bilirubin yang berlebih harus dibuang melalui urin.
Tatalaksana pada bayi ikterus yang dapat dilakukan yaitu melalui pemberian fototerapi. Tatalaksana ini merupakan terapi yang diberikan dengan menggunakan sinar untuk menurunkan bilirubin pada bayi dengan ikterus. Secara bertahap, kadar bilirubin dapat menurun dengan fototerapi.
Namun, menurut dokter spesialis anak yang juga peneliti dari Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, Tubagus Ferdi Fadilah, perawatan dengan alat fototerapi konvensional memiliki sejumlah keterbatasan. Penggunaan alat tersebut akan memisahkan ibu dan bayi sehingga perlekatan antara ibu dan bayi menjadi tidak optimal. Akibatnya, pemberian air susu ibu atau ASI secara eksklusif juga terhambat.
Selain itu, biaya penggunaan ruang rawat inap menjadi bertambah. Alat pun tidak bisa dibawa ke mana-mana sehingga menyulitkan penggunaannya. “Berangkat dari persoalan tersebut, akhirnya mulai 2019-2020 saya dan tim mencari alat yang bisa digunakan untuk terapi bayi kuning namun lebih mudah dan efektif,” katanya saat dihubungi di Jakarta, Sabtu (28/1/2023).
Akhirnya mulai 2019-2020 saya dan tim mencari alat yang bisa digunakan untuk terapi bayi kuning namun lebih mudah dan efektif.
Tubagus kini juga menjadi dosen di Departemen Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Trisakti yang tengah menempuh pendidikan doktor di FKM UI sekaligus sebagai Awarde LPDP BUDI DN atau penerima Beasiswa Unggulan Dosen Indonesia-Dalam Negeri Lembaga Pengelola Dana Pendidikan. Penelitian terkait BLUI Blanket merupakan bagian dari penelitian untuk studi doktornya.
Selimut fototerapi
Akhirnya, Tubagus dan tim mulai mengembangkan inovasi berupa selimut fototerapi untuk pasien ikterus neonatorum yang kini diberi nama BLUI Blanket atau Blue Light Universitas Indonesia. Pengembangan alat ini dilakukan secara kolaborasi, antara Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia dan Fakultas Teknik Universitas Indonesia.
Tubagus mengungkapkan, alat serupa sudah ada dipasaran, namun harga dan akses untuk mendapatkan alat tersebut kurang terjangkau karena harus didatangkan dari luar negeri atau diimpor. Oleh sebab itu, pengembangan fototerapi dalam bentuk portabel seperti selimut perlu dilakukan di dalam negeri.
Selimut fototerapi dengan LED (light emitting diode) merupakan simplifikasi dari alat fototerapi yang mudah digulung, dibawa, dan dipindahkan. Bobot dari selimut ini juga ringan sehingga memudahkan dalam distribusi dan penggunaan di fasilitas kesehatan primer di Indonesia.
Tubagus menyampaikan, penggunaan fototerapi dalam bentuk selimut memiliki sejumlah kelebihan jika dibandingkan dengan penggunaan fototerapi konvensional. Beberapa keunggulan itu meliputi antara lain, lebih nyaman digunakan oleh bayi maupun ibu, ikatan atau bonding (ikatan) antara bayi dan ibu juga lebih baik, serta pemberian ASI secara langsung menjadi lebih mudah.
Adapun pengembangan selimut fototerapi yang dilakukan oleh Tubagus merupakan bentuk yang lebih sederhana dari yang sudah ada sebelumnya. Harapannya, biaya produksi yang dibutuhkan bisa lebih murah tanpa mengurangi fungsi dan kualitas dari alat tersebut. Untuk perhitungan sementara, biaya produksi dari alat ini sekitar Rp 1,4 juta sampai Rp 1,6 juta. Biaya tersebut jauh lebih rendah dibandingkan dengan alat yang kini harus diimpor yang mencapai Rp 60 juta.
