Jangan Libatkan Anak dalam Perselingkuhan Orangtua
Perceraian orangtua akibat perselingkuhan memberi trauma panjang pada anak. Anak semestinya tidak dilibatkan dalam konflik orangtua. Namun, anak perlu diberi tahu alasan perceraian itu, seperlunya dan sesuai umur anak.
Perceraian akibat perselingkuhan berdampak berbeda pada anak dibandingkan sebab lain. Ayah atau ibu yang tidak setia, karakter dan penampilan selingkuhan orangtua, berapa usia anak saat perceraian terjadi, hingga anak urutan ke berapa, semua memberi trauma khas. Semenyakitkan apa pun perselingkuhan bagi orangtua, jangan libatkan anak dalam konflik orang dewasa.
Peluncuran ”Spare”, memoar Pangeran Harry (38) pada Selasa (10/1/2023) mengungkap betapa berat trauma yang dialami pemegang takhta kelima Kerajaan Britania Raya itu. Konflik dengan ayah, abang, upaya mencegah ayahnya menikahi orang yang dianggap selingkuhannya, hingga perilaku berisiko yang dijalaninya menggambarkan pahitnya hidup yang harus ia jalani.
Trauma masa kecil itu, seperti ditulis The Sydney Morning Herald, 7 Januari 2023, memiliki ekor yang panjang. Trauma itu dimulai jauh sebelum kematian sang ibu, saat anak-anak terseret dalam perselisihan orangtua. Status cadangan dalam penerus kerajaan, tuntutan bersikap sebagai keluarga kerajaan, hingga pemberitaan media memberi tekanan yang dalam bagi jiwanya.
Di Indonesia, juga ada kasus serupa. Perceraian pasangan selebritas pada 2009 memicu kehebohan karena anak-anak mereka yang masih belia justru menjadi saksi perselingkuhan sang ibu. Hingga beberapa tahun kemudian, hubungan anak dengan sang ibu dan pasangan barunya terus mengalami ketegangan.
Selama 2022, media sosial juga beberapa kali diramaikan dengan kasus penggerebekan perselingkuhan oleh pasangan sah. Tak jarang anak-anak diajak melabrak dan menyaksikan langsung penangkapan basah pelaku perselingkuhan yang notabene adalah orangtuanya. Bahkan, ada anak yang memergoki ayahnya saat bersama orang yang dianggap selingkuhannya.
Memvideokan penangkapan basah perselingkuhan itu mungkin diperlukan untuk mengajukan gugatan cerai ke pengadilan. Namun, mengunggah video itu ke media sosial untuk menjelekkan peselingkuh bisa memaparkan anak pada banyak masalah baru, mulai dari perundungan dari teman, menjadi gunjingan dan bahan olokan, hingga diungkit tetangga dan orang dewasa di sekitarnya.
”Anak sebaiknya tidak dilibatkan dalam konflik akibat perselingkuhan orangtua,” kata psikolog anak dan keluarga di Klinik Terpadu Fakultas Psikologi Universitas Indonesia Anna Surti Ariani di Jakarta, Kamis (12/1/2022).
Perselingkuhan orangtua memberi trauma berat pada anak dan sering kali melekat pada anak hingga dewasa. Banyak orangtua tidak sadar telah menjerumuskan anak dalam kepedihan yang dalam dan panjang akibat ketidakmampuan orangtua mengelola konflik rumah tangga.
Hal yang perlu disampaikan kepada anak adalah perpisahan orangtua itu tidak akan mengurangi kasih sayang orangtua pada anak.
Pada anak usia prasekolah hingga sebelum remaja, saat menemukan orangtua mereka dekat dengan laki-laki atau perempuan lain yang bukan ayah atau ibunya, anak akan bingung. Mereka juga marah, terutama saat anak diminta hormat atau sayang kepadang orang asing tersebut.
Saat anak remaja menemukan percakapan perselingkuhan orangtua di gawai, menyaksikan langsung orangtua berjalan mesra dengan orang lain yang bukan ayah atau ibunya, bahkan melihat video syur orangtua dengan selingkuhannya, akan timbul rasa kesal, marah, tidak percaya, hingga dikhianati pada anak.
”Rasa jijik juga bisa muncul karena menganggap orangtuanya tidak bisa menjaga kesetiaan, tidak berkomitmen pada keluarga, hingga dengan mudahnya mau diajak berselingkuh,” tambah Anna.
Trauma yang muncul saat anak menyaksikan langsung perselingkuhan orangtua, apalagi jika berakhir dengan perceraian, bisa membuat anak menjadi sulit percaya dengan orang lain hingga akhirnya sulit membangun hubungan romantis dan mendapat pasangan, tidak percaya dengan institusi perkawinan dan lembaga keluarga, hingga menolak menikah.
Saat anak dewasa dan akhirnya bisa membangun hubungan romantis, trauma itu membuat anak sulit percaya dengan pasangannya. Saat pasangan pulang malam atau mengobrol biasa dengan lawan jenis, langsung muncul cemburu buta, curiga, cemas, dan berpikir berlebihan. Akibatnya, hubungan yang dijalani penuh ketegangan dan pertengkaran.
Anak yang sudah dewasa dan menjadi korban perselingkuhan orangtua, menurut profesor psikologi Universitas Adelphi, New York, Amerika Serikat, cenderung mengisolasi diri dari orangtuanya karena marah dan merasa dikhianati. Kadang mereka juga enggan berurusan dengan kedua orangtuanya karena menganggap mereka sebagai orangtua toksik.
Orangtua yang seharusnya jujur, jadi panutan, dan dihormati seperti yang ditanamkan orangtua pada anaknya saat kecil, nyatanya justru menghancurkan mereka. Anak pun akan semakin sulit percaya kepada orangtua. Penghindaran itu juga dilakukan untuk menghukum orangtua yang berselingkuh serta mencegah ”sakit hati” lagi.
