Pesan Ranting, Teknik Komunikasi Punan Batu di Hutan
Punan Batu menggunakan ranting untuk memberi tanda kepada sesama anggota komunitas, mulai dari permintaan bantuan, informasi adanya makanan, penyakit, ancaman bahaya, hingga arah pergerakan dan janji untuk bertemu.
Oleh
AHMAD ARIF
·6 menit baca
Orang Punan Batu di Kabupaten Bulungan, Kalimantan Utara, tidak mengenal baca dan tulis. Namun, selama ribuan tahun hidup berpindah-pindah sebagai pemburu dan peramu di hutan belantara Kalimantan, mereka telah mengembangkan teknik berkomunikasi kuno menggunakan pesan ranting yang memfasilitasi interaksi sosial dan kerja sama di antara mereka.
Mereka menggunakan ranting dan dedaunan untuk memberi tanda kepada sesama anggota komunitas, mulai dari permintaan bantuan, informasi adanya makanan, penyakit, dam ancaman bahaya, hingga arah pergerakan dan janji untuk bertemu.
”Kalau ada orang yang sakit menular, biasanya kami akan menaruh tanda di jalan sebagai peringatan kepada orang lain,” kata Makruf, salah satu kepala keluarga Punan Batu, yang tinggal di hutan Sajau Benau, Kabupaten Bulungan, Rabu (18/1/2023).
Pagi itu, di hutan sekitar bivak tempat tinggalnya sementara, Makruf menunjukkan beberapa pesan ranting yang diketahuinya. ”Kalau di jalan ada ranting yang ditanam di tanah dan ujung atasnya dibelah lalu diberi tanaman kecil yang dicabut seakar-akarnya, artinya ada orang sakit. Itu peringatan agar yang lain menghindar. Kalau tetap datang, risiko ditanggung sendiri,” katanya.
Jika ada anggota kelompok yang lapar dan butuh bantuan sesama Punan Batu lainnya, tandanya adalah dengan menggulung daun, yang kemudian dijepit dibagian atas ranting yang dibelah. Untuk memberi tanda siapa yang butuh bantuan itu, maka identitas yang bersangkutan akan diikatkan di ranting itu juga.
Setiap orang Punan Batu yang dewasa punya simbol untuk identitas diri, bisa berupa daun tertentu, buah, batu, kulit pohon tertentu atau barang-barang yang bisa membedakan dengan orang lain. ”Kalau tanda saya sobekan kain. Kalau ada ranting dengan sobekan kain, artinya itu pesan dari saya,” katanya.
Simbol-simbol dari ranting ini juga digunakan untuk membuat janji untuk bertemu. Tali kulit kayu yang dibuat simpul tertentu dan diikat di ranting menandakan janji ketemu di hari berikutnya. Jika lingkarannya besar, menandakan seminggu lagi, lebih besar lagi berarti sebulan, dan seterusnya.
Jika mereka hendak mengabarkan telah mendapat hewan buruan, orang Punan Batu akan mengikat tulang atau kulit binatang di ranting. Punan Batu akan selalu membagi hewan hasil buruan kepada keluarga besar mereka.
Masih banyak lagi contoh bahasa simbol yang bisa dibuat orang Punan Batu dengan menggunakan ranting ini. ”Kalau ada orang asing yang dianggap membahayakan, biasanya di ujung ranting ditaruh anak sumpit,” kata Makruf.
John Lansing, antroplog dari Santa Fe Institute, yang meneliti Punan Batu sejak 2018, mengatakan, ada banyak bukti etnohistoris bahwa penggunaan pesan ranting (message stick) ini pernah tersebar luas di kalangan pemburu-peramu yang nomaden di Kalimantan.
Ekspedisi tahun 1955 untuk mempelajari suku Punan yang tinggal di hulu sungai Rejang di Sarawak, Malaysia, kira-kira 450 kilometer jauhnya dari wilayah hunian Punan Batu, melaporkan bahwa pesan ranting sering digunakan di kalangan kelompok ini. Di Malaysia, kelompok Punan ini kerap disebut Penan.
Sebagaimana dilaporkan Guy Arnold di jurnal Malaysian Branch of the Royal Asiatic Society (1958), pesan ranting itu termasuk isyarat daun yang digulung yang menandakan permintaan makanan, identik dengan tongkat pesan yang digunakan saat ini oleh Punan Batu.
Sementara itu, di Kalimantan Utara, selain kelompok Punan Batu, masyarakat Punan Tubu di Kabupaten Malinau juga pernah mengenal pesan ranting. Namun demikian, menurut Lansing, hal itu saat ini jarang dipraktikkan lagi oleh kelompok Punan Tubu karena sejak 20 tahun terakhir mereka sudah menetap dan tinggal di perkampungan.
