Studi terbaru menunjukkan bakteri usus memengaruhi perilaku sel kekebalan di seluruh tubuh. Temuan ini membuka kemungkinan pembentukan kembali mikrobioma usus sebagai cara untuk mencegah atau mengobati degenerasi saraf.
Oleh
PRADIPTA PANDU
·3 menit baca
Telah banyak bukti yang menunjukkan puluhan triliun mikroba yang hidup di usus memiliki efek luas pada fungsi tubuh seseorang. Sebuah hasil studi terbaru menunjukkan bahwa mikrobioma usus ini juga memainkan peran kunci dalam kesehatan otak kita.
Studi tentang mikrobioma di usus yang memengaruhi kesehatan otak ini dilakukan oleh para peneliti dari Washington University School of Medicine, Amerika Serikat. Laporan lengkap studi ini telah diterbitkan di jurnal Science, Jumat (13/1/2023).
Studi yang dilakukan pada tikus ini menemukan bahwa bakteri usus memengaruhi perilaku sel kekebalan di seluruh tubuh.Temuan ini membuka kemungkinan pembentukan kembali mikrobioma usus sebagai cara untuk mencegah atau mengobati degenerasi saraf.
Salah satu penulis studi ini, David M Holtzman, mengatakan, para peneliti memberi tikus muda antibiotik hanya selama seminggu.Setelah itu, peneliti melihat perubahan permanen pada mikrobioma usus tikus, respons kekebalan, dan jumlah neurodegenerasi terkait dengan protein yang dialami seiring bertambahnya usia.
”Hal yang menarik adalah memanipulasi mikrobioma usus bisa menjadi cara untuk memberi efek pada otak tanpa memasukkan apa pun langsung ke otak tersebut,” ujarnya dikutip dari situs resmi Washington University School of Medicine, Jumat.
Berbagai bukti saintis menunjukkan bahwa mikrobioma usus penderita penyakit alzheimer dapat berbeda dari orang sehat. Namun, sampai sekarang belum diketahui apakah perbedaan mikrobioma usus ini merupakan penyebab atau akibat dari penyakit alzheimer.
Guna menentukan perandari bakteri ini, para peneliti mengubah mikrobioma usus tikus yang cenderung mengalami kerusakan otak dan gangguan kognitif seperti alzheimer. Tikus itu dimodifikasi secara genetik untuk mengekspresikan bentuk mutan dari protein otak manusia yang menumpuk dan menyebabkan kerusakan neuron serta atrofi otak.
Hasil studi menawarkan wawasan penting terkait peran mikrobioma dalam memengaruhi degenerasi saraf. Terapi yang mengubah mikroba usus juga dapat memengaruhi timbulnya atau perkembangan gangguan neurodegeneratif.
Tikus tersebut juga membawa varian gen APOE manusia yang menjadi faktor risiko genetik utama untuk alzheimer. Secara umum, orang dengan satu salinan varian APOE4 tercatat tiga sampai empat kali lebih berpotensi terkena alzheimer dibandingkan orang dengan varian APOE3.
Tikus yang dimodifikasi secara genetik dan dibesarkan dalam kondisi steril sejak lahirtidak memperoleh mikrobioma usus. Otak mereka juga menunjukkan kerusakan yang jauh lebih sedikit pada usia 40 minggu daripada otak tikus yang menyimpan mikrobioma tikus normal.
”Dari studi tumor otak, kami sudah mengetahui bahwa sel-sel kekebalan pada otak laki-laki dan perempuan merespons sangat berbeda terhadap rangsangan. Jadi tidak terlalu mengejutkan bahwa kami melihat perbedaan jenis kelamin saat memanipulasi mikrobioma,” kata Holtzman.
Studi lanjutan pun diperlukan untuk menjawab pertanyaan para peneliti terkait kemungkinan memperlambat atau mencegah degenerasi saraf dengan memanipulasi mikrobioma. Pengujian pada manusia pun diyakini bisa dilakukan bila terbukti pengobatan ini berhasil pada model hewan.
Direktur Program di National Institute of Neurological Disordersdan Stroke (NINDS)Linda McGavern menuturkan, hasil studi menawarkan wawasan penting terkait peran mikrobioma dalam memengaruhi degenerasi saraf. Terapi yang mengubah mikroba usus juga dapat memengaruhi timbulnya atau perkembangan gangguan neurodegeneratif.
Selain itu, temuan ini juga menyarankan pendekatan baru untuk mencegah dan mengobati penyakit neurodegeneratif dengan memodifikasi mikrobioma usus melalui antibiotik, probiotik, diet khusus, ataupun cara lainnya.