Sepanjang 2022, ada 241 laporan tenaga kesehatan yang belum menerima insentif setelah ikut menangani pandemi Covid-19. Sebagian nakes diintimidasi, bahkan dipecat setelah menanyakan haknya.
Oleh
SEKAR GANDHAWANGI, KRISTI DWI UTAMI
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Selama 2022, tercatat ada 241 laporan tenaga kesehatan di sejumlah daerah yang belum menerima insentif penanganan pandemi Covid-19. Salah satu alasan keterlambatan pembayaran tersebut adalah karena mulai 2022, insentif dibebankan pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah atau APBD.
Demikian laporan yang dihimpun LaporCovid-19 yang disampaikan secara daring, Minggu (15/1/2023) di Jakarta. Laporan tersebut setidaknya berasal dari 18 provinsi. Provinsi dengan laporan terbanyak adalah Jawa Barat (18), Jawa Timur (14), DKI Jakarta (10), dan Jawa Tengah (4). Provinsi lainnya yang masuk dalam laporan, antara lain, Sumatera Utara, Bali, Lampung, Sumatera Barat, dan Sulawesi Utara.
Laporan didapat dari beragam fasilitas kesehatan. Laporan paling banyak dari rumah sakit swasta (43), rumah sakit milik pemerintah kota (12), rumah sakit milik pemerintah provinsi (9), dan rumah sakit milik pemerintah pusat (8). Ada juga laporan dari puskesmas dan rumah sakit lapangan.
”Kendala penyaluran insentif paling banyak adalah insentif terhenti. Ada yang sudah dibayar di 2021, tetapi belum dibayar di 2022 walau sudah didata nama (nakes) sampai rekeningnya,” kata Koordinator Advokasi LaporCovid-19 Siswo Mulyartono.
Salah satu kendala pembayaran insentif nakes adalah perubahan kebijakan. Pada 2021, insentif nakes ditanggung sepenuhnya oleh pemerintah pusat. Pada 2022, insentif nakes yang bekerja di rumah sakit milik pemerintah daerah dibebankan ke APBD.
”Kebanyakan insentif stop karena banyak alasan, misalnya pemda tidak punya uang. Padahal, itu kewajiban pemerintah untuk membayar insentif nakes,” tambah Siswo.
Laporan soal keterlambatan pembayaran insentif nakes disampaikan kepada para pemangku kepentingan terkait. LaporCovid-19 telah menyurati, antara lain, Kementerian Kesehatan, Komnas HAM, dan Ombudsman RI setiap tiga bulan. Audiensi juga dilakukan.
Kepala Biro Komunikasi dan Pelayanan Publik Kementerian Kesehatan Siti Nadia Tarmizi mengatakan, insentif nakes dibebankan ke APBD dan menjadi tanggung jawab daerah. ”Sudah ada permenkes tentang ini yang jadi kewajiban daerah,” katanya melalui pesan singkat.
Sementara itu, Kepala Dinas Kesehatan Kota Semarang M Abdul Hakam menyebut, pembayaran insentif nakes adalah kewajiban Kementerian Kesehatan. Selama ini, dinas kesehatan di kabupaten/kota hanya bertugas memverifikasi dan memvalidasi data tenaga kesehatan. ”Penyaluran dana insentif dilakukan langsung ke rekening tenaga kesehatan,” ujarnya.
Ia menambahkan, sejumlah tenaga kesehatan di Kota Semarang pernah mengadu karena belum menerima insentif. Kepada para pengadu, Hakam menjelaskan bahwa pembayaran dilakukan Kementerian Kesehatan, bukan Dinas Kesehatan Kota Semarang.
Kendala penyaluran insentif paling banyak adalah insentif terhenti. Ada yang sudah dibayar di 2021, tetapi belum dibayar di 2022 walau sudah didata nama (nakes) sampai rekeningnya.
Wiwik Dwi Pristiati dari Humas Rumah Sakit Umum Daerah KRMT Wongsonegoro Semarang mengatakan, pihak rumah sakit tidak pernah mendapatkan transfer dana untuk insentif tenaga kesehatan dari pihak mana pun, baik Kementerian Kesehatan maupun dinas kesehatan setempat. Karena itu, tidak pernah ada penyaluran dana insentif Covid-19 yang dilakukan oleh pihak rumah sakit kepada tenaga kesehatan.
”Tidak hanya satu yang tidak menerima, tapi semuanya karena memang tidak ada uang untuk itu. Kalau ada dananya, pasti ada tembusannya, ini tidak ada,” ucap Pristiati.
Di sisi lain, sebagian nakes yang mempertanyakan insentifnya terancam diintimidasi. Hal ini terjadi pada seorang nakes di Semarang, Jawa Tengah, setelah ia melapor ke LaporCovid-19.
Ia diminta mengikuti tes kelayakan perpanjangan kontrak oleh pihak RSUD KRMT Wongsonegoro Semarang, tempatnya bekerja. Nakes yang tidak disebutkan namanya itu dinyatakan tidak lolos tes. Kontrak kerjanya pun tidak diperpanjang per akhir Desember 2022.
Nakes tersebut direkrut pihak rumah sakit sebagai tenaga kontrak pada Desember 2020. Ia sempat bertugas di ruang ICU untuk pasien Covid-19, termasuk saat kasus Covid-19 varian Delta membeludak di 2021. Adapun jumlah insentif yang belum ia terima sekitar Rp 15 juta.
Pristiati mengatakan, kasus ini murni karena nakes tersebut tidak lolos uji kompetensi. Menurut Pristiati, uji kompetensi memang rutin dilakukan kepada tenaga kesehatan di rumah sakit tersebut. Tes itu meliputi tes kompetensi, tes psikologi, dan pemeriksaan kesehatan. Hasil tes itu menjadi dasar diperpanjang atau tidaknya kontrak tenaga kerja.
Perwakilan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Semarang Rizky Putra Edry menduga ada malaadministrasi di proses pemberhentian kerja nakes itu. LBH Semarang bersama nakes pelapor dan LaporCovid-19 berencana mengadukan ini ke Ombudsman Jateng.
Selain melaporkan pihak rumah sakit, Pemerintah Kota Semarang juga akan diadukan karena dianggap gagal memenuhi hak nakes. Ia menambahkan, keterlambatan pembayaran insentif tidak hanya terjadi ke satu nakes.
Hal serupa pernah dialami ribuan nakes di RSDC Wisma Atlet beberapa tahun lalu. Perwakilan Jaringan Nakes Fentia Budiman mengatakan, ia dipecat setelah memperjuangkan haknya.