Kemarau Tahun Ini Diprediksi Mirip 2018, Waspada Kebakaran Hutan dan Lahan
El Nino lemah diprediksi 50 persen akan terjadi di Indonesia pada musim kemarau nanti. Kemarau basah selama tiga tahun berturut-turut kemarin agar tidak membuat semua pihak terlena akan potensi kemarau kering nanti.
Oleh
WILLY MEDI CHRISTIAN NABABAN
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kemarau kering normal diprediksi terjadi tahun ini setelah selama tiga tahun berturut-turut Indonesia mengalami kemarau basah akibat fenomena La Nina. Musim kemarau pada Juni-Agustus 2023 berpeluang 50 persen akan mirip tahun 2018. Risikonya, semakin kering musim kemarau, semakin besar pula risiko kebakaran hutan dan lahan.
Berdasarkan pemantauan Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), fenomena La Nina yang membawa iklim basah terus melemah dari indeks -0,8 pada Januari 2023 menuju 0,65 atau mendekati posisi normal. Kondisi ini diprediksi akan terus bertahan hingga pertengahan 2023.
Pada Juni-Agustus 2023 terdapat peluang 50 persen akan berubah menjadi El Nino lemah (anomali iklim kering, tetapi mengarah normal) dan 50 persen menjadi ENSO normal (tidak terjadi anomali). Ini dipicu peningkatan suhu permukaan air laut menjadi lebih hangat karena udara dari perairan Indonesia bergerak ke arah Samudra Pasifik.
Pemanenan air hujan harus mulai dilakukan dalam kurun waktu musim hujan dan periode transisi menggunakan TMC. Air hujan dapat ditampung di waduk, bendungan, ataupun embung.
”Meskipun lemah, El Nino tetaplah El Nino. Curah hujan yang sebelumnya tinggi akan menjadi rendah pada saat kemarau kering. Keadaan seperti ini perlu diwaspadai khususnya daerah yang rawan kebakaran hutan dan lahan (karhutla),” ujar Kepala BMKG Dwikorita Karnawati dalam konferensi pers mengenai kondisi cuaca dan iklim secara daring, di Jakarta, Jumat (27/1/2023).
Merujuk data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, luas karhutla di Indonesia saat kemarau kering 529.267 hektar pada 2018 dan 1,64 juta hektar pada 2019. Sementara pada 2022 seluas 204.894 hektar, 2021 seluas 358.867 hektar, dan 2020 seluas 296.942 hektar. Menurut BMKG, perbedaan luas karhutla pada 2018-2019 dan tiga tahun lainnya salah satunya karena perbedaan jenis kemarau–kemarau kering (2018-2019) dan kemarau basah (2020-2022).
Sementara itu, Badan Meteorologi Inggris (Met Office) memprediksi bahwa kondisi cuaca tahun 2023 akan lebih panas dari 2022 dan dapat memecahkan rekor baru dalam 10 tahun terakhir. Hal ini karena temperatur global meningkat satu celsius dari rata-rata.
Musim kemarau pada wilayah seperti Sumatera bagian utara, Sulawesi bagian tengah, dan bagian ”kepala burung” Papua mulai terjadi pada Februari 2023 yang ditunjukkan dengan rendahnya curah hujan. Pada Maret-April 2023, hampir seluruh wilayah Indonesia masuk fase transisi dari musim hujan ke musim kemarau. Pada Mei-Juli 2023, musim kemarau terjadi di Indonesia.
Beberapa hari lalu, dalam jumpa pers, Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD meminta seluruh pemerintah daerah untuk waspada dan bersiap menghadapi potensi kemarau kering yang berimbas pada karhutla. Persiapan ini telah dilakukan jauh sebelum terjadi kemarau.
Pelaksana tugas Kepala Pusat Data, Informasi dan Komunikasi Kebencanaan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Abdul Muhari, mengatakan, tahun ini persiapannya lebih matang. Pusat Pengendalian Operasi di BNPB juga telah terhubung dengan 37 provinsi yang mencakup 514 kabupaten/kota.
Ada enam provinsi prioritas yang berpotensi tinggi karhutla, yaitu Riau, Sumatera Selatan, Jambi, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, dan Kalimantan Selatan. Pada setiap provinsi itu disiapkan 35-40 helikopter yang terdiri dari helikopter patroli, surveilans, dan water bombing.
”Provinsi Aceh dan Sumatera Utara kini juga diperkuat pemantauannya karena peningkatan karhutla tahun lalu. Kedua wilayah itu disiagakan helikopter tambahan yang tersedia di Sumatera,” tambahnya.
Masa transisi
Pada Maret dan April 2023, Indonesia akan memasuki periode transisi musim hujan ke musim kemarau. Masyarakat diminta untuk waspada hujan ekstrem, angin kencang hingga puting beliung yang akan terjadi di setiap daerah.
Deputi Bidang Meteorologi BMKG Guswanto menuturkan, angin puting beliung dipicu oleh radiasi matahari pada siang hari dan pertumbuhan awan kumulonimbus (vertikal) yang menyebabkan udara naik dan turun beriringan dengan energi kinetiknya. Kondisi ini tidak dapat dicegah dengan teknologi modifikasi cuaca (TMC).
”TMC dapat digunakan untuk menciptakan hujan buatan ataupun mengalihkan air hujan. Pada dasarnya, TMC dapat digunakan kapan saja terutama sebelum musim kemarau,” ucap Guswanto.
Menghadapi musim kemarau nanti, Dwikorita menyarankan, pemanenan air hujan harus mulai dilakukan dalam kurun waktu musim hujan dan periode transisi menggunakan TMC. Air hujan dapat ditampung di waduk, bendungan, ataupun embung.
Sementara itu, Indonesia memiliki tiga periode waktu yang berbeda untuk setiap musim dan berlaku hal yang sama untuk periode transisinya. Untuk wilayah Jawa, Bali, dan Nusa Tenggara dipengaruhi monsun Australia, wilayah garis ekuator dipengaruhi gerak semu matahari, wilayah Maluku dan sekitarnya cenderung terbalik periode musim kemarau dan hujannya.
”Perbedaan ini juga dipengaruhi oleh topografi suatu wilayah masing-masing karena luas lintang bujurnya juga berbeda,” kata Dwikorita.