Penanganan hewan ternak secara komprehensif dan merata dibutuhkan baik sebelum maupun sesudah terjadi bencana. Hal ini semakin krusial mengingat Indonesia tergolong negara yang rawan bencana.
Oleh
WILLY MEDI CHRISTIAN NABABAN
·4 menit baca
KOMPAS/AGUS SUSANTO (AGS)
Warga menyelamatkan hewan ternak di Dusun Kajarkuning, Desa Sumberwuluh, Kecamatan Candipuro, Kabupaten Lumajang, Jawa Timur, Minggu (5/12/2021).
JAKARTA, KOMPAS — Keselamatan hewan ternak saat terjadinya bencana masih belum diatur secara serius di Indonesia. Penanganannya baru mencakup gunung meletus dan gempa bumi serta belum merata. Untuk bencana lainnya, penanganan hewan ternak masih bergantung pada inisiatif masyarakat dan kelompok sukarelawan.
Indonesia tergolong negara yang rawan bencana, seperti gunung meletus, gempa bumi, banjir, tsunami, likuefaksi, ataupun tanah longsor. Kerugian ekonomi dan peningkatan potensi penularan penyakit membayangi hewan ternak saat terjadi bencana.
Pelaksana Tugas (Plt) Kepala Pusat Data, Informasi, dan Komunikasi Kebencanaan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Abdul Muhari, Senin (23/1/2023), di Jakarta, mengatakan, belum ada kebijakan spesifik terkait penanganan hewan ternak pada saat bencana berlangsung. Namun, sejumlah daerah ada yang telah memiliki pola evakuasi tertentu.
”Di Gunung Merapi, DI Yogyakarta, dan Gunung Agung, Bali, dibangun jalur evakuasi untuk hewan ternak. Hewan ternak diangkut menggunakan transportasi tradisional, seperti truk dan kendaraan bak terbuka lainnya,” ujarnya.
Penanganan hewan ternak, kata Abdul, bergantung pada daerah masing-masing. Untuk bencana yang dapat diprediksi dan memiliki siklus, masyarakat dapat melakukan mitigasi, tetapi untuk bencana seperti banjir cukup sulit untuk mengevakuasi hewan ternaknya.
Kebijakan penanganan hewan ternak sistemnya bottom-up atau dari daerah ke pusat. Pendataan lokasi dan jenis hewan ternak dilakukan daerah, kemudian berkoordinasi dengan pusat. Ini karena BNPB memiliki peta daerah rawan bencana, tetapi belum tahu apakah ada atau tidaknya hewan ternak pada daerah tersebut.
”Pemerintah daerah harus punya peta lokasi dan jumlah hewan ternak untuk dibangun sistem penanganannya. Penanganan hewan ternak saat bencana itu sifatnya spesifik, tergantung dari daerah dan kawasan masing-masing,” ucapnya.
Kerugian ekonomi dan peningkatan potensi penularan penyakit membayangi hewan ternak saat terjadi bencana.
Merujuk data Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO) pada 2005, tsunami di Aceh tahun 2004 menyebabkan kematian sekitar 78.000 sapi, 61.000 kerbau, 52.000 kambing, 15.000 domba, dan 1,5 juta ayam. Selain itu, penelitian Ilham dan Priyanti pada 2011 memperkirakan erupsi Gunung Merapi tahun 2010 menyebabkan kerugian di sektor peternakan sebesar Rp 88,32 miliar.
Koordinator Kesejahteraan Hewan Kementerian Pertanian Hastho Yulianto mengutarakan, penyelamatan hewan sewaktu bencana alam dapat dilakukan melalui evakuasi hewan dan ditempatkan pada tempat penampungan sementara hewan (shelter). Proses evakuasi hewan dilakukan bergantung pada jenis bencana alam yang terjadi.
”Pada kondisi banjir, hewan peliharaan dan ternak diselamatkan menggunakan perahu menuju tempat penampungan. Lalu, hewan diperiksa kesehatannya dan diberi pakan serta minum sesuai kebutuhan,” katanya.
KOMPAS/RIZA FATHONI
Halaman SD Kebon Melati 01, Jakarta Pusat, digunakan untuk tempat evakuasi sementara kambing-kambing milik pedagang korban kebakaran di Pasar Kambing, Tanah Abang, Jumat (9/4/2021). Kebakaran hebat terjadi sehari sebelumnya di lokasi penjualan sayur dan buah. Kebakaran sempat merembet ke tempat penjualan kambing yang lokasinya bersebelahan. Sekitar 200 kambing dan 13 sapi dijual di pasar tersebut.
Proses evakuasi hewan perlu memperhatikan status penyakit hewan di suatu daerah. Hal ini dinilai penting untuk meminimalkan potensi penularan dan penyebaran penyakit. Selain itu, pemeriksaan kesehatan hewan juga harus rutin serta dipisah antara hewan sehat dan sakit.
Senada dengan Hastho, peneliti peternakan Badan Riset dan Inovasi Nasional Indonesia (BRIN), Tri Puji Priyatno, menuturkan, kebijakan penanganan hewan ternak saat bencana semakin penting mengingat kerugian ekonomi dan potensi penyakit yang ditimbulkan. Dia mencontohkan serangan bakteri Salmonella sp dan penyakit newcastle disease (NCD) yang marak saat peningkatan curah hujan.
”Alangkah lebih baik potensi-potensi kerugian dan penyakit ini dapat diredam dengan pedoman khusus. Pedoman itu mencakup penanganan hewan ternak, pola evakuasi, dan pencegahan penyakit,” tuturnya.
Aspek penting lainnya, menurut Tri, adalah pakan untuk hewan ternak. Pada saat bencana, ketersediaan pakan otomatis menurun dan kematian tidak dapat dihindarkan. Pakan silase—hasil fermentasi tanaman hijau yang bernutrisi tinggi—perlu disiapkan untuk menghadapi paceklik pakan hewan ternak.
Meski penyediaan pakan dibantu oleh pemerintah, proses evakuasi hewan ternak masih bergantung pada inisiatif masyarakat. Manusia masih menjadi prioritas utama penyelamatan. ”Kalau BNPB membentuk semacam tim penyelamat hewan akan sangat disyukuri. Akan tetapi, prioritas, kerugian, dan efektivitas tentu harus dipertimbangkan. Ini karena menyelamatkan hewan cenderung tidak mudah,” katanya.
Sementara itu, sektor perikanan cenderung pasrah saat bencana terjadi. Pengajar Departemen Perikanan Universitas Gadjah Mada, Susilo Budi Priyono, menyebutkan, bencana seperti banjir, rob, atau kekeringan masih dapat diantisipasi karena bagian dari manajemen risiko. Sementara gempa bumi, erupsi gunung berapi, tsunami, dan lainnya lebih sulit dihadapi sektor perikanan.
”Bencana yang tidak pasti sulit untuk ditangani. Sejauh ini upaya yang bisa dilakukan ialah mitigasi baik dari pencegahan maupun pascabencana,” ungkapnya.