Gelontoran informasi di tahun politik menjadi sumber pemberitaan yang melimpah bagi media massa. Namun, hal ini sekaligus tantangan bagi media dalam menyajikan informasi yang kredibel dan tetap menjunjung independensi.
Oleh
TATANG MULYANA SINAGA
·5 menit baca
Kontestasi politik kerap disertai banjir informasi. Namun, tidak sedikit informasi yang berseliweran itu justru kurang valid dan menyesatkan. Hal ini menjadi tantangan bagi media massa dalam memverifikasi informasi tersebut dengan ketat sehingga bisa menjaga kepercayaan publik sebagai referensi terpercaya di tahun politik menjelang pemilu serentak 2024.
Jika berkaca dari pentas politik di tahun sebelumnya, media sosial sering dijadikan kubangan untuk menumpahkan disinformasi atau hoaks. Namun, tak sedikit masyarakat langsung memercayainya tanpa terlebih dahulu menguji kebenarannya.
Media diharapkan tidak tergiur mengutip informasi sebelum memverifikasinya. Sebab, tak jarang nafsu untuk mengejar kecepatan menyampaikan informasi justru ”menabrak” kode etik jurnalistik (KEJ) sebagai rambu-rambu dalam kerja jurnalistik.
Selain itu, independensi menjadi keniscayaan agar media tidak tersandera kepentingan politik tertentu. Dengan begitu, media tetap leluasa memproduksi berita tanpa perlu memihak salah satu pihak yang berkontestasi.
”Kepercayaan publik menjadi hal penting. Ketika media atau jurnalis membuat berita tidak sesuai KEJ atau partisan, yang dirugikan tidak hanya masyarakat, tetapi media itu sendiri,” ujar Ketua Komisi Pengaduan dan Penegakan Etika Pers Dewan Pers Yadi Hendriana di Jakarta, Jumat (6/1/2023).
Yadi mengatakan, saat media berafiliasi dengan kelompok atau pilihan politik tertentu, masyarakat dengan pilihan politik berbeda berpotensi untuk tidak membaca atau mengakses pemberitaan media tersebut. Hal ini perlu menjadi catatan penting karena independensi wartawan diatur jelas dalam KEJ.
”Ketika media atau jurnalis berafiliasi atau berpihak dominan (pada kepentingan politik), sama saja membunuh medianya sendiri. Sebab, publik tidak percaya dengan berita yang disampaikan karena konotasinya pada kepentingan kelompok tertentu,” ujarnya.
Dewan Pers mengingatkan agar jurnalis yang terjun dalam politik praktis, seperti menjadi calon legislatif dan simpatisan partai politik, untuk cuti atau nonaktif dari tugas jurnalistik. Hal ini sangat diperlukan agar media dapat menghasilkan berita yang akurat dan berimbang.
Dewan Pers juga akan membentuk satuan tugas pengaduan terkait pemberitaan pemilu. Pembentukan satgas ini bekerja sama dengan Komisi Pemilihan Umum (KPU), Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), dan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI).
”Jika ada aduan masyarakat terkait berita menyangkut pemilu, bisa diarahkan ke sini. Selanjutnya, kami akan menyampaikan rekomendasi kepada Bawaslu,” ujarnya.
Intervensi
Potensi intervensi pemberitaan tidak hanya bisa datang dari wartawan, tetapi juga pemilik media. Apalagi sejumlah media di Indonesia dimiliki oleh ketua umum partai politik.
Namun, menurut Yadi, belum ada afiliasi secara langsung antara media dengan parpol tertentu. ”Bahwa pribadinya sebagai ketua partai, itu tidak bisa dimungkiri dan hak pribadi. Begitu medianya 100 persen berkaitan dengan hal tersebut (kepentingan parpol), tentu akan menjadi pelanggaran,” katanya.
Potensi intervensi pemberitaan tidak hanya bisa datang dari wartawan, tetapi juga pemilik media. Apalagi sejumlah media di Indonesia dimiliki oleh ketua umum partai politik.