BLUI Blanket dikembangkan dengan lembar LED cahaya biru sebagai sumber cahaya dengan panjang gelombang 450-470 nanometer. Dengan penggunaan lembar LED ini, fototerapi pun lebih fleksibel dan ringan sehingga mudah dibawa, bahkan bisa digunakan di rumah.
Secara teknis, ada tiga komponen yang digunakan dalam BLUI Blanket, yakni iluminator LED, pembungkus rangkaian dengan bahan sellout, serta bantalan dakron sebagai matras yang lembut untuk bayi. Pembungkus rangkaian untuk selimut dan matras dakron dapat dicuci dan dipakai ulang sehingga bisa hemat dan tetap higienis.
Pengujian
Tubagus menuturkan, berbagai pengujian telah dilakukan pada inovasi selimut fototerapi yang dikembangkannya. Setelah beberapa kali pengujian purwarupa dilakukan untuk menemukan alat yang diharapkan, uji produk pun akhirnya dilakukan di Balai Pengamanan Fasilitas Kesehatan (BPFK) Kementerian Kesehatan.
BLUI Blanket menjadi perangkat selimut fototerapi pertama buatan dalam negeri. Dari pengujian BPFK sudah dinyatakan lulus dan memenuhi persyaratan pengujian, meliputi pengukuran keselamatan listrik, pengujian kinerja, pengujian intensitas cahaya, pengujian suhu matras, dan uji keandalan. Dalam proses pengujian, alat ini dinyalakan selama 14 hari tanpa berhenti dan terbukti tetap berfungsi dengan baik.
“BLUI Blanket dinyatakan lulus uji dan mendapatkan sertifikat pengujian pada 21 Februari 2022 dari BPFK Kementerian Kesehatan,” ujar Tubagus.
Selanjutnya, BLUI Blanket akan dilakukan studi Randomized Controlled Trial (RCT) atau uji terkontrol secara acak. Pengujian ini bertujuan untuk menilai efektivitas selimut fototerapi BLUI Blanket dibandingkan dengan alat fototerapi konvensional pada bayi-bayi dengan ikterus neonatorum. Pengujian akan dilakukan dengan total subjek sebanyak 100 bayi.
Sementara ini, berdasarkan pengujian yang sudah dilakukan pada sejumlah bayi, BLUI Blanket terbukti mampu menurunkan bilirubin pada bayi sekitar 20 persen dari total kadar bilirubin. Penelitian uji klinis pun masih akan dilakukan lebih lanjut.
Tubagus mengatakan, pengembangan dan penelitian dari BLUI Blanket diharapkan bisa selesai pada akhir 2023. Pandemi Covid-19 yang terjadi sempat menghambat perjalanan penelitian ini. Dengan situasi pandemi yang mulai terkendali saat ini diharapkan pengembangan pun bisa berjalan lebih lancar.
“ Kerja sama dari berbagai pihak diperlukan untuk memastikan keberlanjutan pengembangan BLUI Blanket agar bisa dimanfaatkan secara luas oleh masyarakat. Alat ini diharapkan bisa benar-benar bermanfaat untuk kesehatan masyarakat luas,” tuturnya.
Sebelumnya, Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin dalam acara Town Hall Meeting di Jakarta, Selasa (20/12/2022), menuturkan, transformasi pada alat kesehatan dalam negeri diperlukan untuk memperkuat ketahanan sistem kesehatan di Indonesia. Pemerintah pun terus mendukung pengembangan alat kesehatan dari dalam negeri melalui kebijakan substitusi impor dan pembekuan produk alat kesehatan impor di e-katalog.
“Dengan kebijakan yang dijalankan setidaknya dalam dua tahun terakhir, penggunaan alat kesehatan impor menurun sebesar 18 persen dari 88 persen di tahun 2019-2020 menjadi 70 persen di tahun 2021-2022,” ujarnya.