Jelantah, Bikin Nikmat di Lidah, tetapi Bahaya buat Kesehatan
Masyarakat sebaiknya mengurangi bahkan menghindari makanan yang digoreng dengan minyak yang sudah digunakan berulang. Selain berbahaya untuk tubuh, gizi makanan tersebut bisa rusak.
Oleh
DEONISIA ARLINTA
·4 menit baca
Membayangkan bebek goreng yang disuguhkan dengan sambal terasi matang dan nasi panas sudah membuat perut keroncongan. Apalagi bebek yang disantap baru saja diangkat dari wajan dengan minyak yang panas. Warna minyak yang dipakai menggoreng sudah kehitaman pun tidak mengurangi kenikmatan.
Sebagian orang justru menganggap semakin hitam minyaknya semakin nikmat makanan yang disajikan. Bumbunya semakin meresap. Begitu anggapannya. Namun, apa jadinya jika menyantap makanan yang digoreng dengan minyak jelantah atau minyak yang digunakan berulang itu menjadi kebiasaan?
Peneliti dari Pusat Riset Kimia Maju Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Yan Irawan, mengatakan, viskositas atau kekentalan minyak yang digoreng dengan suhu tinggi lebih dari 150 derajat celsius serta digunakan secara berulang akan berubah. Hal tersebut yang dapat membuat lemak jenuh yang berasal dari minyak tersebut mengendap di dalam pembuluh darah. Kondisi inilah yang akhirnya dapat memicu terjadi peningkatan kadar kolesterol.
Risiko penyakit tidak menular akibat tingginya kolesterol semakin besar, terlebih jika konsumsi sayur dan buah rendah dan aktivitas fisik juga minim. Belum lagi ditambah konsumsi gula dan garam yang juga tinggi serta kebiasaan merokok.
”Sebenarnya, cara paling mudah untuk menilai minyak sudah tidak baik digunakan ialah dengan melihat warnanya. Jika warnanya sudah coklat gelap kehitaman, sebaiknya tidak digunakan,” katanya di Jakarta, Rabu (18/1/2023).
Warna minyak pun akan berubah setelah dua sampai tiga jam pemakaian. Untuk itu, dianjurkan tidak menggunakan minyak yang dipanaskan pada suhu tinggi lebih dari empat jam.
Minyak sawit yang banyak dijual di masyarakat umumnya mengandung asam lemak jenuh dan asam lemak tidak jenuh dengan perbandingan satu banding satu. Namun, jika minyak tersebut dipanaskan dengan suhu tinggi dan digunakan berulang kali, lemak tak jenuh yang baik untuk kesehatan bisa rusak sehingga hanya menyisakan asam lemak jenuh.
Sebenarnya cara paling mudah untuk menilai minyak sudah tidak baik digunakan ialah dengan melihat warnanya. Jika warnanya sudah coklat gelap kehitaman, sebaiknya tidak digunakan.
Bahaya makanan yang digoreng dengan minyak tersebut semakin besar jika makanan ini dikonsumsi terlalu sering. Masyarakat pun perlu diedukasi untuk mulai mengurangi makanan yang digoreng dengan minyak yang digunakan berulang kali. Masyarakat mungkin sudah paham bahaya konsumsi makanan yang digoreng dengan minyak, tetapi sayangnya hanya sedikit yang menerapkannya dalam kebiasaan sehari-hari.
Bahkan, tidak jarang porsi makan kita didominasi makanan yang digoreng. Misalnya, nasi dengan ayam goreng ditambah tempe dan tahu goreng, sambal yang digoreng, serta kol atau terung goreng. Berkali-kali lipat tentu risiko kesehatannya.
Jenis minyak
Menurut Yan, mengonsumsi makanan yang digoreng dengan minyak tidak hanya pada minyak sawit, tetapi juga minyak nabati lain, seperti minyak jagung, minyak kelapa, minyak zaitun, dan minyak kanola, berbahaya. ”Pada dasarnya, semua jenis minyak nabati sangat rentan terhadap temperatur. Namun, jika dilihat dari titik asap pemanasan awal, minyak sawit yang lebih tinggi sehingga pembentukan asam lemak jenuhnya paling besar,” tuturnya.
Oleh sebab itu, masyarakat diharapkan lebih cermat dalam mengolah minyak. Terdapat beberapa minyak yang sebenarnya lebih bermanfaat jika tidak dipanaskan, seperti minyak zaitun yang biasanya digunakan untuk campuran salad. Jika memang harus menggoreng, lebih baik gunakan minyak kelapa.
Yen mengatakan, kandungan lemak tak jenuh pada minyak kelapa lebih lama terurai dibandingkan dengan minyak jenis lain. Akan tetapi, penggunaan yang berulang kali tetap tidak disarankan.
Dokter spesialis gizi klinik di RS Pondok Indah-Puri Indah, Raissa Edwina Djuanda, menyampaikan, makanan yang digoreng dengan suhu yang tinggi tidak hanya berbahaya bagi tubuh, tetapi juga menurunkan nilai gizinya. Gizi yang terkandung di dalam makanan tersebut bisa rusak sehingga ketika dikonsumsi manfaatnya tidak akan optimal untuk tubuh.
”Makanan yang digoreng apalagi dengan suhu tinggi dan lama akan rusak kandungan gizinya. Bukan berarti tidak ada sama sekali. Namun, rusak atau hilang sebagian. Apalagi, jika digoreng berulang kali, misalnya dipanaskan dengan cara digoreng kembali,” ujarnya.
Berbagai penyakit pun bisa muncul jika terlalu sering mengonsumsi makanan yang digoreng. Proses oksidasi dari pemanasan pada minyak dapat meningkat. Itu dapat mengakibatkan radikal bebas semakin meningkat sehingga berbahaya untuk tubuh. Sel-sel tubuh yang sehat bisa rusak.
”Usahakan pakai minyak baru terus dan seminimal mungkin menggoreng makanan untuk menghindari penggunaan yang diulang-ulang. Pilih cara masak lain yang lebih sehat, seperti menumis, merebus, kukus atau panggang,” kata Raissa.
Kementerian Kesehatan melalui Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 30 Tahun 2013 tentang Pencantuman Informasi Kandungan Gula, Garam, dan Lemak serta Pesan Kesehatan untuk Pangan Olahan dan Pangan Siap Saji telah mengatur batasan konsumsi gula, garam, dan minyak pada masyarakat. Konsumsi gula disarankan tidak lebih dari 50 gram atau empat sendok makan, garam tidak lebih dari 2.000 miligram atau satu sendok teh, dan lemak atau minyak tidak lebih dari 67 gram atau lima sendok makan per orang per hari.