Bagi masyarakat Punan, hilangnya kemampuan pesan ranting juga menandai transisi ke gaya hidup dari berburu meramu ke kehidupan yang menetap atau semi-menetap.
”Pada tahun 2020, kami hanya menemukan satu pemburu Punan Tubu yang sudah lanjut usia yang dianggap oleh orang lain di komunitasnya masih bisa dalam membuat dan menggunakan pesan ranting,” kata Lansing.
Bagi masyarakat Punan, hilangnya kemampuan pesan ranting juga menandai transisi ke gaya hidup dari berburu meramu ke kehidupan yang menetap atau semimenetap. Menurut catatan Lansing, pesan ranting ini tidak lagi aktif digunakan di kalangan Punan di Kalimantan kecuali di kalangan Punan Batu.
Lansing menyebutkan, sebuah survei tahun 2016 tentang pesan ranting atau di sana disebut Oroo’ di antara 80 Penan Serwak yang telah tinggal di perkampungan Long Lemai menemukan bahwa individu di atas usia 50 tahun mengetahui lebih dari 40 tanda Oroo’. Namun, mereka yang berusia antara 20 tahun dan 30 tahun hanya mengetahui delapan tanda dan individu di bawah usia 20 tahu hanya mengenal empat tanda.
Kerja sama pemburu
Menurut Lansing, pesan ranting merupakan cara efektif untuk mengetahui keberadaan kelompok lain, termasuk mencari dan berbagi makanan. Ketika sebuah kelompok memutuskan sudah waktunya untuk bergerak, para anggota biasanya meletakkan ranting di tanah yang arahnya menunjukkan ke mana mereka akan pergi, dengan simbol identitas dia.
Sebagaimana dilaporkan Lansing dan tim dalam publikasinya di jurnal Evolutionary Human Science (2022), data GPS (global positioning system) yang dipasang pada beberapa kelompok Punan Batu menunjukkan bahwa mereka akan terus berpindah kemah setiap delapan atau sembilan hari. Hal ini biasanya dilakukan ketika sumber daya setempat berkurang.
Dalam paper yang ditulis bersama para peneliti eks Lembaga Biologi Molekuler Eijkman, di antaranya Pradiptajati Kusuma dan Herawati Supolo Sudoyo ini juga disebutkan, Punan Batu memiliki identitas genetik dan antroplogi yang berbeda dengan kelompok petani Dayak di Kalimantan. Leluhur Punan Batu, yang diperkirakan tiba di Kalimantan sekitar 8.000 tahun lalu tidak pernah mengalami pembauran genetik dengan penutur Austronesia yang membawa budaya bercocok tanam di kalangan Dayak.
Pesan ranting menyediakan cara untuk berbagi informasi penting untuk menopang budaya berburu dan meramu, termasuk permintaan bantuan, arahan untuk peluang mencari makan dan peringatan bahaya, seperti penyakit, kepada semua orang yang dapat membaca tanda-tanda itu.
Sekalipun hidup dalam kelompok-kelompok kecil, kunci dari keberlangsungan hidup pemburu dan peramu di hutan adalah kerja sama. Itulah sebabnya, berbagi makanan, terutama hasil buruan, menjadi elemen sangat penting bagi budaya mereka.
Mereka tidak mengenal teknik menyimpan daging buruan. Hampir semuanya dimakan segar karena itu mereka akan membagi-bagi setiap hasil buruan yang didapatkan kepada anggota keluarga lain yang tinggal di sekitar kawasan. Dengan selalu berbagi hewan hasil buruan, secara tidak langsung, setiap keluarga mendapat pasokan protein lebih rutin.
Jika bersikap individualis, pemburu akan sulit bertahan karena perburuan di hutan sulit diprediksi dan tidak selamanya berhasil. Pesan ranting yang digunakan oleh Punan Batu yang masih aktif bergerak mengungkapkan modus kerja sama itu.
Pesan ranting seputar penyakit, misalnya, bisa menghindari terjadinya penyebaran penyakit menular. Pesan tentang arah pergerakan grup memungkinkan terjadinya pencegahan sumber daya yang terbatas, selain saling menjaga dari pihak luar yang jadi ancaman. Dengan demikian, pesan ranting ini dapat dilihat sebagai pengetahuan lokal yang memfasilitasi interaksi sosial dan sosial-ekologis di kalangan pemburu dan peramu.