Sejumlah pasal dalam Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana bisa menjerat kebebasan pers. Dalam negara demokrasi, seharusnya pers dijunjung tinggi, tetapi tetap bertanggung jawab.
Oleh
TATANG MULYANA SINAGA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Sejumlah ketentuan dalam Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana atau RKUHP berpotensi menjerat kebebasan pers di Indonesia. Padahal, kebebasan pers sangat diperlukan sebagai panduan demokrasi di negara hukum.
RKUHP tersebut dipersoalkan berbagai lembaga dan komunitas pers. Beberapa ketentuan yang dipermasalahkan di antaranya terkait pencemaran nama baik, kelengkapan berita, serta penghinaan terhadap kepala negara dan perangkat pemerintah.
Ketua Dewan Pers Periode 2010-2013 dan 2013-2016 Prof Bagir Manan mengatakan, sejumlah pasal dalam RKUHP bisa menjerat kebebasan pers. Padahal, dalam negara demokrasi, kebebasan pers harus dijunjung tinggi, tetapi tetap bertanggung jawab.
“Pers bebas harus tetap menjadi guidance (panduan) demokrasi dan negara hukum,” ujarnya pada peluncuran dan bedah bukunya berjudul ‘Problematika Pers dan Kualitas Demokrasi: dari Konstitusi, UU ITE sampai RUU KUHP’ di Kantor Dewan Pers, Jakarta, Senin (14/11/2022).
Kebebasan pers juga dibutuhkan untuk mewujudkan kehidupan intelektual di tengah masyarakat. Menurut Bagir, hal ini akan menentukan masa depan bangsa. Ia mencontohkan kemajuan sejumlah negara di Eropa dan Amerika yang dipengaruhi peran kaum intelektualnya.
Mantan Ketua Mahkamah Agung itu menuturkan, saat ini kehidupan intelektual di Indonesia seolah mandek. Jurnalisme menjadi salah satu penggerak untuk menghadirkan dialog intelektual tersebut.
“Saya mohon Dewan Pers dan lembaga pers menghidupkan kegiatan intelektual. Pers tetap menjadi panduan kehidupan intelektual masyarakat,” jelasnya.
Bagir menyebutkan, upaya mewujudkan kesadaran intelektual harus disertai dengan keberanian. Ia mencontohkan tokoh pers Indonesia, Mochtar Lubis, yang dipenjara dan surat kabarnya diberedel saat Orde Lama dan Orde Baru.
Saat ini kehidupan intelektual di Indonesia seolah mandek. Jurnalisme menjadi salah satu penggerak untuk menghadirkan dialog intelektual tersebut
“Beliau dipenjara tanpa diadili. Tanpa mengurangi bentuk keberanian lain, beginilah seharusnya pers. Mari hidupkan kehidupan intelektual dan keberanian menegakkan prinsip itu agar demokrasi dapat mewujudkan kesejahteraan,” ucapnya.
Salah satu permasalahan kehidupan pers di Tanah Air adalah intervensi kepentingan pemilik media, termasuk kepentingan politik. Hal ini berpotensi memengaruhi kebijakan redaksional.
“Pemilik media punya kepentingan itu sesuatu yang sulit dihindari. Namun, mengatakan jika pemilik (media) tidak punya kepentingan juga bertentangan dengan kebenaran,” katanya.
Oleh karenanya, menurut Bagir, pemilik media seharusnya menjadi seorang demokrat. Dengan begitu, meskipun punya kepentingan, ia diharapkan tidak melanggar prinsip-prinsip demokrasi dengan mengintervensi kebijakan media miliknya.
Pelaksana Tugas Ketua Dewan Pers Agung Dharmajaya mengatakan, kebebasan pers sangat diperlukan dalam negara demokrasi. Oleh karenanya, rancangan regulasi yang berpotensi mengekang kerja-kerja jurnalistik harus ditinjau ulang.
“Kalau pers dibatasi dengan segala aturan dan masuk ke KUHP, pers menjadi tidak bebas. Selain mempunyai kode etik jurnalistik, aturannya sudah ada dalam Undang-undang Pers (UU Nomor 40 Tahun 1999),” jelasnya.
Saat beraudiensi dengan Menko Polhukam, Dewan Pers menyampaikan keberatan terhadap 22 pasal dalam sembilan kluster RKUHP yang potensial memberangus kebebasan pers dan kebebasan berekspresi. Misalnya, tindak pidana keamanan negara, tindak pidana terhadap ideologi negara, penyebaran atau pengembangan ajaran komunisme/marxisme-leninisme, dan lain-lain (Kompas, 3/8/2022).
Agung menambahkan, UU Pers sudah jelas mengatur jika terdapat pihak yang merasa dirugikan oleh pemberitaan melalui hak jawab. Selain itu, media juga berkewajiban menyampaikan koreksi.
“Jika tidak selesai, sesuai UU Pers, penyelesaiannya di Dewan Pers, bukan masuk ke UU lain. Kalau dibawa ke pidana, tentu bisa mengancam kebebasan pers,” ujarnya.