Pemberitaan Media Terkait Isu Konservasi Masih Rendah
Media-media di Indonesia belum banyak yang menyajikan informasi dan pemberitaan tentang isu konservasi. Apalagi, media yang memberitakan isu konservasi juga cenderung menyajikan informasi yang kurang mendalam.
Oleh
HIDAYAT SALAM
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemberitaan media daring terkait isu lingkungan dan konservasi dianggap masih rendah. Apalagi, berita seputar isu ini hanya membahas narasi di tingkat nasional sehingga tidak menggali dan mengelaborasi masalah secara mendalam. Kapasitas wartawan dalam memahami dan menyajikan pemberitaan sangat dibutuhkan dengan dukungan kebijakan redaksi supaya lebih mengarusutamakan isu tersebut.
Peneliti Pusat Studi Komunikasi, Media, dan Budaya (PSKMD) Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Padjadjaran, Justito Adiprasetio, menjelaskan, kondisi penyedia informasi atau media dalam memberitakan isu konservasi cenderung menyajikan informasi yang kurang menggali secara mendalam.
Misalnya, dalam kasus kejahatan pada hewan atau perdagangan satwa liar, pemberitaan di media hanya berkutat pada narasi dampak pidana saja. Sementara sepanjang 2019-2021, sebanyak 459 perdagangan satwa ilegal terjadi di Indonesia.
”Perdagangan satwa liar itu selalu ramai diberikan, tetapi implikasi hingga masalah yang lebih mendalam masih jauh atau kurang terangkat di media saat ini,” tuturnya saat kegiatan penguatan kapasitas jurnalis di Jakarta, Selasa (24/1/2023).
Menurut Justito, tidak banyak media yang dapat menggali secara mendalam masalah yang akan muncul dari kasus tersebut. Misalnya, dampak peningkatan interaksi manusia dengan satwa liar itu, karena dapat berpotensi atau mengancam kemungkinan limpahan (spillover) penyakit zoonosis. Hal tersebut bisa menyebabkan peningkatan kemunculan penyakit infeksi baru (emerging infectious diseases) di masa yang akan datang.
Fenomena tersebut juga tergambarkan dalam ”Analisis Isu Konservasi di Media Online” yang dilakukan oleh PSKMD pada periode 1 November 2021-1 November 2022. Analisis ini menggunakan sampel 30 media daring dan media daring berlangganan, dengan total 1737 berita yang ditemukan.
Pemilihan berita itu berdasarkan pada kata kunci seperti zoonosis, one health, serta UU 5/90 (Undang-Undang No 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya).
Sementara ada empat bingkai pemberitaan atau metode framework teratas dalam pemberitaan isu konservasi, yakni soal kesehatan (health) sebanyak 811 berita, kejahatan pada hewan (animal welfare) sebanyak 374 berita, berita peristiwa (news) sebanyak 322 berita, serta konservasi dan ilmu pengetahuan (conservation and science) ada 177 berita.
Justito mengatakan, metode analisis bingkai itu bertujuan untuk memberikan efek media serta memengaruhi pemahaman audiens atau pembaca terhadap praktik konservasi.
”Meski pemberitaan dalam tingkat nasional mendominasi isu konservasi, isu itu naik setelah didorong dari tingkat daerah. Sebabnya, pemberitaan lebih banyak didominasi dari pemerintah daerah, otoritas kesehatan, dan ilmuwan atau pakar, kemudian pemerintah pusat,” ujarnya.
RUU Konservasi
Lebih lanjut dia menyampaikan, pemberitaan mengenai regulasi konservasi masih sedikit, hanya 127 berita dari total 1.737 pemberitaan. Maka, fokus terhadap isu konservasi perlu juga lebih banyak menyuarakannya di ranah politik. Salah satunya, mengenai isu perubahan Rancangan Undang-Undang No 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya yang masih sedikit pemberitaan media massa.
Penguatan kapasitas wartawan amat penting dilakukan agar dapat memahami lebih baik dan kemudian mendukung isu publik.
Koordinator Kelompok Kerja Kebijakan Konservasi (Pokja Konservasi) Andri Santosa menambahkan, isu tentang perubahan RUU No 5 Tahun 1990 ini belum menjadi pembicaraan utama publik baik di media massa maupun dalam percakapan publik. Hal ini disebabkan belum ada kesadaran dan pengetahuan tentang isu tersebut.
Padahal, UU Konservasi saat ini sudah tidak lagi bisa mengimbangi ancaman pada hutan beserta keberadaan biodiversitasnya. Modus kejahatan kian bervariasi serta ancaman hukuman yang rendah, membuat perundangan ini ketinggalan zaman. Selain penegakan hukum untuk menciptakan efek jera, langkah pencegahan membutuhkan pendekatan sosial-ekonomi kepada masyarakat sekitar kawasan hutan.
”Penguatan kapasitas wartawan amat penting dilakukan agar dapat memahami lebih baik dan kemudian mendukung isu publik. Akhirnya, dapat berperan dalam percepatan proses pembuatan kebijakan yang sedang dilakukan,” kata Andri.
Hambatan
Irsyan Hasyim dari Aliansi Jurnalis Independen Jakarta menilai, salah satu hambatan atau penyebab kurangnya pemberitaan tentang isu lingkungan ataupun konservasi itu berhubungan dengan ekonomi media tersebut. Konservasi itu merupakan isu yang dianggap tidak mendatangkan audiens sehingga tidak menguntungkan bagi media daring.
Selain itu, pemberitaan terkait lingkungan juga membutuhkan biaya yang besar. Sementara isu konservasi juga jarang mendapat perhatian dari pembaca. Apalagi, selama ini media daring sangat bergantung pada kata kunci internet dan optimasi mesin pencari untuk mendapatkan klik dan dibaca orang sebanyak mungkin.
Hambatan lainnya seperti kondisi internal media sendiri yang tidak memiliki desk lingkungan ataupun wartawan yang memiliki kecakapan dalam meliput tersebut. Menurut peneliti Remotivi Yovantra Arief, meski kajian mengenai konservasi hayati banyak dibuat dan dikomunikasikan pada media, kajian tersebut sering disajikan dalam bentuk yang sulit dipahami.
Ditambah lagi rendahnya kesadaran dan pengetahuan wartawan mengenai isu tersebut sehingga kualitas liputan dan hasilnya juga menurun. ”Wartawan bisa membuat isu lingkungan menjadi isu keseharian yang ringan dan humanis. Misalnya, dampak keparahan terkait kerusakan lingkungan dan bahaya pada manusia, hal ini akan membuat orang tertarik untuk membaca isu tersebut,” ujar Yovantra.