”Perselingkuhan orangtua menjadi salah stau sumber kerenggangan hubungan orangtua dan anak yang sulit dibicarakan,” tulisnya di The Psychology Today, 21 Januari 2021.
Kumpulan trauma itu membuat anak bisa melakukan hal-hal berisiko, mulai dari mengonsumi zat terlarang, meminum alkohol berlebihan, seks bebas, hingga melakukan berbagai pelanggaran norma. Semua dilakukan demi menutupi rasa sakit dikhianati orangtua.
Baca juga: Bukan Cinta yang Melanggengkan Pernikahan
Mengurangi trauma
Meski anak tidak perlu dilibatkan dalam konflik perselingkuhan orangtua, Anna menyarankan orangtua untuk tetap menjelaskan ke anak mengapa mereka akhirnya bercerai. Diskusi ini jauh lebih bermakna daripada orangtua berteriak histeris, memaki-maki pasangannya yang berselingkuh, atau menyalahkan pasangannya di depan anaknya.
Mengajak anak berbicara tentang perceraian orangtua ini, menurut Robert Weiss, penulis buku Out of the Doghouse: A Step-by-Step Relationship-Saving Guide for Men Caught Cheating, (2017) dalam tulisannya di The Psychology Today, 11 September 2019, penting untuk mencegah anak menyalahkan diri mereka atas ketidakharmonisan hubungan orangtua.
Sikap anak menyalahkan diri atas konflik orangtua itu bisa membawa anak pada persoalan psikologis yang rumit, mulai dari rasa bersalah, penyesalan, hingga merasa tidak layak untuk dicintai. Kondisi ini akan menurunkan harga dirinya sehingga mereka sulit membangun citra diri yang positif dan malu pada diri sendiri.
Karena itu, saat membicarakan perceraian orangtua, lanjut Weiss, perlu ditegaskan bahwa anak bukanlah penyebabnya, anak tidak bisa memperbaiki kesalahan yang sudah terjadi dan mengendalikannya. Buka juga peluang bagi anak untuk mengungkapkan perasannya, bukan diskusi satu arah. Penegasan ini penting untuk mencegah anak menyalahkan dirinya.
Anna menambahkan, hal yang perlu disampaikan kepada anak adalah perpisahan orangtua itu tidak akan mengurangi kasih sayang orangtua kepada anak. ”Kalaupun sulit disampaikan orangtua secara bersama-sama, hal ini bisa disampaikan secara terpisah,” ujarnya.
Saat memberitahukan tentang perceraian orangtua, lanjut Anna, orangtua tetap harus berkepala dingin, segetir apa pun perasaan yang harus dipendam. Penyebab perceraian bisa disampaikan tanpa perlu menjelekkan orangtua yang berselingkuh dan tetap meminta anak menghormatinya walau mungkin dianggap tidak layak.
”Bagaimanapun, orangtua yang berselingkuh tetaplah orangtua sang anak,” tambahnya. Jangan sampai anak melihat orangtuanya yang berselingkuh sebagai individu yang sangat buruk dan tidak lagi menghormatinya. Hal yang harus dibenci anak adalah perilaku perselingkuhannya, bukan orangtuanya.
Pada anak remaja atau dewasa yang menanyakan sebab perceraian, Weiss menyarankan untuk menjawab secara umum sesuai usia anak tetapi jujur, termasuk terjadinya perselingkuhan. Namun, tidak perlu membahas secara detail tentang perselingkuhan itu karena, ”Anak tidak ingin tahu tentang kehidupan seksual orang dewasa,” katanya.
Penyampaian isu perselingkuhan sebagai hal yang salah pada anak yang sudah dewasa diperlukan agar anak tahu tindakan orangtuanya tidak benar. Orangtua juga perlu menyampaikan penyesalannya atas perselingkuhan itu.
Kalaupun dalam diskusi itu muncul pertanyaan anak yang orangtua sulit menjelaskannya atau terlalu menyakitkan untuk mengungkapkannya, termasuk menerangkan perselingkuhan, maka orangtua perlu menyampaikan bahwa mereka belum bisa menjelaskan sebab perceraian. Namun, berjanjilah menceritakannya pada waktu yang tepat atau saat anak berumur tertentu.
Janji itu akan menjadi pegangan bagi anak bahwa suatu saat mereka akan mengetahui masalah yang dihadapi orangtua mereka. Namun, menunda jawaban itu juga berisiko. Jika anak justru mendapat informasi perselingkuhan itu dari gawai atau orang dewasa di sekitarnya yang ”ember”, itu akan lebih menyakitkan bagi anak karena menganggap orangtuanya tidak bisa dipercaya.
”Tidak melibatkan anak dalam perselingkuhan orangtua dan diskusi untuk menjelaskan kesalahan yang terjadi bisa meminimalkan dampak perceraian akibat perselingkuhan pada anak,” kata Anna. Jika trauma pada anak akibat perceraian dan perselingkuhan orangtua tetap sulit dihindari, mintalah bantuan pada tenaga profesional kesehatan jiwa.
Baca juga: Monogami Itu Tidak Alamiah
Jadi, jangan pernah bermain-main dengan perasaan. Perselingkuhan tidak hanya menimbulkan tekanan pada pasangan, tetapi juga anak yang tidak tahu persoalan orangtua. Manusia memang tidak bisa menentukan dengan siapa dan kapan akan jatuh cinta, tetapi manusia bisa menentukan dengan siapa mereka akan menjalin hubungan romantis.
Jatuh cinta itu memang buta, tetapi membangun relasi romantis itu logis.