Jamur di Usus Pengaruhi Kesehatan dan Penyakit Manusia
Menurut penelitian, jamur dapat berkembang di usus yang sehat. Akan tetapi, jamur juga dapat menyebabkan kerusakan usus yang dapat menyebabkan penyakit radang usus.
Oleh
PRADIPTA PANDU
·3 menit baca
Peran bakteri untuk kesehatan usus telah menjadi perhatian bagi kalangan dokter dan ilmuwan dalam beberapa tahun terakhir. Namun, studi terbaru yang dilakukan peneliti di University of Utah Health, Amerika Serikat, menunjukkan, jamur yang hidup di usus manusia juga dapat memengaruhi kesehatan dan penyakit seseorang.
Menurut hasil studi yang terbit di jurnal Nature, 14 Juli 2021, jamur dapat berkembang di usus yang sehat. Akan tetapi, jamur juga dapat menyebabkan kerusakan usus yang dapat menyebabkan penyakit radang usus atau inflammatory bowel disease (IBD).
Dari percobaan yang dilakukan pada tikus, sistem kekebalan tubuh yang baik akan menjaga pertumbuhan jamur di usus tetap terkendali. Namun ketika sistem tubuh tidak seimbang, serangan penyakit lebih mungkin terjadi.
June Round, profesor patologi di University of Utah Health sekaligus penulis laporan studi tersebut, menjelaskan, jumlah jamur di usus masih lebih sedikit dibandingkan bakteri. Hal ini menjadi salah satu alasan penelitian terkait jamur di usus belum banyak dilakukan.
”Alat dan teknologi yang berkembang saat ini juga memungkinkan dilakukannya penelitian untuk mengungkap peran jamur di usus. Penelitian ini menambah salah satu unsur penting untuk menjelaskan gambaran tentang tubuh manusia yang lebih besar,” ujarnya dikutip dari situs resmi University of Utah Health, Jumat (16/7/2021).
Penelitian ini menambah salah satu unsur penting untuk menjelaskan gambaran tentang tubuh manusia yang lebih besar. (June Round)
Round dan timnya tertarik melakukan penelitian ini setelah mencatat bahwa tes medis umum untuk mendiagnosis penyakit crohn atau radang usus sejenis IBD dapat dilakukan dengan mendeteksi antibodi terhadap jamur. Namun, eksplorasi mendalam belum banyak dilakukan untuk mengungkap bagaimana antibodi memengaruhi jamur pada penyakit itu.
Untuk menggali lebih dalam, tim peneliti mencari pemicu respons imun yang dilakukan dengan mengambil sampel pasien dan mengujinya pada tikus. Mereka menemukan bahwa ragi atau jamur mikroskopis jenis Candida albicans—salah satu spesies utama jamur di usus manusia—menimbulkan respons imun terkuat.
Penyelidikan lebih lanjut menunjukkan bahwa antibodi memusatkan perhatian pada jenis sel jamur memanjang yang disebut hifa. Jenis sel jamur ini secara khusus mengikat protein adhesin yang membantu mikroba menempel pada permukaan dan menjadi invasif.
Dengan rangkaian skema tersebut, para peneliti dapat menyelidiki peran jamur dalam kesehatan usus. Mereka menemukan bahwa tikus yang diisi dengan ragi dalam keadaan normal dan bulat tetap sehat. Sebaliknya, tikus yang diisi dengan Candida dalam bentuk invasifnya menyebabkan kerusakan usus yang menyerupai IBD.
Dengan kata lain, hasil penelitian menunjukkan bahwa respons antibodi normal dalam usus menghambat penyakit dengan mengenali bentuk hifa jamur yang berbahaya.
Selain itu, para peneliti juga menemukan bahwa vaksin yang tengah dikembangkan sebagai obat untuk infeksi jamur dapat memicu reaksi kekebalan terhadap protein adhesin yang mirip dengan reaksi pada pasien crohn. Ketika diinokulasi dengan vaksin, tikus yang biasanya rentan menderita IBD lebih kecil kemungkinannya untuk terserang penyakit.
Saat ini, para peneliti sedang menyelidiki apakah vaksin tersebut dapat membantu mengurangi IBD pada manusia. Penelitian lanjutan ini juga bertujuan mengetahui apakah pendekatan yang sama dapat diterapkan untuk membentuk komunitas mikroba lain di usus.
Selain berimplikasi pada penyakit, temuan ini juga menunjukkan kemungkinan peran penting jamur untuk menjaga usus tetap sehat. Pada dasarnya, sistem kekebalan dalam tubuh manusia bertugas membersihkan infeksi dengan menyingkirkan organisme invasif. Dalam hal ini, jamur mendapat manfaat dari interaksinya dengan antibodi hingga meningkatkan kelangsungan hidup mereka di usus.
”Sistem kekebalan membatasi Candida pada bentuk yang paling tidak patogen. Ini menunjukkan kepada kita bahwa komunikasi antara inang dan mikroba bisa saling menguntungkan,” kata Kyla Ost, peneliti postdoctoral di laboratorium Round sekaligus penulis utama studi tersebut.