Mengapa Gempa M 7,5 di Laut Tidak Memicu Tsunami Besar
Meskipun magnitudonya kuat, pusat gempa M 7,5 yang dalam membuat gempa pada Selasa (10/1/2023) dini hari di sekitar Laut Banda tidak memicu tsunami besar.
Gempa bumi M 7,5 berpusat di laut mengguncang Kabupaten Kepulauan Tanimbar, Maluku, Selasa (10/1/2023) pukul 00.47 WIB, sempat memicu peringatan dini tsunami. Meskipun magnitudonya kuat, pusat gempa yang dalam membuat deformasi di lantai samudra ini tidak bisa memicu tsunami besar hingga peringatan dini diakhiri.
Gempa ini awalnya dilaporkan Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika berkekuatan M 7,9 dengan pusat di laut sekitar 136 kilometer arah barat laut Maluku Tenggara Barat. Adapun hiposentrum di kedalaman 131 km. Secara otomatis, BMKG kemudian menjalankan pemodelan dan hasilnya menunjukkan adanya potensi tsunami.
Kepala Pusat Gempa Bumi dan Tsunami BMKG Daryono mengatakan, lima menit setelah gempa atau pukul 00.52, BMKG menerbitkan peringatan dini tsunami dengan tingkat ancaman Siaga dan Waspada untuk Kepulauan Tanimbar dan sekitarnya.
Status Waspada dikeluarkan berdasarkan perkiraan ketinggian tsunami kurang dari 50 sentimeter atau sekitar 0,5 meter. Status ini dikeluarkan ketika diestimasi potensi tsunami akan terjadi dengan ketinggian 0,5 meter hingga sekitar 3 meter.
Ketika data dari seismometer semakin banyak, BMKG akhirnya mengoreksi kekuatan gempa menjadi M 7,5 dan kedalaman 130 km. Pemodelan yang dilakukan berdasarkan parameter terbaru ini menunjukkan tidak adanya potensi tsunami. Peringatan dini tsunami kemudian diakhiri pada pukul 03.43.
Berdasarkan laporan Badan Informasi Geospasial (BIG), terdeteksi tsunami kecil, sekitar 9 cm di Stasiun Seira pada pukul 01.26. Tsunami dengan ketinggian 5 cm juga terdeteksi di Stasiun Larat pukul 01.30. Namun, ketinggian tsunami ini dinilai tidak signifikan berdampak di pantai.
Syarat tsunami
Ketua Ikatan Ahli Tsunami Indonesia (IATSI) Gegar Prasetyo mengatakan, peringatan dini tsunami ini sebenarnya tidak perlu dikeluarkan jika parameter awal gempa yang diidentifikasi BMKG tidak overestimate dan aspek kedalaman gempa diperhitungkan. ”Sejak awal saya memantau informasi gempa dari IRIS (Incorporated Research Institutions for Seismology) kekuatannya M 7,6 dengan kedalaman 105 km,” katanya.
Menurut Gegar, baik IRIS maupun USGS tidak mengeluarkan peringatan dini tsunami karena salah satu parameter gempanya dianggap tidak memenuhi syarat terjadinya tsunami. Hal itu karena kedalaman gempa di atas 100 km dengan kekuatan itu dinilai kecil kemungkinan memicu tsunami.
”Treshold tsunami generation (ambang batas pemicu tsunami) untuk peringatan dini seharusnya jika gempa M 6,8-7 atau lebih dengan kedalaman kurang dari 20 km. Salah satu tidak dipenuhi masuknya ke kategori advisory bukan warning,” kata Gegar.
Menurut Gegar, di luar parameter ini, tsunami bisa dipicu juga oleh longsoran bawah laut akibat guncangan gempa. ”Kalaupun ada longsoran, tsunami yang ditimbulkannya bersifat lokal saja karena tsunami akibat longsoran sifatnya dispersif,” katanya.
Mengenai tsunami kecil yang terdeteksi BIG, menurut Gegar, hal itu bisa karena efek getaran gempa. ”Setiap gangguan di laut pasti akan memicu gelombang, bisa juga karena dampak getaran langsung gempanya. Namun, untuk level peringatan dini tsunami seharusnya dikeluarkan untuk sesuatu yang membahayakan,” katanya.
Ahli gempa dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Widjo Kongko, juga mengatakan, tsunami bisa terjadi karena kombinasi magnitudo dan kedalaman pusat gempa. Semakin besar magnitudonya dan semakin dangkal pusatnya, maka semakin tinggi potensinya untuk menghasilkan tsunami yang besar. ”Gempa dengan kekuatan M 7-7,5 sebenarnya bisa memicu tsunami jika kedalamannya 50-100 km,” katanya.
Baca juga: Gempa M 7,5 di Maluku Tidak Memicu Tsunami
Bukan gempa subduksi
Sekalipun gempa kali ini tidak memicu tsunami besar, zona kegempaan di kawasan ini memiliki sejarah pernah dilanda tsunami dahsyat. Dalam katalog tsunami Badan Atmosfer dan Kelautan Nasional (NOAA) Amerika Serikat, gempa bersumber dari zona megathrust Laut Banda pernah memicu tsunami dahsyat hingga Ambon dan Pulau Seram pada 17 Februari 1674.