Salah satu masalah kehidupan pers di Tanah Air adalah intervensi kepentingan pemilik media, termasuk kepentingan politik. Hal ini berpotensi memengaruhi kebijakan redaksional.
”Pemilik media punya kepentingan itu sesuatu yang sulit dihindari. Namun, mengatakan jika pemilik (media) tidak punya kepentingan juga bertentangan dengan kebenaran,” ujar Ketua Dewan Pers Periode 2010-2013 dan 2013-2016, Bagir Manan, di Jakarta, November lalu.
Menurut Bagir, pemilik media seharusnya menjadi seorang demokrat. Dengan begitu, meskipun punya kepentingan, ia diharapkan tidak melanggar prinsip-prinsip demokrasi dengan mengintervensi kebijakan media miliknya.
Meskipun informasi di media sosial bukan ranah Dewan Pers, Yadi mengingatkan peran media sangat penting dalam mengedukasi warga agar tidak mudah terhasut informasi di dunia maya. Sebab, informasi yang diterima masyarakat bisa saja salah.
Media dapat menjadi referensi masyarakat untuk mengakses informasi yang kredibel. ”Ketika mendapat informasi dari media sosial, sudah pasti perlu dikaji lebih lanjut kebenarannya,” ujarnya.
Selain itu, saat informasi di media sosial memicu kegaduhan, tidak mudah melacak sumber pertama penyebar informasi tersebut. Tak jarang akunnya hilang atau ditutup untuk mengaburkan jejak.
Sementara itu, pihak yang merasa dirugikan oleh pemberitaan media dapat melaporkannya ke Dewan Pers. Pihak tersebut juga bisa langsung mengajukan hak jawab kepada media bersangkutan untuk menyampaikan koreksinya.
Oleh sebab itu, informasi di media sosial yang belum terverifikasi tidak disarankan dijadikan sumber utama pemberitaan. ”Sangat penting bagaimana meningkatkan kualitas internal. Otokritik bagi jurnalis untuk membuat berita sesuai KEJ, bukan berdasarkan katanya, rasanya, atau sepertinya. Informasi perlu diinvestigasi dan diklarifikasi sehingga layak menjadi berita,” katanya.
Ruang digital
MenteriKomunikasi dan Informatika Johnny G Plate mengatakan, pihaknya mempunyai sistem pengawasan untuk memantau ruang digital. Dengan begitu, penyebaran hoaks dan ujaran kebencian bisa diawasi.
”Dalam penegakan hukum, kami akan berkoordinasi dengan Bareskrim Polri. Kami juga bekerja sama dengan platform digital,” ujarnya di Jakarta, Rabu (4/1/2023).
Johnny mengklaim, pihaknya telah menemukan dan menutup 1.321 konten hoaks politik. Hal itu dilakukan sebagai upaya menjaga ruang digital publik menjelang Pemilu 2024.
”Pemilu serentak 2024 jangan sampai disibukkan dengan post truth. Jangan sampai ruang-ruang komunikasi diisi hoaks, propaganda, malainfoarmasi, dan disinformasi,” katanya.
Johnny menambahkan, upaya blokir atau takedown dapat dilakukan di ruang digital. Namun, langkah tersebut tetap mengacu pada ketentuan undang-undang.
”Keberpihakan kami terhadap kebebasan pers dan berserikat. Namun, kita perlu menjaga agar ruang digital tetap bersih,” ujarnya.
Wakil Kepala Bareskrim Polri Inspektur Jenderal Asep Edi Suheri menyebutkan, ruang digital menjadi salah satu wadah yang akan digunakan kontestan pemilu untuk berpromosi. Masyarakat pun dapat berinteraksi secara langsung dengan para kontestan.
”Namun, yang perlu mendapatkan perhatian kita bersama adalah bagaimana ruang digital ini betul-betul dimanfaatkan secara bertanggung jawab. Salah satunya adalah tidak menyebarkan berita bohong,” ujarnya.