Rumah dan Ingatan Soedjatmoko, Beberapa Dekade Kemudian…
Ratusan arsip milik pemikir Soedjatmoko (1922-1989) selama ini tersimpan rapi di rumahnya yang ada di kawasan Menteng. Arsip itu menggambarkan dinamika sejarah di masa lalu.
Oleh
SEKAR GANDHAWANGI
·4 menit baca
Terjaganya ratusan arsip berusia puluhan tahun di kediaman Soedjatmoko (1922-1989) tidak lepas dari peran istrinya, Ratmini Gandasubrata (1925-2022), yang rajin merapikan arsip dan menyimpannya. Di antara arsip itu ada surat dengan tokoh negara pasca-kemerdekaan serta gagasannya soal politik dan kebudayaan. Arsip-arsip tersebut dikeluarkan dari lemari dan kini dipamerkan ke publik.
Pameran bertajuk ”Membaca Soedjatmoko dari Rumah dan Ingatan” digelar di rumah Soedjatmoko yang ada di kawasan Menteng, Jakarta Pusat. Pameran berlangsung pada 10-14 Januari 2023. Publik bisa berkunjung setelah mendaftarkan diri secara daring.
Kurator pameran, Esha Tegar Putra, mengatakan, ada lebih dari 250 arsip yang dipamerkan. Arsip ini belum termasuk foto-foto, rekaman suara, dan kutipan Soedjatmoko.
Arsip yang dipamerkan baru sebagian. Saking banyaknya arsip Soedjatmoko, Esha dan tim kesulitan merumuskan arsip yang mau dipamerkan. Ia terbantu karena arsip Soedjatmoko tersusun rapi.
Rumah dan arsip menjadi bagian tak terpisahkan dalam menjabarkan kisah Soedjatmoko. Rumah itu bisa dikatakan fragmen sejarah Indonesia. Dulu, rumah itu kerap didatangi banyak pihak untuk berdiskusi, termasuk Soe Hok Gie.
Sebagai arsip pribadi, koleksi Soedjatmoko bisa dibilang lengkap. Aktivis HAM sekaligus putri Soedjatmoko, Kamala Chandrakirana, mengatakan, bapaknya suka menyimpan barang, sementara ibunya rajin berbenah. Ibunyalah yang menata arsip sesuai kategori dan menyimpannya di lemari. Arsip dari tahun 1940-an hingga 1980-an pun terpelihara walau sempat mendekam di lemari bertahun-tahun lamanya.
Esha mengatakan, arsip dari periode 1940-1960-an menjadi salah satu sorotan pameran. Sebab, Soedjatmoko melanglang buana ke banyak tempat di era itu. Soedjatmoko juga berkontak dengan banyak pihak.
”Kami sampai butuh teman-teman sejarawan untuk mengonfirmasi itu siapa, di mana, dan kapan,” kata Esha di Jakarta, Senin (9/1/2023).
Adapun Soedjatmoko semasa hidup dikenal sebagai wartawan, pemikir, dan diplomat andal. Saat usianya 25 tahun, Soedjatmoko (yang kerap dipanggil Bung Koko) menjadi salah satu perwakilan Indonesia di sidang Dewan Keamanan PBB pada 1947. Ia hadir bersama Sutan Sjahrir, H Agus Salim, Sumitro, dan Ch Thambu.
Pada usia 45 tahun, Soedjatmoko ditunjuk menjadi anggota tim Delegasi Indonesia pada Sidang Umum PBB. Setelah Indonesia resmi jadi anggota PBB, Soedjatmoko menjadi Deputi Kepala Perwakilan tetap Indonesia di PBB, merangkap jabatan sebagai konselor politik di kedutaan besar di AS (Kompas, 24/10/1966).
Esha menambahkan, rumah dan arsip menjadi bagian tak terpisahkan dalam menjabarkan kisah Soedjatmoko. Rumah itu bisa dikatakan fragmen sejarah Indonesia. Dulu, rumah itu kerap didatangi banyak pihak untuk berdiskusi, termasuk Soe Hok Gie.
Arsip itu juga menggambarkan pemikiran luas Soedjatmoko. Tidak hanya soal diplomasi luar negeri, ia juga menaruh perhatian pada pendidikan, kesehatan anak, hingga kebudayaan.
”Ada surat bapak dengan guru SMA-nya juga. Bapak dulu salah satu anak kesayangan guru itu. Setelah pulang sekolah, beliau mengajak anak-anak yang berprestasi ke rumahnya, lalu diajak mendengar lagu klasik dengan gramofon. Mereka juga diajarkan sejarah seni,” kata Kamala di Jakarta, Selasa (10/1/2023).
Berkat pengalaman itu, Soedjatmoko kecil jadi punya wawasan lain soal Barat. Eropa tidak lagi sekadar penjajah, tetapi juga bangsa yang punya peradaban besar. Soedjatmoko kerap bersurat dengan gurunya dari tahun 1940-an hingga sang guru wafat.
Kondisi sosial politik
Ada pula surat-surat Soedjatmoko dengan Sutan Sjahrir dan Soebadio Sastrosatomo pada periode 1962-1965. Itu adalah masa ketika Sjahrir dan anggota Partai Sosialis Indonesia (PSI) ditahan tanpa peradilan oleh pemerintah.
Ada beberapa tokoh PSI dan Masyumi yang ditangkap pada 16 Januari 1962, antara lain Sjahrir, Anak Agung Gde Agung, Soebadio, dan Mohammad Roem. Mereka dituduh terlibat rencana pembunuhan Presiden Soekarno saat berkunjung ke Makassar pada 7 Januari 1962.
Selama penahanan, Soedjatmoko mengabarkan kondisi politik negara dan kebijakan-kebijakan Soekarno melalui surat. Beberapa suratnya berisi tentang penolakan Soekarno pada pembentukan Federasi Malaysia, sikap Indonesia terhadap Perang Dingin. Ada pula pemikiran Soedjatmoko terhadap dampak ekonomi dan politik dari hubungan Indonesia dengan Malaysia saat itu.
”Arsip-arsip ini seperti menggambarkan era yang sudah berlalu, baik dari conversation atau bahasanya. Arsip juga menggambarkan era sosial politik saat itu. Ini diharapkan menggugah ingatan akan sejarah kita sendiri,” tutur Kamala.
Menurut Direktur Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Hilmar Farid, kesadaran keluarga untuk menyimpan arsip patut diapresiasi. Arsip tersebut dapat menjadi referensi untuk memahami sejarah bangsa, khususnya bagi generasi muda.
”Kita dapat memahami dinamika sejarah dengan lebih baik. kadang, dokumen formal tidak mencerminkan dinamika itu,” kata Hilmar.
Ia mendorong agar arsip-arsip itu dapat dikomunikasikan ke publik. Untuk itu, kerja sama dengan pekerja kreatif muda perlu dijalin. Dengan demikian, narasi pada arsip dapat disampaikan secara tepat ke anak muda.