Dalam sepuluh tahun terakhir, prevalensi perokok elektrik meningkat sebanyak 10 kali lipat. Padahal, rokok elektrik dan rokok konvensional memiliki ancaman kesehatan yang sama.
Oleh
WILLY MEDI CHRISTIAN NABABAN
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Penggunaan rokok elektrik sebagai alternatif atau alat bantu berhenti merokok dinilai sebagai pemahaman yang salah. Ada sejumlah persyaratan yang tidak bisa dipenuhi rokok elektrik untuk dianggap sebagai metode berhenti merokok.
Merujuk data Global Adult Tobacco Survey (GATS) tahun 2021, jumlah perokok elektrik di Indonesia meningkat 10 kali lipat dalam kurun waktu satu dekade, dari 0,3 persen (2011) menjadi 3 persen (2021). Salah satu alasan maraknya penggunaan rokok elektrik adalah sebagai pengganti ataupun alat bantu untuk berhenti merokok.
Ketua Umum Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI) Agus Dwi Susanto menyebutkan, rokok elektrik tidak memenuhi syarat seperti tidak menyebabkan risiko baru penyakit, penggunaan alat harus dihentikan seusai perilaku merokok berhenti, tidak ada supervisi dan pengamatan dosis, serta riset terkait rokok elektrik belum konsisten efektivitasnya sebagai alat bantu.
”Rokok elektrik masih menyalahi konsep berhenti merokok, seharusnya alat bantu itu tidak menimbulkan penyakit baru. Namun, berbagai riset menunjukkan rokok elektrik sama berbahayanya dengan rokok konvensional,” ujarnya saat ditemui di Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) Persahabatan, Jakarta, Kamis (5/1/2023).
Rokok elektrik, lanjut Agus, berisiko mengakibatkan asma, kanker paru, dan penyakit infeksi yang lebih tinggi. Rokok elektrik juga mengandung karsinogen dan bahan toksik lainnya yang dapat merusak DNA dan kemampuan perbaikan sel manusia serta hewan.
Selain itu, pengguna rokok elektrik memiliki kecenderungan untuk tetap menggunakannya meski sudah berhenti merokok. Padahal, untuk dikategorikan sebagai alat bantu, penggunaan rokok elektrik harus dihentikan setelah perilaku merokok berhenti. Dalam konsep berhenti merokok juga diperlukan supervisi dari tenaga medis untuk mengawasi dosis penggunaannya.
Keberhasilan berhenti merokok dengan metode konseling dapat mencapai 5-10 persen. Ketika dipadukan dengan intervensi farmakologi mampu meningkatkan keberhasilan hingga 50 persen. (Siti Nadia Tarmizi).
Berhenti merokok
Sejumlah fasilitas kesehatan telah menyediakan layanan untuk berhenti merokok. RSUP Persahabatan, misalnya, memiliki tiga langkah pokok, seperti konseling, intervensi farmakologi, dan terapi tambahan. Intervensi farmakologi merupakan metode berhenti merokok yang dibantu obat-obat tertentu.
”Pendekatan berhenti merokok dari berbagai aspek. Pertama, dari adiksi akibat nikotin, perilaku, dan withdrawal (gejala putus nikotin),” ujar Agus yang juga selaku konsultan tim berhenti merokok di RSUP Persahabatan.
Program dilaksanakan selama tiga bulan yang terdiri atas lima kali kunjungan. Kunjungan pertama berbentuk asesmen (pengamatan) awal untuk menentukan seberapa besar ketergantungan pasien terhadap rokok. Dari hasil tersebut kemudian ditentukan apakah pasien perlu terapi obat (farmakoterapi) ataupun tidak.
Dua minggu pascaterapi obat akan dilanjutkan dengan evaluasi apakah pasien membutuhkan terapi tambahan, seperti psikoterapi, hipnoterapi, exercise program untuk mengontrol pernapasan, akupunktur, atau konsultasi gizi.
Namun, untuk terapi obat secara spesifik, di Indonesia masih minim jenis obatnya. Ada tiga golongan obat efektif yang belum tersedia di antaranya varenicline, bupropion, dan nicotine replacement therapy (NRT) seperti tambalan nikotin, tablet isap, dan nikotin semprot. ”RSUP Persahabatan menggunakan N-Asetilsistein (NAC) yang lebih rendah (tingkat) keberhasilannya dibandingkan tiga obat utama, sekitar 37 persen,” ujarnya.
Secara terpisah, Kepala Biro Komunikasi dan Pelayanan Publik Kementerian Kesehatan Siti Nadia Tarmizi mengatakan, keberhasilan berhenti merokok dengan metode konseling dapat mencapai 5-10 persen. Ketika dipadukan dengan intervensi farmakologi mampu meningkatkan keberhasilan hingga 50 persen.
Oleh karena itu, kini pihaknya meningkatkan kapasitas dan jumlah konselor Upaya Berhenti Merokok (UBM) di puskesmas di seluruh Indonesia sesuai Peta Jalan Pengendalian Dampak Konsumsi Rokok Bagi Kesehatan. Target ke depan, semua fasilitas pelayanan kesehatan milik pemerintah pusat dan daerah dapat melayani UBM yang terintegrasi dengan pengendalian penyakit. ”Proses ini dilakukan secara bertahap dengan melihat kemampuan setiap daerah,” kata Siti.
Perluas jangkauan
Dinas Kesehatan Provinsi DKI Jakarta mencatat, belum semua puskesmas memiliki layanan poli UBM. Hanya 18 dari 44 puskesmas tingkat kecamatan di DKI Jakarta yang memiliki poli UBM. Dari jumlah itu bahkan wilayah administratif Jakarta Utara dan Kepulauan Seribu tidak ada puskesmas kecamatan yang memiliki poli UBM.
Menurut Sekretaris Koalisi Nasional Masyarakat Sipil Untuk Pengendalian Tembakau (KNMSPT) Prima Oktalanta, pada 2022 baru 120 Kabupaten/Kota atau 23 persen dari seluruh Indonesia yang memiliki layanan UBM. Sementara itu, perokok merupakan korban dari produk adiksi rokok dan negara sebaiknya membantu perokok dengan menyediakan layanan UBM di setiap kabupaten/kota di Indonesia.
Akan banyak hari atau tahun seseorang yang seharusnya berada dalam keadaan sehat tetapi malah hilang. Dalam kasus rokok, bahkan bisa memicu kematian dini. (Narila Mutia Nasir).
”Selain itu, program UBM masih terpusat di puskesmas. Hal ini perlu diperluas ke fasilitas kesehatan lainnya seperti rumah sakit, praktik dokter mandiri, dokter daring hingga klinik pratama dan utama," tambahnya.
Jangka panjang
Ahli kesehatan masyarakat dari Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Narila Mutia Nasir, mengatakan, ketidakmampuan masyarakat untuk berhenti merokok akan berpengaruh pada kapasitas sumberdaya manusia pada jangka panjang. Rantainya mulai dari memburuknya tingkat kesehatan seorang perokok yang nantinya akan berdampak pada penurunan produktivitas.
”Akan banyak hari atau tahun seseorang yang seharusnya berada dalam keadaan sehat, tetapi malah hilang. Dalam kasus rokok, bahkan bisa memicu kematian dini,” katanya.
Hal ini, lanjut Narila, dapat diukur melalui Disability Adjusted Life Years (DALYs). Data Global Burden of Disease Study tahun 2019 menunjukkan, secara global ada 229,77 juta DALYs akibat merokok. Artinya ada 229,7 juta tahun kondisi sehat yang hilang dari perokok sedunia.