Penurunan potensi La Nina diyakini sebagai penyebab utama meningkatnya potensi kebakaran hutan dan lahan. Seluruh pemerintah daerah diminta untuk waspada dan bersiap menghadapinya.
Oleh
WILLY MEDI CHRISTIAN NABABAN
·3 menit baca
KOMPAS/DIONISIUS REYNALDO TRIWIBOWO
Petugas gabungan dari BPBD Kota Palangkaraya dan Manggala Agni serta sukarelawan pemadam kebakaran berebut botol air minum di sela-sela pemadaman lahan yang terbakar di Jalan Danau Rangas, Kota Palangkaraya, Kalimantan Tengah, awal Oktober 2020.
JAKARTA, KOMPAS – Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD meminta seluruh pemerintah daerah untuk waspada serta bersiap menghadapi kebakaran hutan dan lahan atau karhutla. Pemerintah daerah yang memiliki kawasan hutan perlu fokus dalam upaya pencegahan dan penanggulangan karhutla di wilayah rawan.
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) mencatat, luas karhutla menurun dari 358.000 hektar pada 2021 menjadi 204.000 hektar pada 2022. Pada Januari 2023, terdapat 66 karhutla di 11 provinsi dengan luas total 459 hektar. Kondisi ini, kata Mahfud, menunjukkan penanganan karhutla Indonesia yang semakin baik setiap tahun.
”Penanganan ini harus dipertahankan dan ditingkatkan. Koordinasi pemerintah daerah perlu diperkuat dan selalu memantau serta melaporkan kondisi titik api di daerah mereka,” ucapnya dalam konferensi pers hasil Koordinasi Kesiapsiagaan Menghadapi Karhutla 2023, di Jakarta, Rabu (25/1/2023).
Ada enam provinsi prioritas yang berpotensi tinggi karhutla, yaitu Riau, Sumatera Selatan, Jambi, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, dan Kalimantan Selatan.
Saat itu pihaknya bersama dengan TNI, Polri, KLHK, dan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) memantau kesiapan setiap daerah dalam menghadapi karhutla. Aspek yang diperhatikan adalah kesiapan organisasi, personel, dan teknologi. Di pusat pemantauan BNPB terdapat layar besar yang dapat memantau seluruh aktivitas kawasan hutan dan lahan serta potensi titik api di setiap daerah.
Sebagai informasi, peningkatan potensi karhutla karena La Nina—anomali iklim basah—yang semakin lemah dan menjadi netral pada Maret hingga April 2023. Kondisi ini membuat daerah di Indonesia akan semakin kering dan panas yang bisa memicu karhutla.
Kepala BNPB Letnan Jenderal Suharyanto mengatakan, ada enam provinsi prioritas yang berpotensi tinggi karhutla, yaitu Riau, Sumatera Selatan, Jambi, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, dan Kalimantan Selatan. Namun, tidak tertutup kemungkinan provinsi lain juga dapat terjadi karhutla.
”Pada saat terjadi karhutla, dilaksanakan operasi darat dan udara. Di darat karhutla berfokus memadamkan api sebelum membesar dan menyebar, sedangkan di udara akan berupaya membantu dengan water bombing dan patroli,” ucapnya.
Kini, Indonesia telah mampu memodifikasi cuaca untuk mengalihkan hujan. Teknologi ini dimanfaatkan sebagai strategi utama untuk memadamkan api. Selain itu, teknologi modifikasi cuaca juga sudah dimanfaatkan saat tahun baru 2023 untuk mengatasi banjir di daerah-daerah.
Menteri LHK Siti Nurbaya Bakar menjelaskan, teknik modifikasi cuaca dalam karhutla dilakukan saat belum ada api, titik panas yang tinggi, dan lahan gambut kering. Prinsip kerjanya ialah menaburkan garam pada awan dengan kandungan uap air yang tinggi untuk menciptakan hujan buatan.
”Sebelum itu, kandungan uap air di awan diteliti merujuk data BMKG (Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika). Kandungan uap air 70 persen di awan mampu menambah volume air hujan yang diciptakan hingga 40-60 persen,” katanya.
Oleh karena itu, penerapan modifikasi cuaca dinilai mampu membasahi lahan gambut yang kering. Dari segi biaya untuk modifikasi cuaca, menurut Siti, tidak mahal. Hal ini karena pesawat masih meminjam dari TNI. Satu kali operasi berkisar 1-2 minggu, biayanya tidak lebih dari Rp 3 miliar-Rp 4 miliar.