Konsumsi makanan cepat saji dikaitkan dengan penyakit perlemakan hati non-alkoholik, yaitu spektrum penyakit yang ditandai oleh steatosis hati yang dapat menyebabkan kanker atau gagal hati.
Oleh
AHMAD ARIF
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Banyak studi yang telah menunjukkan dampak buruk makanan cepat saji bagi kesehatan. Laporan studi terbaru menambahkan dampak buruk makanan cepat saji, yakni dikaitkan dengan penyakit perlemakan hati non-alkoholik, yaitu spektrum penyakit yang ditandai oleh steatosis hati yang dapat menyebabkan kanker ataupun gagal hati.
Studi dari para peneliti Keck Medicine of USC ini diterbitkan Selasa (10/1/2023) di Clinical Gastroenterology and Hepatology. Riset menekankan pentingnya mengurangi konsumsi cepat saji, terutama bagi mereka yang obesitas atau diabetes.
Para peneliti menemukan bahwa orang dengan obesitas atau diabetes yang mengonsumsi 20 persen atau lebih kalori harian mereka dari makanan cepat saji memiliki kadar lemak sangat tinggi di hati dibandingkan mereka yang mengonsumsi lebih sedikit atau tidak mengonsumsi makanan cepat saji. Populasi umum akan mengalami peningkatan lemak hati sedang ketika seperlima atau lebih dari diet mereka berasal dari makanan cepat saji.
”Hati yang sehat mengandung sedikit lemak, biasanya kurang dari 5 persen. Bahkan, peningkatan lemak dalam jumlah sedang dapat menyebabkan penyakit perlemakan hati non-alkoholik (non-alcoholic fatty liver disease/NAFLD),” kata Ani Kardashian, ahli hepatologi dari Keck Medicine dan penulis utama studi tersebut.
Riset ini juga ditulis Jennifer Dodge, asisten profesor penelitian kedokteran dan populasi dan ilmu kesehatan masyarakat di Keck School of Medicine of USC dan Norah Terrault, ahli gastroenterologi Keck Medicine.
Jika orang makan satu kali sehari di restoran cepat saji, mereka mungkin berpikir masih aman. Namun, jika satu kali makan itu sama dengan seperlima dari kalori harian mereka, hal itu membahayakan hati mereka.
Menurut para peneliti, peningkatan lemak hati yang parah pada mereka yang obesitas atau diabetes terjadi sangat mencolok. ”Fakta ini menunjukkan bahwa kondisi ini (obesitas dan diabetes) memiliki kerentanan yang lebih besar untuk menumpuk lemak di hati,” kata Kardhasian.
Sementara penelitian sebelumnya telah menunjukkan hubungan antara makanan cepat saji dan obesitas dan diabetes, ini merupakan salah satu studi pertama yang menunjukkan dampak negatif dari makanan cepat saji pada kesehatan hati.
Temuan ini juga mengungkapkan bahwa makanan cepat saji dalam jumlah relatif kecil, tetapi tinggi karbohidrat dan lemak, juga dapat merusak hati. ”Jika orang makan satu kali sehari di restoran cepat saji, mereka mungkin berpikir masih aman. Namun, jika satu kali makan itu sama dengan seperlima dari kalori harian mereka, hal itu juga membahayakan hati mereka,” ungkap Kardashian.
Penyakit perlemakan hati non-alkoholik, juga dikenal sebagai steatosis hati, dapat menyebabkan sirosis atau jaringan parut pada hati, yang bisa memicu kanker atau gagal hati. Steatosis hati saat ini memengaruhi lebih dari 30 persen populasi Amerika Serikat (AS), yang diketahui memiliki konsumsi makanan cepat saji sangat tinggi.
Kardashian dan rekannya kemudian menganalisis data terbaru dari survei nutrisi tahunan terbesar di AS, Survei Pemeriksaan Kesehatan dan Gizi Nasional 2017-2018, untuk menentukan dampak konsumsi makanan cepat saji pada steatosis hati.
Cenderung meningkat
Dalam studi ini, sejumlah makanan cepat saji yang dianalisis termasuk piza. Para peneliti kemudian mengevaluasi pengukuran perlemakan hati dari sekitar 4.000 orang dewasa yang pengukuran perlemakan hati mereka dimasukkan dalam survei dan membandingkan pengukuran ini dengan konsumsi makanan cepat saji mereka.
Dari mereka yang disurvei, 52 persen mengonsumsi makanan cepat saji. Dari jumlah itu, 29 persen mengonsumsi seperlima atau lebih kalori harian dari makanan cepat saji. Ditemukan sebanyak 29 persen subyek survei ini yang mengalami peningkatan kadar lemak hati.
Hubungan antara steatosis hati dan diet 20 persen makanan cepat saji tetap stabil untuk populasi umum dan orang dengan obesitas atau diabetes, bahkan setelah data disesuaikan dengan beberapa faktor lain, seperti usia, jenis kelamin, ras, etnis, penggunaan alkohol, dan aktivitas fisik.
”Temuan kami sangat mengkhawatirkan karena konsumsi makanan cepat saji telah meningkat dalam 50 tahun terakhir, tanpa memandang status sosial ekonomi,” kata Kardashian.
”Kami juga melihat lonjakan substansial dalam santapan cepat saji selama pandemi Covid-19, yang mungkin terkait dengan penurunan santapan restoran dengan layanan lengkap dan meningkatnya tingkat kerawanan pangan. Kami khawatir jumlah mereka yang memiliki hati berlemak telah meningkat lebih banyak lagi sejak survei dilakukan,” ujarnya.
Dia berharap riset ini akan mendorong penyedia layanan kesehatan untuk menawarkan lebih banyak pendidikan nutrisi kepada pasien, terutama bagi mereka yang obesitas atau diabetes yang berisiko lebih tinggi terkena perlemakan hati dari makanan cepat saji. Saat ini, satu-satunya cara untuk mengobati steatosis hati adalah melalui pola makan yang lebih baik.