Dalam katalog disebut, ketinggian tsunami hingga 80 meter itu terjadi di Hila dan Lima, Pulau Ambon. Kejadian tsunami itu tercatat dalam buku Amboina yang ditulis naturalis kolonial, Georg Everhard Rumphius, tahun 1675. Menurut Rumphius, petaka itu menewaskan 2.322 orang di Pulau Ambon dan Seram, termasuk istri dan salah satu anak perempuannya.
Selain gempa dan tsunami tahun 1674, pada 1 Agustus 1629 juga terekam gempa dan tsunami besar di zona megathrust itu sebagaimana tercatat dalam katalog Arthur Wichmann (1918).
Tsunami dahsyat di masa lalu, seperti tsunami Banda pada 1674 dan tsunami Aceh 2004, umumnya dipicu gempa yang berpusat di zona subduksi atau tumbukan lempeng. Selain itu, tsunami besar juga biasanya juga dipicu oleh patahan di laut, seperti terjadi dengan tsunami Flores 1992.
Ahli gempa Institut Teknologi Bandung (ITB), Irwan Meilano, mengatakan, gempa yang terjadi di Maluku kali ini tidak terjadi di zona subduksi ataupun patahan. ”Gempa kali ini terjadi di lengan lempeng Banda yang robek, bukan di zona pertemuan lempeng,” katanya.
Irwan mengatakan, selama ini kita lebih banyak meneliti gempa dan tsunami yang bersumber subduksi dan patahan. Namun, kejadian ini memberi pelajaran penting untuk memahami implikasi dari gempa-gempa dari sumber lain, termasuk di lengan lempeng yang ternyata juga bisa memicu gempa besar.
Menurut Irwan, gempa kali ini lebih mirip dengan kejadian gempa pada tahun 1938 dan 1852 yang juga terjadi di lengan lempeng Laut Banda. Gempa Laut Banda tahun 1852, tepatnya pada 26 November pukul 07.40 waktu setempat, memicu tsunami hingga 8 meter yang melanda Banda Neira, Saparua, Haruku, dan Seram. Tsunami menyebabkan kerusakan besar, menghanyutkan banyak desa, kapal, dan penduduk. Setidaknya 60 orang tewas dalam gempa dan tsunami tersebut.
Semakin besar magnitudonya dan semakin dangkal pusatnya, maka semakin tinggi potensinya untuk menghasilkan tsunami yang besar.
Paper yang ditulis Irwan, dengan penulis pertama ahli gempa dari Australia, Phil Cummins, di Nature Geosciences (2020), menyebutkan, gempa pada tahun 1852 tidak terjadi pada patahan megathrust, tetapi patahan normal dangkal di Laut Banda.
”Saya bisa memahami mengapa BMKG kali ini mengeluarkan peringatan dini tsunami karena dituntut bisa rilis dalam waktu cepat. Sumber gempa di laut dengan magnitudo yang besar menjadi acuannya,” katanya.
Namun, jika kedalaman pusat gempa juga diperhitungkan, potensi tsunami dari gempa ini jadi kecil. ”Idealnya estimasi cepat juga akurat. Tren riset ke depan ke sana sehingga kualitas peringatan dini akan terus membaik,” kata Irwan.
Lepas dari peringatan dini tsunami yang overestimate, gempa kali ini memberi kesempatan untuk berbenah. Menurut laporan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) pada Selasa sore, gempa ini menyebabkan 92 rumah warga di Kabupaten Kepulauan Tanimbar rusak. Delapan tempat tinggal di antaranya mengalami kerusakan berat, 4 rusak sedang, dan 80 rusak ringan. Selain tempat tinggal, sejumlah fasilitas umum juga rusak, seperti kantor bupati, dan dua fasilitas pendidikan.
Di Kabupaten Maluku Barat Daya, sebanyak 9 rumah warga rusak berat, sedangkan 23 rumah lainnya rusak ringan. Selain itu, 2 fasilitas pendidikan mengalami rusak berat. Sebagian besar kerusakan di daerah ini berada di Desa Watuwei dan Letmasa, Kecamatan Dawelor Dawera.
Pelaksana Tugas Kepala Pusat Data, Informasi, dan Komunikasi Kebencanaan Laporan BNPB Abdul Muhari mengatakan, sejauh ini belum ada laporan korban jiwa. Hanya ada satu warga Dusun Romnus, Tanimbar Selatan, yang mengalami luka-luka. ”BPBD setempat masih melakukan pendataan di lokasi terdampak,” katanya.
Baca juga: Gempa M 7,5 di Maluku Memicu Kerusakan Bangunan
Kerusakan yang terjadi ini lebih karena dampak guncangan gempa. Kerusakan bisa saja lebih hebat jika gempa ini terjadi di sumber lebih dangkal di zona megathrust Laut Banda yang dalam sejarah telah memicu tsunami besar.