Jalan Panjang dari Hutan Menuju Kesehatan Presisi
Punan Batu masih menjadi kelompok populasi yang hingga kini belum diakui keberadaannya di negeri ini. Hal ini membuat akses dan layanan dasar untuk mereka masih terbatas.
Melalui dua hari perjalanan dari Jakarta, berganti moda dari pesawat terbang, mobil, perahu, hingga jalan kaki, Pradiptajati Kusuma dan tim akhirnya mencapai hutan Sajau Benau, Kabupaten Bulungan, Kalimantan Utara.
Kontak telah dilakukan sejak tahun 2018, dan akhirnya pada Rabu (18/1/2023) bisa kembali bertemu dan mengambil material genetik dari orang-orang Punan Batu, pemburu peramu terakhir di Kalimantan.
”Untuk penelitian kali ini, kami ingin mengambil darah vena di lengan, sekitar satu sendok makan, dan satu tetes di ujung jari,” kata Pradiptajati, peneliti posdoktoral dari Mochtar Riady Institute for Nanotechnology (MRIN), kepada orang-orang Punan Batu, yang berkumpul di gubuk kayu di tengah hutan. Sebagian di antara mereka harus berjalan kaki dua hari untuk sampai ke lokasi pemeriksaan.
Pradiptajati kemudian menjelaskan maksud dan tujuan penelitian kali ini kepada orang-orang yang tak kenal baca tulis ini. Datuk Karim, yang telah puluhan tahun berinteraksi dengan kelompok Punan Batu ini, membantu menerjemahkannya.
Namun, sebagian orang terlihat bimbang. Bahkan, ada yang mengaku takut jarum suntik dan menolak diambil darahnya serta tidak mau diperiksa.
Baca juga : Punan Batu, Pemburu Terakhir Kalimantan yang Kian Terdesak
Safarina G Malik, peneliti senior MRIN, yang menjadi supervisor penelitian, kemudian memberi contoh cara pengambilan darah. Dia meminta petugas Puskesmas Bumi Rahayu, Tangjung Selor yang turut ke lapangan, untuk mengambil darah dari lengan kirinya. Beberapa orang Punan Batu mengelilinginya untuk melihat pengambil darah itu.
”Sesuai etik, kita tidak boleh memaksa partisipan riset. Warga yang mau menyerahkan material genetiknya harus dengan kerelaan,” kata Safarina.
Setelah melihat proses itu, Bodon (70), orang yang dituakan di Punan Batu, menjadi yang pertama maju ke depan. ”Seperti digigit semut saja, tidak apa-apa,” katanya.
Akhirnya, satu per satu, orang Punan Batu mengantre untuk diperiksa. Selain diambil darah vena, mereka juga diperiksa kondisi kesehatannya, termasuk gula darah, lipid darah, serta malaria yang hasilnya langsung bisa diketahui saat itu juga.
”Untuk tes malaria, sebenarnya tidak masuk rencana studi kami. Namun, ini atas permintaan puskesmas, karena mereka ingin mendapat data malaria sehingga kami fasilitasi dengan tes cepat,” kata Pradiptajati.
Diana Fauziah, dokter Puskesmas Bumi Rahayu, kemudian menjelaskan hasil pemeriksaan kesehatan mereka, termasuk memberikan resep bagi mereka yang tengah sakit. Beberapa anak-anak dan perempuan turut memeriksakan kesehatan mereka.
Baca juga : Warga Punan Berkomunikasi dengan Ranting Kayu dan Bahasa Kuno
”Beberapa orang Punan Batu kadang periksa kesehatan saat kami buka layanan di Pangkalan (hilir Sungai Sajau). Tapi, kalau data stunting (gagal tumbuh kembang karena kurang gizi), malaria, dan profil kesehatan mereka secara keseluruhan kami belum ada. Dari beberapa yang diperiksa tadi memang ada indikasi gizi kurang,” tuturnya.
Bagi para tenaga Puskesmas Bumi Rahayu, ini adalah kesempatan langka untuk bertemu Punan Batu di tempat hidup mereka. Biasanya mereka membuka layanan pemeriksaan khusus untuk Punan Batu di Pangkalan dua bulan sekali. Namun, mereka yang datang untuk diperiksa hanya yang sakit.
Punan Batu memang masih menjadi kelompok populasi yang hingga saat ini belum diakui keberadaannya di negeri ini sehingga akses dan layanan dasar untuk mereka masih terbatas. Bahkan Punan Batu juga belum ada dalam daftar Komunitas Adat Terpencil Kementerian Sosial.
