Pelibatan Masyarakat Diusulkan Masuk dalam Revisi UU Konservasi
Aturan tentang keterlibatan masyarakat lokal dalam kegiatan konservasi hutan maupun keanekaragaman hayati lainnya perlu dituangkan dalam revisi Undang-Undang Konservasi.
Oleh
PRADIPTA PANDU
·4 menit baca
Kompas/Bahana Patria Gupta
Jalak Rio-Rio saat rilis pengagagalan pemasukan satwa tanpa dokumen via laut di Kantor Balai Besar Karantina Pertanian Surabaya, Sidoarjo, Jawa Timur, Selasa (2/3/2021). Barang bukti hewan yang berhasil disita sebanyak 633 satwa terdiri enam kakatua jambul putih, 19 nuri tanimbar, 285 kura-kura, 313 jalak rio-rio, dan 10 merpati hitam sulawesi.
JAKARTA, KOMPAS — Revisi Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya masih memiliki sejumlah catatan. Salah satu catatan utama, yaitu perlu peraturan tentang keterlibatan masyarakat lokal dalam kegiatan konservasi hutan maupun keanekaragaman hayati lainnya.
Kepala Divisi Manajemen Sumber Daya Manusia Relawan Jaringan Rimbawan (RJR) John Foeh mengemukakan, dalam Revisi Undang-Undang (RUU) Konservasi, perlu ditekankan bahwa konservasi hutan dan keragaman hayatinya harus melibatkan masyarakat setempat dan daerah. Sebab, mereka merupakan pelaku terdekat dan hidup di langsung di kawasan tersebut dengan berbagai persoalan sosial dan ekonomi.
”Persoalan terberat mungkin adalah masalah tenurial dan penguasaan lahan baik oleh masyarakat maupun orang kuat di daerah. Tidak jarang, hukum atau undang-undang juga dikalahkan. Ini suatu kenyataan yang ironis,” ujar John yang juga Guru Besar Bidang Ekonomi Sumber Daya Alam Universitas Gunadarma dalam diskusi daring, Rabu (11/8/2021).
Menurut John, dalam konservasi hutan perlu disertai pemberdayaan masyarakat lokal sebagai pihak utama pelindung hutan dan menangkal perusakan sumber daya alam. Hal ini penting karena praktik pemberdayaan masyarakat sekitar hutan lebih banyak diserahkan kepada pihak perusahaan. Padahal, bisnis utama perusahan untuk mendatangkan keuntungan.
Pendekatan yang dilakukan dalam dokumen tersebut masih terlalu didominasi pemikiran yang tidak berlandaskan sains.
Di sisi lain, pemberdayaan komunitas yang dilakukan perusahaan hanya sebatas memenuhi kewajiban yang diatur dalam syarat perizinan. Oleh karena itu, pihak swasta atau perusahaan, dinilai John, lebih baik diarahkan kepada pemasaran dan industri pengolahan produk yang dihasilkan dari hutan.
Sementara dari tinjauan naskah akademis RUU Konservasi yang dilakukan John, disimpulkan bahwa pendekatan yang dilakukan dalam dokumen tersebut masih terlalu didominasi pemikiran yang tidak berlandaskan sains. Sebaliknya, pendekatan yang dilakukan lebih banyak mengandalkan nalar dan kewibawaan otoritas.
”Mekanisme yang menjadi andalan penelitian hanya FGD (diskusi grup terfokus). Padahal, FGD hanya salah satu metode pengumpulan data. Selain itu, metode penelitian yang dilakukan dalam naksah akademis yang ada juga belum jelas arahnya,” tuturnya.
Petugas memperlihatkan Kura-kura saat rilis penggagalan pemasukan satwa tanpa dokumen via laut di Kantor Balai Besar Karantina Pertanian Surabaya, Sioarjo, Jawa Timur, Selasa (2/3/2021).John menegaskan, berhasilnya konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya sangat berkaitan erat dengan tercapainya tiga sasaran konservasi. Sasaran tersebut, yakni perlindungan sistem penyangga kehidupan, pengawetan sumber plasma nutfah, dan pemanfaatan secara lestari.
Pakar Hukum Konservasi Budi Riyanto memandang, UU Konservasi masih relevan untuk mengatur pengelolaan sumber daya alam hayati dan ekosistemnya. Namun, UU ini perlu penyempurnaan guna mengakomodir kebutuhan tanpa harus mencabut UU tersebut.
Menurut Budi, sejumlah materi muatan yang diperlukan untuk menyempurnakan UU Konservasi, yaitu terkait dengan perkembangan atau perubahan kawasan konservasi. Sebab, selama ini aturan tentang perubahan kawasan konservasi belum mengakomodasi kegiatan strategis nasional.
Selain itu, materi muatan lainnya yang perlu tertuang dalam RUU di antaranya dana konservasi, jenis tumbuhan dan satwa liar untuk konservasi, penguatan sumber daya manusia, hingga koordinasi antara pusat dan daerah. Adapun materi lainnya juga perlu mengatur tentang pengawasan dan penegakan hukum.
Sebelumnya, RUU Konservasi masuk ke dalam Program Legislasi Nasional prioritas 2021 yang ditetapkan DPR. UU Konservasi juga sudah pernah diajukan DPR untuk direvisi pada 2018. Namun, saat proses pembahasan pada 2019, pemerintah memutuskan untuk menunda penyusunan RUU tersebut dengan alasan UU Konservasi masih relevan diterapkan.
Usulan pemerintah
Sekretaris Jenderal Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Bambang Hendroyono mengatakan, filosofi UU Konservasi telah sesuai dengan strategi konservasi dunia yang bersifat universal dan menjadi rujukan UU lainnya. UU Konservasi juga dianggap telah memiliki peran dan kinerja yang cukup efektif dalam kegiatan konservasi SDA dan ekosistem yang ada di Indonesia.
KOMPAS/NIKSON SINAGA
Bayi orangutan sumatra tiba di Bandara Kualanamu, Kabupaten Deli Serdang, Jumat (18/12/2020). Satwa itu dipulangkan dari Malaysia setelah menjadi korban perdagangan ilegal.
Terkait dengan RUU Konservasi, kata Bambang, pemerintah mengusulkan untuk tetap mempertahankan tiga prinsip konservasi yaitu perlindungan, pengawetan, dan pemanfaatan. Usulan lainnya, yaitu menguatkan pengaturan pemulihan pemanfaatan kondisi lingkungan berupa pemanfaatan air, karbon hutan, dan energi baru terbarukan.
Selain itu, sejumlah konvensi internasional yang telah diratifikasi untuk efektivitas pengelolaan kawasan konservasi juga diusulkan agar diakomodir dalam RUU Konservasi. Sejumlah konvensi internasional itu antara lain Konvensi Keanekaragaman Hayati (CBD), Protokol Cartagena, Protokol Nagoya, serta Konvensi Perdagangan Internasional Spesies Fauna dan Flora Liar yang Terancam Punah (CITES).
”Kami juga mengusulkan penguatan efektivitas penanganan tindak pidana konservasi seperti peningkatan, kewenangan, dan kapasitas penegakan hukum. Ada juga terkait norma dan sanksi pidanan, aspek keperdataan, pemberdayaan masyarakat, hingga kerja sama internasional,” tambahnya.