Identitas Punan Batu
Pradiptajati telah bolak-balik datang ke komunitas pemburu dan peramu terakhir di Kalimantan ini untuk membangun kontak sejak tahun 2018, ketika masih bekerja di Lembaga Biologi Molekuler (LBM) Eijkman. Dia pernah tinggal dan mengikuti aktivitas mereka di hutan, guna membangun kepercayaan dengan mereka.
Sebagian penelitian tentang Punan Batu bersama tim LBM Eijkman dan kolaborator internasional telah diterbitkan di jurnal Evolutionary Human Science (2022). Kajian ini mengungkap, leluhur Punan Batu memiliki identitas genetik dan antropologi yang berbeda dengan kelompok etnis lain di sekitarnya.
Baca juga : Kesehatan Presisi Perlu Data Akurat Ekspresi Gen
Leluhur Punan Batu yang diperkirakan tiba di Kalimantan sejak 8.000 tahun lalu. Mereka tidak memiliki bauran DNA Austronesia, yang dikenal sebagai pembawa budaya bercocok tanam bagi kelompok populasi Dayak. Hal ini menyebabkan Punan Batu hidup sebagai pemburu dan peramu. ”Kami dilarang menanam padi dan makan binatang yang sudah dipelihara,” kata Maruf, salah satu kepala keluarga Punan Batu.
Dari sisi ilmiah, temuan ini memberikan perspektif baru mengenai pola migrasi dan penghunian di Indonesia, sekaligus meneguhkan keberadaan pemburu peramu terakhir di Kalimantan, yang tinggal seminomaden di ceruk-ceruk goa karst dan di bawah tajuk hutan. Pradipta dan tim peneliti telah menyampaikan temuan itu ke jajaran Pemerintahan Provinsi Kaltara dan Kabupaten Bulungan.
Temuan itu saat ini menjadi dasar untuk mengusulkan Punan Batu sebagai masyarakat hukum adat yang harus dilindungi, termasuk hutan yang menjadi ruang hidup mereka. Bupati Bulungan Syarwani, Jumat (1/4/2022), pun telah menandatangani deklarasi inisiatif perlindungan Masyarakat Hukum Adat (MHA) Punan Batu.
Perubahan
Bagi Pradiptajati, pengakuan MHA Punan Batu yang sekarang tengah berjalan ini merupakan sumbangsih yang bisa diberikannya kepada para partisipan risetnya. Lebih dari itu, selama berinteraksi dengan Punan Batu, dia juga melihat adanya perubahan pola hidup dan lingkungan, yang mulai mengkhawatirkan.
Kalau analisis genetika sebelumnya lebih untuk menjawab asal-usul dan adaptasi genetik di masa lalu, maka dalam riset kali ini akan melihat ekspresi gen terhadap perubahan saat ini.
Punan Batu, yang sebelumnya mengonsumsi umbi-umbian hutan dan binatang buruan, mulai tergantung pada beras yang harus didapatkan dengan menukar hasil hutan. Namun, hutan yang menipis membuat binatang buruan mulai menghilang sehingga mereka kerap mengonsumsi karbohidrat saja.
”Kalau analisis genetika sebelumnya lebih untuk menjawab asal-usul dan adaptasi genetik di masa lalu, maka dalam riset kali ini akan melihat ekspresi gen terhadap perubahan saat ini,” kata Pradipta.
Dari 30 orang dewasa Punan Batu yang diperiksa kali ini, menurut Pradiptajati, tidak ada kasus obesitas, gula tinggi, maupun lemak tinggi. Kasus malaria juga masih belum ada.
”Walaupun pola makan mereka sudah berubah, aktivitas fisik masih tinggi. Ini mungkin yang menyebabkan tidak ada manifestasi negatif pada karakteristik kimia darahnya. Namun, kami akan melihat dari molekulernya, apakah ada perbedaan ekspresi gennya,” ujarnya.
Pradiptajati menjelaskan data mengenai ekspresi gen terhadap perubahan gaya hidup dan pola konsumsi merupakan fondasi penting bagi kesehatan presisi.
Padahal, selain keberagaman kelompok etnis, lingkungan dan gaya hidup masyarakat di Indonesia sangat berbeda-beda sehingga ekspresi gennya kemungkinan sangat berbeda. ”Jika kita ingin membangun kesehatan masyarakat presisi, riset dasar seperti ini harus juga dilakukan,” ungkapnya.